Mohon tunggu...
Catarina Asthi Dwi Jayanti
Catarina Asthi Dwi Jayanti Mohon Tunggu... Psikolog - Clinical Psychologist | Community Enthusiast

Long Life Learner | Senang mengobrol, bernyanyi, memasak, dan jalan-jalan | Sedang berusaha untuk konsisten meninggalkan jejak melalui tulisan | Temukan saya di Instagram @catarinaa90

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

ADHD pada Dewasa, Mungkinkah?

12 Oktober 2020   17:27 Diperbarui: 12 Oktober 2020   21:41 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika sedang menjalani Praktek Kerja Profesi Psikologi (PKPP) di sebuah Rumah Sakit di Bekasi. Saya dan seorang teman tertarik untuk berdiskusi mengenai sebuah tes psikometri yang digunakan untuk mengukur psikopatologi atau gangguan, yakni Test Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI) dengan salah seorang supervisor kami yang merupakan seorang Psikiater. 

Diskusi yang cukup padat itu membuat saya teringat pada hasil Test MMPI yang pernah saya ikuti sebelumnya di kampus, karena saya mendapatkan nilai yang cukup tinggi pada Skala 9 yakni Hipomania atau kondisi suasana hati yang membuat seseorang lebih aktif dan bersemangat. 

Hal itu pula yang membuat dosen saya mempertanyakan banyak hal apakah saya mudah marah, tidak bisa diam ataupun selalu bergerak. Dari ingatan tersebut, saya pun mempertanyakan hasil itu kembali pada Supervisor saya. Saya diberi banyak pertanyaan tentang hal-hal terkait kehidupan saya beberapa bulan terakhir hingga berakhir saya di diagnosis ADHD dan Bipolar.

Supervisor saya pun kemudian memberikan selembar kertas bertuliskan nama obat-obatan dan berkata, "dicoba saja dulu". Kaget? Tentu, Bingung? Pasti, dan hari-hari berikutnya pun saya habiskan dengan research segala macam hal yang berhubungan dengan Bipolar dan ADHD. 

Berbekal hasil research beberapa hari sebelumnya, saya pun memutuskan untuk mencari second opinion dari Supervisor lainnya yang juga seorang Psikiater. Saat itu saya membawa serta Ibu saya untuk membantu saya mengingat kejadian-kejadian yang mungkin sejak kecil hingga saat ini saya lupakan atau saya salah persepsikan. 

Dari proses asesmen yang panjang tersebut didapatkan perubahan diagnosis yakni hanya ADHD. Supervisor saya tersebut pun berkata kepada Ibu saya, "Tenang saja, Bu! Anak Ibu pintar, ini dicoba saja dulu ya, nanti kita coba evaluasi kembali 2 minggu ke depan", sembari memberikan selembar kertas bertuliskan nama obat yang harus rutin diminum.

Penolakan akan kondisi, kesedihan, dan kebingungan bercampur menjadi satu. Namun hal tersebutlah yang akhirnya membawa saya bertemu dengan banyak orang baru. Orang-orang dari berbagai belahan negara dengan perjuangan yang sama. Sehingga saya pun menyadari ada banyak hal yang bisa disyukuri lebih dari apa yang banyak literatur sebut GANGGUAN. Toh dalam hidup, semua orang memiliki masalah atau gangguannya masing-masing kan.

Sekilas tentang ADHD

ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) atau dengan nama lain GPPH (Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktifitas), adalah sebuah gangguan perkembangan dan neurologis yang ditandai dengan gangguan pengendalian diri, rentang atensi yang pendek, hiperaktif dan impulsif. 

Gangguan tersebut dapat membuat seseorang mengalami kesulitan dalam berperilaku, berpikir dan mengendalikan emosinya sehingga memiliki potensi ketergangguan dalam kehidupannya sehari-hari. Ketika berbicara tentang ADHD pikiran kita akan selalu tertuju pada anak-anak yang tidak bisa diam, senang berlari-lari dan senang mengganggu teman-teman di sekitarnya.

