Mohon tunggu...
Casmudi
Casmudi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Seorang bapak dengan satu anak remaja.

Travel and Lifestyle Blogger I Kompasianer Bali I Danone Blogger Academy 3 I Finalis Bisnis Indonesia Writing Contest 2015 dan 2019 I Netizen MPR 2018

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Sawah, Sungai dan Kuburan, Tempat Bermain Waktu Kecil di Bulan Ramadhan

3 Juni 2018   03:11 Diperbarui: 3 Juni 2018   04:21 1800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masa kecil sungguh menyenangkan (Sumber: loop.co.id)

Saat bulan Ramadhan paling seru berburu asam "mladaki" bersama teman-teman. Perlu nyali yang tinggi karena saya harus memanjat pohon asam hingga ketinggian 50 meter. Dan, perlu kelihaian kuku jempol untuk "kerok" kulit asam, apakah berwarna coklat tua atau tidak. Karena, hanya kulit yang coklat tua yang bisa saya dan teman-teman ambil.

Rasa asam "mladaki" memang bikin sensasi. Bukan sekedar rasa asam tetapi bercampur dengan rasa pulen. Kadangkala, saya dan teman-yeman berlomba untuk mendapatkan asam "mladaki" terpanjang. Sebuah tantangan yang tidak perlu membutuhkan hadiah. Dianggap sebagai anak hebat jka mampu memanjat pohon asam tertinggi dan paling ujung hingga ranting dahan melengkung ke bawah.

Menggoreskan atau kerok kuku di kulit asam untuk mengetahui asam setengah matang atau
Menggoreskan atau kerok kuku di kulit asam untuk mengetahui asam setengah matang atau
Ya, saat itu saya dan teman-teman tidak punya rasa takut sedikitpun. Semakin tinggi memanjat pohon maka sensasi "anak pesarean" semakin hebat. Dan, saya pernah merasakan hal itu. Ini dibuktikan saat saya dan teman-teman berantem dengan anak-anak gang tetangga karena dilecehkan nama orang tuanya.

Saya juga pernah berbuka puasa hanya dengan makan asam "mladaki"   karena ngiler banget. Saya tidak mau makan kolak timun suri dan pisang. Tetapi, asam "mladaki" menjadi menu utama. Saking ketagihan, perut saya merasa mulas hingga malam hari dan merasa demam.

Saat demam, mitos orang desa kala itu masih dikaitkan dengan hal gaib. Kata Bapak, "Kyeh, paling-paling kesambet sing  tunggu pesarean"  (Ini mungkin kena pengaruh dari makhluk gaib penunggu pesarean). Saya pun terdiam saat diobati sambil berharap kesembuhan dan bisa melakukan puasa keesokan harinya.

Hingga sekarang kalau ingat puasa masa kecil jadi tertawa sendiri. Berasa aneh dan lucu. Yang bikin nggak percaya, "kok bisa seberani itu yah". Berbeda dengan anak-anak Jaman Now kan?

Selamat menunaikan ibadah puasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun