Anak itu terjatuh mencium tanah. Lalu...
Crak!
Cangkul itu menghantam kepala Obi. Darah panas mengucur dari kepalanya yang terluka. Dan dia tak bergerak lagi. Sejenak Pak Dudung melihat sekitar. Tak ada siapapun di sana.
Pak Dudung meraih tubuh yang sudah tak bergerak itu dan membawanya ke tengah ladang. Jasad kecil itu dilemparkan ke dalam sumur tua tempat dia mencuci cangkul tadi lalu menimbunnya dengan daun-daun kering dan sampah yang ada disitu.
Setelah itu Pak Dudung kembali melanjutkan makannya yang tertunda.
Menjelang sore hujan turun sederas-derasnya. Sisa-sisa darah Obi di tanah kering larut bersama air hujan. Sumur itu meluap hingga hampir penuh. Namun hanya sampah yang mengambang.
Pak Dudung pulang sambil menenteng cangkulnya.
Dari belakang rumah, ibu Obi berseru-seru memanggil anaknya. Sejak pagi Obi tak nampak batang hidungnya. Wanita itu cemas. Ada sesuatu yang mengganggu di benaknya. Tapi dia tak tahu apa.
***
Malam sebelumnya di salah satu warung di ujung kampung, Badra mengusap peluh di dahinya. Tangannya bergetar dan pandangan matanya nanar menatap angka-angka pada kartu. Isi dompetnya sudah terkuras habis. Sisa ampas kopi di gelasnya meninggalkan jejak pahit sepahit kenyataan yang dihadapinya.
Dengan penuh amarah Badra membanting kartu ditangannya. Matanya nyalang menatap lelaki tua yang jadi lawan mainnya malam itu.
"Kau curang!" makinya. Jarinya bergetar menahan emosi.
Pak Dudung hanya mengangkat sisi bibirnya. Lelaki itu meraup uang-uang kertas lusuh yang berserakan di meja di hadapannya. Dia beranjak meninggalkan tempat itu saat Badra tertawa getir dan pahit.
"Kau tidak mau kalau kutawarkan istriku lagi sebagai taruhan, kan. Ha...ha...," tawa Badra membahana.
Pak Dudung menghentikan langkahnya dan menatap tajam Badra.