Bergabung dalam Komunitas ADHD Indonesia, membuat saya dan teman-teman ADHD dewasa di grup tersebut membuat grup kecil dalam komunitas, karena kami ingin memiliki ruang yang lebih nyaman dalam bercerita dan saling memberi dukungan tanpa membuat Orang Tua dari anak ADHD yang ada di grup tersebut khawatir. 

Walaupun dari beberapa kasus kami menemukan ada beberapa Orang Tua yang baru terdiagnosis setelah anaknya terdiagnosis ADHD maupun yang sudah terdiagnosis ADHD sebelumnya. Keterkaitan ini didukung oleh berbagai penelitian yang disusun oleh Davison terkait faktor risiko dari gangguan ini yakni, genetik, faktor prenatal dan prenatal maupun karakteristik dan pola asuh keluarga yang dapat sangat berkorelasi dengan bertahannya atau memburuknya gejala-gejala ADHD.

Dalam grup kecil yang dominan diisi oleh mahasiswa, tenaga kesehatan maupun professional dari bidang tertentu, kami mendiskusikan banyak hal terkait gangguan murni ADHD, gangguan penyertanya maupun gangguan kepribadian yang mungkin dimiliki oleh beberapa dari kami, agar kami tidak selalu menghubungkan masalah dalam hidup kami dengan ADHD.

Pada DSM-V karakteristik gejala ADHD berfokus pada:

1. Gangguan Inatensi, yakni rendahnya rentang konsentrasi dan kemampuan untuk mempertahankan perhatian dalam sebuah kegiatan, dan

2. Gangguan Hiperaktivitas dan Impulsivitas, dengan perilaku tampak selalu bergerak dan berperilaku tanpa berpikir panjang.

Dari gejala di atas, ada 3 subtipe dalam pendiagnosisan ADHD:

1. Dominan Hiperaktif-Impulsif

2. Dominan Inatentif

3. Kombinasi Hiperaktif-Impulsif dan Inatentif

Diagnosis ADHD pada Dewasa

Berkaitan dengan konsep gangguan, penting untuk dipahami bahwa diagnosis adalah konsep yang berkembang dari waktu ke waktu dan bertujuan untuk menilai patofisiologi, pengobatan, kemungkinan-kemungkinan pencegahan serta prognosisnya. 

ADHD seringkali menetap hingga usia dewasa, sehingga dalam penegakkan diagnosis pada usia dewasa penting untuk diketahui bahwa karakteristik gejala di atas sudah muncul sebelum usia 12 tahun dan gejala tersebut bukanlah bagian dari gangguan lain yang memiliki kemiripan dengan gejala ADHD. 

Dalam penelitan terkait statistik orang dengan ADHD yang dirangkum oleh ADHD Editorial Board dari additudemag.com dipaparkan, prevalensi ADHD dewasa di seluruh dunia diperkirakan mencapai 2,8% pada sebuah penelitian ditahun 2016. Perkiraan prevalensi ADHD dewasa di AS cukup bervariasi, 

satu studi tahun 2019 memperkirakan prevalensi ADHD orang dewasa sebesar 0,96%, yakni dua kali lipat lebih dari 0,43% pada dekade sebelumnya. Studi sebelumnya telah menempatkan tingkat prevalensi ADHD orang dewasa di AS antara 2,5% dan 4,4%, dengan tingkat diagnosis 5,4% pada pria dibandingkan dengan 3,2% pada wanita.

Melihat dari data di atas dan berkaca pada pengalaman teman-teman di komunitas. Ada beberapa hal yang seringkali membuat ADHD ini baru didiagnosis ketika usia dewasa, padahal dalam panduan diagnosisnya, karakteristik gangguan ini harus sudah muncul sebelum usia 12 tahun.

1. Kurang Informasi

Hal ini terkait dengan kurangnya informasi sehingga minim self-judgement dari guru dan orang tua untuk melakukan proses asesmen lebih lanjut.

2. Coping

Anak perempuan dengan ADHD, terlebih subtipe inatentif, cenderung cukup mampu untuk mengikuti standar perilaku orang sekitarnya, sehingga mereka tampak tidak agresif. 

