Nampaknya kajian keislaman sedang naik daun di negeri ini. Ramai dimana-mana. Apalagi setelah tersohornya para ustadz kekinian yang video ceramahnya viral di sosmed. Umat beramai-ramai menyemuti sudut-sudut masjid demi mendengarkan tausiyah sang Ustadz idola. Tentu saja hal itu merupakan kabar gembira bagi umat islam, mengingat betapa banyaknya ajaran islam yang ditinggalkan begitu saja. Tak terkecuali Balikpapan yang belum lama ini telah mengundang Ustadz Abdul Somad Lc, Ma.
Kehadiran beliau menjadi buah bibir masyarakat Balikpapan sejak beberapa bulan sebelum kedatangannya. Antusias tidak hanya merasuki para orang tua. Anak muda pun tak mau kalah. Meskipun sebenarnya mereka telah berkali-kali menonton ceramah beliau di youtube. Ini moment langka, kapan lagi bisa bertemu langsung dengan beliau, begitu kira-kira curahan hati mereka.
Sabtu, 24 Maret 2018 di Masjid Balikpapan Islamic Centre, dalam ceramahnya Ustad Abdul Somad dengan lantang menyebutkan bahwa perempuan adalah tiang negara. Ini menarik! Pasalnya dibulan Maret pula ada peringatan Hari Perempuan Internasional dan bulan ini, April, secara nasional ada peringatan hari Kartini. Kedua moment tersebut sama-sama berbincang soal perempuan yang konon katanya banyak menjadi korban penindasan.
Sungguh mempesonanya sosok perempuan sampai-sampai dirinya disebut-sebut sebagai tiang negara. Andai tiada tiang, maka bangunan akan rubuh berkeping-keping. Andai tiada perempuan, maka hilanglah masa depan peradaban. Pertanyaannya, atas sebab apakah perempuan memiliki pesona yang begitu indah? Jawabannya cukup sederhana, karena dia memiliki peran strategis dalam kehidupan bernegara.
Peran muslimah dalam membangun peradaban cemerlang setidaknya ada tiga. Pertama, sebagai ibu, pembina generasi. Kedua, sebagai pendidik masyarakat (pengemban dakwah). Ketiga, sebagai pengontrol dan pengawas berbagai kebijakan pemeritah.
Pertama, sebagai ibu, pembina generasi. Tidak sempurna menjadi seorang perempuan bila ia belum sampai pada level ibu, begitu orang bijak berkata. Ya, ibu adalah fitrahnya seorang perempuan sepanjang zaman. Ibu adalah bintangnya perempuan. Artinya, bila ia belum menjadi ibu, saat itu juga pesonanya belum berkilau. Kembali ke topik. Ibu adalah pencetak generasi yang akan meneruskan estafet peradaban dimasa depan.
Sejak dalam kandungan, selama sembilan bulan, seorang ibu sudah memulai program pendidikan bagi sang calon anak. Anak ibarat teko (ceret) yang kosong. Maka kepribadian seperti apa yang keluar dari teko tersebut tergantung dari didikan ibu. Di sinilah peran strategis sang ibu. Apabila ia mampu mendidikan anaknya untuk menjadi manusia yang berkepribadian islam, berjiwa pemimpin dan cerdas akalnya. Maka sang ibu tidak hanya sukses mendidik anaknya, tetapi secara tidak langsung dunia berhutang budi kepada kaum ibu.
Itulah kesempatan besar bagi seorang ibu berkarir di dalam rumahnya. Yang upahnya dibayar langsung oleh Allah berupa syurga, yang bahkan dengan menjadi ibu syurga terasa lebih dekat. Di bawah telapak kaki ibu.
Kedua sebagai pendidik masyarakat atau dalam ajaran islam disebut sebagai pengemban dakwah. Siapa bilang perempuan bisanya cuma beranak dirumah? Yang bilang begitu tanda kurangnya ngaji islam kaafah. Para perempuan muslimah selain memiliki peran sebagai pencetak generasi, ia juga aktif berinteraksi dengan masyarakat sebagai bentuk amar makruf nahi munkar. Memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, yang hukumnya wajib atas setiap individu muslim. Dengan mengandalkan segenap kemampuannya ia turut aktif dalam mencerdaskan masyarakat dengan melakukan pembinaan islam secara intersif.
