Kesalahan besar adalah tidak adanya kebijakan jeda tebang (moratorium logging) yang menimpa hutan kita. Celakanya, Pemerintah justru mempercayakan pengelolaan hutan Indonesia pada mekanisme pasar global melalui proposal REDD-I (Reduce Emission from Deforestation and Degradation in Indonesia). Akibatnya, kondisi hutan diacak-acak sesuai dengan pangsa pasar yang ada.Â
Kondisi ini menunjukan bahwa kedaulatan rakyat Indonesia tergadaikan atas sumber daya hutan, sekaligus menapikan kepentingan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan terhadap ekosistem hutan. Masyarakat di sekitar hutanlah yang akan menanggung akibatnya kala musim penghujan tiba. Bencana banjir dan tanah longsor tidak bisa terhindarkan lagi. Â
Akibatnya, dari 133 juta ha luas hutan Indonesia, hanya 23 persen saja yang masih berupa hutan primer dan terbebas dari kerusakan. Sisanya 77 persen sudah mengalami konversi atau penebangan liar. Berikut, contoh foto yang menunjukan kondisi hutan di beberapa provinsi di Indonesia.
Hutan Kalimantan (Sumber:Liu Purnomo/Greenpeace Indonesia)
 Kondisi lingkungan yang tidak bersahabat juga memberikan pengaruh terhadap sektor pertanian. Gagal panen karena banjir atau cuaca yang tidak bersahabat mengakibatkan kerugian pada petani. Banyak faktor yang menentukan kegagalan pertanian. Kita berharap banyak bahwa praktek pertanian bisa memberikan keuntungan yang berlimpah.Â
Tentunya, praktek pertanian yang ramah lingkungan. Oleh sebab itu, praktek-praktek indigenus (asli) merupakan praktek pertanian masa depan yang ramah lingkungan jika dan hanya jika memenuhi tiga prasyarat, yaitu: 1) Motif produksinya adalah subsisten; 2) Tekanan penduduk rendah; dan 3) Kelimpahan sumberdaya (resources endowment) tinggi. Jika salah satu prasyarat tidak ada maka akan bergeser ke arah praktek pertanian yang tidak ramah lingkungan.
Perlakuan manusia yang tidak ramah lingkungan juga berakibat terhadap kandungan sumber air minum. Berkurangnya kondisi hutan yang ada menyebabkan berkurangnya kandungan air dalam tanah. Apalagi, minimnya kebiasaan menanam pohon pada masyarakat membuat kurangnya kandungan resapan air.Â
Oleh sebab itu, masyarakat hendaknya menanami pepohonan setiap jengkal tanah yang ada. Pembuatan lubang Biopori juga ikut andil dalam menambah jumlah ressapan air dalam tanah. Ditambah lagi dengan pembuatan sumur-sumur resapan yang berfungsi untuk persediaan air kala musim kemarau tiba. Badan Pusat Statistik (BPS) melansir kondisi resapan air Indonesia tahun 2014, sebagai berikut: