Masyarakat bisa mengenal pejabat tertentu dan masyarakat pun bisa merasa dekat dengan pejabatnya sambil mendapatkan pecingan dengan jumlah tertentu. Kondisi ini menjadi hubungan saling menguntungkan, bukan?Â
Kontra pecingan
Meskipun Pecingan bisa memberikan hal yang baik buat orang lain, tetapi pada kenyataannya pecingan juga menimbulkan kontra di kalangan masyarakat. Tradisi pecingan seperti menjadi sebuah "keharusan" bagi para perantau. Namun, perlu anda ketahui bahwa tidak semuanya perantau mendulang keberhasilan di daerah atau negeri orang.
Banyak perantau yang gagal mendapatkan rupiah. Kehidupan mereka di perantauan justru bagai puasa senin - kamis. Dan, untuk bisa pulang kampung saja, mereka rela melakukan apa saja demi bertemu orang tua dan keluarganya. Bahkan, tidak jarang para perantau yang berhutang pada tetangga atau para  rentenir untuk mendapatkan sejumlah uang. Mereka bela-belain berhutang demi menjaga nama baik dan gengsi di kampung halaman nanti.
Sudah beredar dalam sebuah tradisi khususnya di kampung saya bahwa tidak memberikan Pecingan seperti hilang nama baiknya. Bahkan, beredar anggapan masyarakat di kampung saya, "kerjane adoh-adoh, ndein pecingan nggo sedulure bae ora bisa. Kayong melasna temen ya" (kerjanya jauh-jauh, memberikan pecingan buat saudara saja tidak bisa. Kok, kasihan banget ya).
Rasa sakit dan malu tidak bisa hilang begitu saja. Dan, saya pernah mengalaminya. Saat usaha saya mengalami kebangkrutan, saya menyempatkan pulang ke kampung halaman dan tidak bisa memberikan pecingan buat keluarga. Maka, yang timbul adalah suara sumbang alias nyinyir yang nyasar hingga telinga saya. Rasanya seperti ingin balik lagi ke perantauan, tidak tahan rasa malu di hadapan keluarga dan saudara.
Keluarga dan saudara tidak tahu bagaimana kondisi anda selama setahun, bukan? Untung besarkah? Banyak kebutuhankah? Atau, jangan-jangan pepatah perantau yang sering kita dengar, "pulang malu, nggak pulang rindu" hinggap pada diri anda menjelang hari raya.
Keluarga dan saudara di kampung kan tahunya bahwa anda merantau pasti mendulang keberhasilan dan membawa segepok uang untuk pecingan. Kenyataannya, kehidupan anda sendiri dalam kondisi minus. Ibarat kata, bisa mudik saja syukur. Naiknya saja bis atau kereta ekonomi. Selama perjalanan berhemat sekali untuk tidak membeli makanan. Hanya menjadi penonton saat penumpang lainnya menikmati makanan enak.
Sebagai informasi, para perantau memberikan pecingan kepada keluarga yang dekat dengan orang tua sudah menjadi tradisi di kampung saya. Â Sementara, keluarga atau saudara yang hidup di kampung dan dekat dengan orang tua anda justru hidup berkecukupan. Saat anda hidup merantau dan pulang ke kampung halaman kemudian harus memberikan pecingan ke keluarga di kampung halaman terasa tidak adil.
Maka, saat tidak mempunyai dana yang cukup untuk memberikan pecingan, Â saya mengurungkan niatnya untuk pulang kampung halaman. Meskipun, rasa kangen kepada orang tua tidak tertahankan. Sedih, bukan? Tetapi, itulah kenyataan bahwa sebuah tradisi mampu merenggangkan hubungan keluarga. Dan, saya pernah merasakannya, bagaimana rasanya pecingan kadangkala menghalangi untuk berhari raya di kampung halaman.
Kontra pecingan lainnya karena tradisi pecingan juga sering melibatkan jasa penukar uang yang ada di pinggir-pinggir jalan. Mereka menukarkan uangnya dengan mengambil untuk atau jasa penukaran yang bervariasi. Biasanya untuk setiap penukaran uang 100 ribu, diambil jasa penukaran uang sebesar 5 ribu.