Di samping itu, perempuan muslimah sejati tentu memiliki kepekaan terhadap permasalahan yang menimpa lingkungan, masyarakat dan negaranya. Yang kemudian akan mendorongnya berupaya memberikan solusi terbaik, sesuai pandangan islam, sebagai jalan keluarnya. Tentunya bersama-sama komponen masyarakat lainnya. Sehingga ia bukanlah sosok yang individualisme, fokus pada masalah pribadinya saja. Sebaliknya, perempuan muslimah justru merupakan makhluk indah yang peduli terhadap nasib bangsa dan negaranya.
Dalam islam, para perempuan yang memiliki keahlian dan pengetahuan dibidang-bidang penting akan didorong untuk mengaplikasikan potensinya. Tujuannya jelas, demi kebaikan masyarakat dan negara akan memberikan apresiasi sebesar-besarnya baik berupa upah, fasilitas dan sebagainya. Semisal menjadi dokter, guru, pengamat sosial politik, penulis dan pengusaha. Dengan begitu, para muslimah diharapkan mampu menyediakan konsep penyelesaian atas probematika masyarakat. Dan pada akhinya, muslimah negarawan akan dijadikan pemimpin sekaligus rujukan oleh umat dalam menyelesaikan segara probematika kehidupan. Sungguh mempesona, bukan?
Terakhir, sebagai pengontrol dan pengawas berbagai kebijakan pemeritah. Memang benar, perempuan dalam kacamata islam haram hukumnya menjadi pemimpin negara. Sikap seorang muslim atas larangan tersebut adalah wajib taat. Namun bukan berarti muslimah dilarang sama sekali berperan dalam politik. Perlu kita pahami bersama-sama bahwa politik dalam kacamata islam tidak sekedar soal jabatan dan kekuasaan. Tetapi mengurusi urusan umat. Wanita berhak memilih calon pemimpinnya, mengoreksi kebijakan pemerintah yang dianggap menzholimi rakyat dan bahkan boleh menduduki jabatan pemerintahan yang bersifat administratif.
Terkisah pada zaman kepemimpinan Khalifah Umar radiallahu anhu. Di saat beliau mengopinikan adanya pembatasan mahar bagi rakyatnya, disaat itu pula rakyatnya seorang perempuan murka padanya. "Wahai Umar! bagaimana bisa kau menetapkan mahar, sedangkan Allah saja tidak pernah menetapkannya?!" kata perempuan tersebut. Seolah tertampar dengan ucapan tersebut, segera Umar sadar dan mengatakan, "Perempuan ini benar dan Umar salah"
Begitulah islam memuliakan perempuan. Menempatkan dirinya diruang-ruang yang sesuai dengan fitrahnya. Termasuk kaum laki-laki juga dimuliakan sesuai dengan fitrahnya. Sehingga seharusnya tidak perlu ada rasa iri, sampai-sampai menuntut kesetaraan gender. Mau laki-laki atau perempuan, keduanya punya pesona masing-masing. Bayangkan, bila perempuan terjun mencari nafkah, lantas siapa yang berperan mendidikan generasi? Bila perempuan jadi pemimpin negara, lantas siapa yang mengurusi rumah tangga?
Berbeda bukan berarti tidak adil. Justru akan tidak adil jika perempuan disamakan dengan laki-laki, begitupun sebaliknya. Bayangkan, mengurusi rumah tangga saja berat, apalagi menjadi pemimpin negara. Menanggung masa kehamilan saja berat, apalagi bila ditambah menanggung nafkah keluarga. Inilah hikmah dibalik bedanya antara laki-laki dan perempuan. Berbeda untuk saling mengisi bukan mengiri. Berbeda untuk saling membersamai bukan menyaingi. Sebab pada dasarnya Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dengan derajat yang sama, hanya ketakwaannya yang berbeda. Sehingga perempuan tidak memerlukan kesetaraan gender. Dia hanya memerlukan ruang untuk menjadi dirinya sendiri sesuai fitrahnya. Tentu saja ruang itu hanya terbuka lebar di dalam tatanan kehidupan bermasyarakat islami. Dan pada faktanya, tertindasnya perempuan justru marak terjadi dalam tatanan kehidupan masyakakat sekuler.
Penutup. Masih dalam ceramah Ustad Abdul Somat. Beliau menitipkan pesan bahwa negara akan baik dan menuai rahmat bila perempuannya baik lagi amanah, maka jagalah baik-baik para perempuan.
Penulis: Dewi Murni.Â
shafiyyahallatif@gmail.com
*Tulisan ini telah tayang di koran Tribun Kaltim, Jumat, 6 April 2018.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H