Terakhir, sebagai pengontrol dan pengawas berbagai kebijakan pemeritah. Memang benar, perempuan dalam kacamata islam haram hukumnya menjadi pemimpin negara. Sikap seorang muslim atas larangan tersebut adalah wajib taat. Namun bukan berarti muslimah dilarang sama sekali berperan dalam politik. Perlu kita pahami bersama-sama bahwa politik dalam kacamata islam tidak sekedar soal jabatan dan kekuasaan. Tetapi mengurusi urusan umat. Wanita berhak memilih calon pemimpinnya, mengoreksi kebijakan pemerintah yang dianggap menzholimi rakyat dan bahkan boleh menduduki jabatan pemerintahan yang bersifat administratif.
Terkisah pada zaman kepemimpinan Khalifah Umar radiallahu anhu. Di saat beliau mengopinikan adanya pembatasan mahar bagi rakyatnya, disaat itu pula rakyatnya seorang perempuan murka padanya. "Wahai Umar! bagaimana bisa kau menetapkan mahar, sedangkan Allah saja tidak pernah menetapkannya?!" kata perempuan tersebut. Seolah tertampar dengan ucapan tersebut, segera Umar sadar dan mengatakan, "Perempuan ini benar dan Umar salah"
Begitulah islam memuliakan perempuan. Menempatkan dirinya diruang-ruang yang sesuai dengan fitrahnya. Termasuk kaum laki-laki juga dimuliakan sesuai dengan fitrahnya. Sehingga seharusnya tidak perlu ada rasa iri, sampai-sampai menuntut kesetaraan gender. Mau laki-laki atau perempuan, keduanya punya pesona masing-masing. Bayangkan, bila perempuan terjun mencari nafkah, lantas siapa yang berperan mendidikan generasi? Bila perempuan jadi pemimpin negara, lantas siapa yang mengurusi rumah tangga?
Berbeda bukan berarti tidak adil. Justru akan tidak adil jika perempuan disamakan dengan laki-laki, begitupun sebaliknya. Bayangkan, mengurusi rumah tangga saja berat, apalagi menjadi pemimpin negara. Menanggung masa kehamilan saja berat, apalagi bila ditambah menanggung nafkah keluarga. Inilah hikmah dibalik bedanya antara laki-laki dan perempuan. Berbeda untuk saling mengisi bukan mengiri. Berbeda untuk saling membersamai bukan menyaingi. Sebab pada dasarnya Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dengan derajat yang sama, hanya ketakwaannya yang berbeda. Sehingga perempuan tidak memerlukan kesetaraan gender. Dia hanya memerlukan ruang untuk menjadi dirinya sendiri sesuai fitrahnya. Tentu saja ruang itu hanya terbuka lebar di dalam tatanan kehidupan bermasyarakat islami. Dan pada faktanya, tertindasnya perempuan justru marak terjadi dalam tatanan kehidupan masyakakat sekuler.
Penutup. Masih dalam ceramah Ustad Abdul Somat. Beliau menitipkan pesan bahwa negara akan baik dan menuai rahmat bila perempuannya baik lagi amanah, maka jagalah baik-baik para perempuan.
Penulis: Dewi Murni.Â
shafiyyahallatif@gmail.com
*Tulisan ini telah tayang di koran Tribun Kaltim, Jumat, 6 April 2018.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H