Menjaga Hutan
Hal terpenting agar lingkungan hidup yang kita tinggali tetap bersahabat dengan kita adalah perlunya menjaga kelestarian hutan. Banyak musibah yang kita alami berpuluh-puluh tahun lamanya karena kita mengesampingkan fungsi hutan yang ada. Indonesia sesungguhnya kaya akan hutan. Berdasarkan data yang diperoleh, Indonesia mempunyai hutan tropis dunia sebesar 10 persen.Â
Lebih mengagumkan, sekitar 12% keadaan hutan di Indonesia merupakan bagian dari jumlah binatang yang tergolong jenis mamalia, 16% persen merupakan bagian dari spesies amphibi dan binatang sejenis reptil dan 25% dari bagian spesies sejenis burung dan sekitar 1.519 merupakan bagian dari spesies burung. Sisanya merupakan endemik yang hanya dapat ditemui di daerah tersebut.
Namun, kebanggaan tersebut sepertinya hilang begitu saja. Karena ratusan tumbuhan dan hewan Indonesia yang langka dalam kondisi  terancam punah. Menurut catatan Interational Union Conservation of Nature(IUCN)Redlist, sebanyak 76 spesies hewan Indonesia dan 127 tumbuhan berada dalam status keterancaman tertinggi yaitu status Critically Endangered (Kritis), serta 205 jenis hewan dan 88 jenis tumbuhan masuk kategori Endangered(bahaya/terancam), serta  557 spesies hewan dan 256 tumbuhan berstatus Vulnerable. Â
Sebagai contoh, studi Climate Policy Initiative (CPI) tahun 2015 menunjukkan bahwa produktivitas perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah lebih rendah 13% dari angka rata-rata nasional dan 23% dibandingkan dengan Malaysia. Tingginya permintaan dunia akan Crude Palm Oil (CPO) mendorong pembukaan lahan lebih banyak lagi di provinsi yang memiliki 10% dari total hutan Indonesia.
Yang mengerikan adalah konversi kawasan-kawasan hutan terus dilakukan untuk perkebunan swasta skala besar, pertambangan, dan kebutuhan industri. Menurut Alamendah.org menyatakan bahwa laju deforestasi (penebangan liar) mencapai 1,8 juta hektar/tahun yang mengakibatkan 21% dari 133 juta hektar hutan Indonesia hilang. Padahal, hilangnya hutan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan, meningkatkan peristiwa bencana alam, dan terancamnya kelestarian flora dan fauna.
Konversi hutan juga disebabkan karena kebijakan pemerintah yang lebih menguntungkan para investor. Munculnya UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) memberikan keleluasaan dan keistimewaan kepada pemodal (private sector) untuk memperoleh manfaat dari bumi Indonesia di antaranya Hak Guna Usaha (HGU) yang mencapai 95 tahun, keringanan berbagai bentuk pajak, hingga terbebas dari nasionalisasi.Â
Undang-undang tersebut memberikan ruang gerak investor  untuk pemanfaatan lahan perkebunan kelapa sawit. Lebih menguntungkan  adalah keluarnya kebijakan pemerintah berupa program kredit khusus guna mendukung revitalisasi perkebunan dengan menjanjikan kredit modal usaha dengan bunga hanya 10 persen bagi para investor.
Pengusaha diberi keuntungan bukan hanya aspek permodalan, tetapi berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 26 Tahun 2007 menyatakan bahwa pengusaha perkebunan kelapa sawit diberi keleluasaan menguasai areal hingga 100.000 hektar di satu wilayah provinsi atau kabupaten.Â
Padahal, sebelumnya swasta hanya hanya memiliki kebun seluas 20.000 hektar (merujuk pada SK Menteri Pertanian Nomor 357 Tahun 2002). Kebijakan tentang luasan perkebunan kelapa sawit inilah yang merangsang perambahan hutan lebih banyak lagi. Â