Hal ini yang menyebabkan anak-anak tersebut tidak mendapatkan kesempatan untuk di asesmen lebih lanjut. Coping ini pun juga berkaitan dengan kemampuan orang tua dan guru dalam menerapkan aturan-aturan dalam kehidupan anak-anak tersebut.

3. Selective Attention atau Perhatian/Minat tertentu

Walaupun memiliki keterbatasan dalam fungsi eksekutif, yang perlu dipahami ialah orang dengan ADHD memiliki beberapa hal yang menjadi minatnya, sehingga ia bisa menghabiskan waktunya untuk melakukan hal tersebut sepanjang hari. 

Hal ini yang menyebabkan banyak orang-orang baru didiagnosis ketika usia dewasa karena mereka dituntut untuk bertanggung jawab pada banyak hal. 

Di sini kita dapat secara jelas menilai konsep gangguan yang berkembang, yakni pada anak-anak ADHD yang berprestasi di sekolah, yang dahulu tidak tampak gangguannya, menjadi tampak bermasalah atau mengalami gangguan ketika dewasa. Karena Guru dan Orang Tua tidak menghukum anak yang memiliki ketertarikan pada belajar kan?

4. Misdiagnosis atau Kesalahan Diagnosis

Harus dipahami, dalam proses mendiagnosis dibutuhkan pemahaman yang kompleks terkait motif dari perilaku yang tampak, contohnya karakteristik hiperaktif pada usia dewasa mungkin saja bermanifestasi menjadi kegelisahan yang ekstrim ataupun perilaku yang cenderung membuat orang lain lelah dengan perilaku mereka. 

Yang harus disadari juga, bahwa banyak sekali gangguan yang memiliki gejala tampak yang sama, sehingga komunikasi dua arah dan kerjasama antara pasien dengan para professional sangat dibutuhkan untuk menentukan ketergangguan dan perawatan yang tepat.

5. Komorbid atau Ganguan Penyerta

Gangguan mood, kecemasan, depresi serta gangguan kepribadian seringkali ditemukan pada orang dengan ADHD. Hal ini berkaitan dengan hubungan antara stress berkepanjangan dengan kemampuan coping yang kurang mumpuni. Gangguan-gangguan ini seringkali menyebabkan banyak orang dengan usia dewasa baru di diagnosis ADHD ketika sudah mendapatkan banyak diagnosis lain sebelumnya.

Pada point keempat dan kelima, harus disadari dalam proses terapi maupun pengobatan secara farmakologi, para professional akan lebih berfokus pada gejala/perilaku yang tampak serta mengganggu saat ini.

Lalu apa yang harus dilakukan ketika kita merasa bahwa diri kita atau orang terdekat kita memiliki gangguan yang mirip dengan gejala ADHD?

Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak artikel dan self-test terkait ADHD yang telah beredar di media, sehingga seringkali ketika membacanya kita akan merasa bahwa kita mengalami hal tersebut. Padahal banyak gangguan yang juga memiliki gejala tampak seperti ADHD, sehingga perlu asesmen lebih lanjut mengenai motif dan penyebab dari gejala tersebut. Yang perlu kita dilakukan ialah:

1. Temui professional, untuk bersama-sama memahami gangguan yang dialami saat ini.

2. Ajak serta keluarga maupun orang terdekat untuk bersama-sama menggali riwayat gangguan dari usia kanak-kanak hingga usia dewasa.

3. Lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium bila dicurigai adanya penyebab lain yang mungkin berasal dari gangguan pada fisik.

ADHD memang belum dapat disembuhkan, namun dengan penanganan yang tepat sedini mungkin dapat membantu orang tersebut untuk beradaptasi dengan gangguannya sehingga memiliki kualitas hidup yang lebih baik lagi.

Break the Stigma!

Referensi.

  1. American Psychiatric Assosiation. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder. 5th ed. Arlington: American Psychiatric Association.
  2. Davison, dkk. (2014). Psikologi Abnormal. Edisi ke-9. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
  3. Additude. (2020, 6 April). ADHD Statistics: New ADD Facts and Research. Diakses pada 12 Oktober 2020. Dari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun