"Dari maghrib sampai mau isya' loh. Bisa-bisanya tidurnya di situ lagi. Meskipun bukan pas di jalan, tapi banyak orang lewat di sekitarnya dan nggak cuma cewek yang lewat", jawabmu menjelaskan.
"Ya kan aku nggak tau kalau ketiduran", jawabku membela. Entah kenapa aku selalu ingin membela diri atas perkataan-perkataanmu, utamanya yang berkaitan dengan kemandirian. Tetapi pernah satu kali aku tidak membantahmu, yaitu saat camping di pantai. Saat itu, kita sedang memindahkan barang-barang. Kebetulan ada sebuah galon berisi 15 liter air yang belum terbawa. Akhirnya, hendak kuangkatlah galon itu.
Lalu kamu berkata, "Aku aja yang bawa".
Tentunya aku membantah, "Gakpapa tak bawa".
"Taruh! Biar aku aja yang bawa!", sahutmu tiba-tiba dengan nada tinggi. Aku kaget, itu pertama kalinya aku mendengarmu berbicara dengan nada seperti itu. Rasanya seperti mendengar omongan almarhum Bapak, satu-satunya lelaki yang tidak ingin aku bekerja berat, dan terlalu lelah.
Namun semenjak Bapak pergi 8 tahun lalu, aku selalu melakukan sesuatu sendiri. Bahkan aku juga sering melakukan pekerjaan-pekerjaan di sawah bersama ibuku. Mulai dari menanam jagung dan padi, panen cabai, sebar pupuk tanaman, bakar jerami, bahkan mlamir rumah pun kami lakukan sendiri.
Sejak saat itu pula aku tak pernah menunggu lagi bantuan orang lain. Aku sangat terbiasa melakukan semuanya sendiri. Namun sejak kenal kamu, kamu selalu menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu. Pertanyaan yang selalu kujawab dengan kata 'tidak usah', 'nggak papa', 'aku bisa'. Momen saat di pantai itulah pertama kalinya aku mau mengatakan iya kepada orang lain selain Bapak dan ternyata itu kamu.
"Mau sholat isya' sekalian apa gimana nih?", tanya Rana memecahkan lamunan singkatku.
"Makan dulu aja wes", jawabmu langsung.
"Ah iya, Masdar kelaparan pasti habis perjalan jauh, hehe", sahutku.
"Iyo, laper tenan, rek".