Saat bulan Ramadhan paling seru berburu asam "mladaki" bersama teman-teman. Perlu nyali yang tinggi karena saya harus memanjat pohon asam hingga ketinggian 50 meter. Dan, perlu kelihaian kuku jempol untuk "kerok" kulit asam, apakah berwarna coklat tua atau tidak. Karena, hanya kulit yang coklat tua yang bisa saya dan teman-teman ambil.
Rasa asam "mladaki" memang bikin sensasi. Bukan sekedar rasa asam tetapi bercampur dengan rasa pulen. Kadangkala, saya dan teman-yeman berlomba untuk mendapatkan asam "mladaki" terpanjang. Sebuah tantangan yang tidak perlu membutuhkan hadiah. Dianggap sebagai anak hebat jka mampu memanjat pohon asam tertinggi dan paling ujung hingga ranting dahan melengkung ke bawah.
Saya juga pernah berbuka puasa hanya dengan makan asam "mladaki" Â karena ngiler banget. Saya tidak mau makan kolak timun suri dan pisang. Tetapi, asam "mladaki" menjadi menu utama. Saking ketagihan, perut saya merasa mulas hingga malam hari dan merasa demam.
Saat demam, mitos orang desa kala itu masih dikaitkan dengan hal gaib. Kata Bapak, "Kyeh, paling-paling kesambet sing  tunggu pesarean"  (Ini mungkin kena pengaruh dari makhluk gaib penunggu pesarean). Saya pun terdiam saat diobati sambil berharap kesembuhan dan bisa melakukan puasa keesokan harinya.
Hingga sekarang kalau ingat puasa masa kecil jadi tertawa sendiri. Berasa aneh dan lucu. Yang bikin nggak percaya, "kok bisa seberani itu yah". Berbeda dengan anak-anak Jaman Now kan?
Selamat menunaikan ibadah puasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H