Mohon tunggu...
Senja Pratama
Senja Pratama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

menulis kajian hukum dalam berbagai sudut pandang dan berbagai berbagai peristiwa, yang pastinya menarik untuk dibahas dan dikupas tuntas.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mental Terganggu Karena Pasangan? Begini Cara Melaporkannya

29 November 2023   12:18 Diperbarui: 29 November 2023   18:30 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ditulis Oleh: Senja Pratama

Tuhan menciptakan semua makhluk nya berpasang-pasangan, termasuk juga manusia yang diciptakan berpasang-pasangan. Tujuannya penciptaan manusia secara berpasang-pasangan yaitu agar kiranya dapat membentuk hubungan rumah tangga, namun bukan hanya itu saja melainkan agar dapat saling mengerti dan saling menutupi setiap kekurangan yang ada didalam rumah tangga.

Setiap manusia menginginkan keluarga yang harmonis dan kekal,[1]  namun tidak bisa dipungkiri masih banyak terjadi perselisihan dalam rumah tangga. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas perilaku dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tampaknya semakin mudah terjadi tetapi sangat sulit untuk diketahui. Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau disingkat menjadi "UU PKDRT", memberikan penafsiran mengenai kekerasan rumah tangga yaitu:

Sehingga berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU PKDRT dapat disimpulkan yaitu kekerasan dalam rumah tangga dapat mencakup beberapa hal seperti kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran dalam rumah tangga.

Pada umumnya kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga selalu didahului dengan kekerasan psikis yang kerap kali tidak pernah disadari. Seorang istri atau seorang anak tidak mengetahui bahwa kekerasan secara psikis telah menimpa mereka seperti perasaan rasa takut, cemas, ataupun trauma yang berkepanjangan, namun mereka menganggap hal ini merupakan sesuatu yang biasa saja, mereka tidak menyadari bahwa hal tersebut merupakan salah satu bentuk dari kekerasan psikis.

Kekerasan psikis yang sering terjadi dalam rumah tangga sering kali dianggap sepele, bahkan beberapa orang beranggapan bahwa hal tersebut hanya sekedar "bumbu" perkawinan. sehingga pihak luar tidak pantas mencampuri urusan dalam rumah tangga. padahal dari kekerasan psikis tersebut itulah dapat berkembang menjadi kekerasan lainnya.

Kekerasan psikis merupakan suatu tindakan melawan hukum yang mana terhadap pelakunya sudah sepantasnya dikenakan sanksi pidana.[2]  Kekerasan psikis merupakan kekerasan yang berbeda dengan kekerasan fisik atau seksual, karena kekerasan fisik dan seksual dapat ditandai dengan mudah seperti luka atau lebam dan korban yang mengalami kekerasan fisik atau seksual yang tentunya korban mengalami kekerasan psikis. Namun kedua kekerasan tersebut berbeda dengan kekerasan psikis, orang yang mengalami kekerasan psikis belum tentu mengalami kekerasan fisik maupun seksual.[3]

Berdasarkan pengantar diatas, tentunya timbul pertanyaan dibenak kita semua, ketika kita merasa takut, trauma, ataupun psikis kita terganggu akibat perbuatan yang dilakukan oleh anggota keluarga dalam rumah tangga, apakah  tindakan yang dilakukan dapat dikenakan sanksi atau dapat dilaporkan?

Secara eksplisit dalam Pasal 7 UU PKDRT, memberikan penafsiran mengenai kekerasan psikis yaitu:

Berdasarkan Pasal diatas, dapat disimpilkan bahwa kekerasan psikis menyebabkan:
1.ketakutan,
2.hilangnya rasa percaya diri,
3.hilangnya kemampuan untuk bertindak,
4.tidak berdaya,
5.penderitaan psikis berat.

Sanksi yang diberikan apabila seseorang melakukan kekerasan secara psikis kepada anggota keluarga yaitu kurungan penjara maksimal 3 tahun dengan denda maksimal Rp.9.000.000,- (sembilan juta rupiah), apabila kekerasan psikis mengakibatkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, maka dapat dikenakan sanksi maksimal yaitu kurungan penjara selama 4 (empat) bulan dengan denda sebanyak Rp.3.000.000,- (tiga juta rupiah).[4]

Tindakan yang harus dilakukan apabila seseorang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga secara psikis yaitu secepatnya melaporkan ke kepolisian baik ditempat korban berada maupun tempat kejadian perkara dalam hal ini kepolisian sektor (polsek), kepolisian resor (polres), atau kepolisian daerah (polda).

Polisi akan mengarahkan korban untuk diambil keterangannya akibat tindakan kekerasan psikis kemudian setelah diambil keterangannya, korban akan diarahkan untuk melakukan visum et repertum psichiatricum untuk kepentingan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

Alasan kuat mengapa korban diarahkan untuk melakukan visum et repertum psichiatricum, dikarenakan agar dapat diketahui kondisi mental atau kejiwaan korban yang sebenar- benarnya pada saat terjadinya kekerasan psikis. Korban juga akan diminta menyiapkan alat bukti lainnya yang mendukung untuk proses penyidikan, penyilidikan, dan penuntutan seperti saksi, surat, gambar, dan/atau bukti rekaman audio/video untuk memperkuat laporannya.

Visum et repertum/Visum et repertum psichiatricum merupakan barang bukti yang mutlak dalam berbagai kasus kekerasan Psikis KDRT. Hakim dalam memutus kasus kekerasan psikis KDRT menggunakan Visum et repertum/Visum et repertum psichiatricum sebagai salah satu barang bukti. Hal ini terlihat pada kasus kekerasan Psikis yang telah diputus pada beberapa putusan pengadilan seperti:

1.Putusan Pengadilan Negeri Makassar No. 200/Pid.B/2010/PN. Mks.
2.Putusan Pengadilan Negeri Sungguminasa Nomor: 01/Pid.B/ 2015/PN Sgm.
3.Putusan Pengadilan Militer III-16 Makassar Nomor: 110-K/PM III-16/AL/VIII/2015.

Mengingat pentingnya visum et repertum sebagai salah satu alat bukti pada kasus Kekerasan Psikis KDRT, maka dalam hal menerima pengaduan KDRT dalam bentuk kekerasan psikis, korban harus sesegera mungkin melakukan pemeriksaan kondisi kejiwaan. Hal ini dilakukan agar dalam proses pembuktian KDRT, penyidik dan penuntut umum dapat mengungkap kasus sesuai dengan fakta dan hukum yang digunakan juga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Walaupun korban telah melaporkan tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap dirinya,
Perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga diberikan perlindungan sementara dan perlindungan oleh pengadilan, serta advokasi korban kekerasan dalam rumah tangga.

Perlindungan hukum bagi korban KDRT menurut undang- undang ini adalah (1) perlindungan sementara; (2) penetapan perintah perlindungan oleh pengadilan; (3) penyedian Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di kantor kepolisian; (4) penyediaan rumah aman atau tempat tinggal alternatif; (5) pemberian konsultasi hukum oleh advokat terhadap korban pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan pada sidang pengadilan.[5]

Namun perlu dicatat, bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya perempuan/istri saja, sehingga korban kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU PKDRT meliputi:

1. Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi :

a.Suami, istri, dan anak; Maksudnya adalah, Suami adalah pria yang menjadi pasangan hidup resmi seorang wanita (istri), istri adalah wanita (perempuan) yang telah menikah atau bersuami, dan anak adalah seorang yang dilahirkan dari perkawinan antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki dengan tidak menyangkut bahwa seseorang yang dilahirkan oleh wanita meskipun tidak pernah melakukan pernikahan tetap dikatakan anak.

b.Orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang yang dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau

c.Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Orang yang bekerja dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.

2. Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.

REFERENSI:

[1] Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan).
[2] Lesti Arini, Kekerasan Psikis Dalam Rumah Tangga Sebagai Suatu Tindak Pidana, Jurnal Lex Crimen, Tahun 2013, Hlm. 32.
[3] La Jamaa, Perlindungan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Hukum Pidana Indonesia, Jurnal Cita Hukum, Tahun 2014, Hlm. 250.
[4] Pasal 45 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
[5] Pasal 10 -- Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun