Mohon tunggu...
Casmudi
Casmudi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Seorang bapak dengan satu anak remaja.

Travel and Lifestyle Blogger I Kompasianer Bali I Danone Blogger Academy 3 I Finalis Bisnis Indonesia Writing Contest 2015 dan 2019 I Netizen MPR 2018

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Masa Kecilku, Dari Mandi di Kali Hingga Mencuri Pisang

4 Februari 2016   01:28 Diperbarui: 4 Februari 2016   02:09 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bicara masa kecil? Waduh, malu-malu tapi mau sih. Apalagi yang bikin ngakak, sering tertawa sendiri karena teringat terus hingga kini. Maklum, masa kecil pun perlu dieksplorasi. Cieee…. Puitis banget!

Sejujurnya, banyak kenangan indah masa kecil yang dihabiskan di pedesaan. Dan, saya bersyukur banget. Ya, Desa Kemurang Wetan, Brebes-Jawa Tengah telah memberikan banyak kenangan lucu yang tak pernah habis untuk dikenang. Masa kecil yang kami lalui adalah ketika televisi yang saya tonton masih berupa hitam putih. Ihh, jadul banget ya. Berasa saya sudah tua sekali.

Dijodohin teman sekelas dan adik kelas

Andaikata saya melalui masa kecil sekarang ini, mungkin yang nama dijodohin dengan cewek cantik siapa yang mau nolak. Tetapi, masa kecilku justru berbeda sekali. Ketika SD, saya dijodohin teman sepermainan dengan cewek sekelas dan adik kelas membuat saya uring-uringan. Maluuuu sekali dan ngambek nggak mau sekolah.
Saya pun berusaha cari alasan jika ditanya orang tua. Perut mules …sakit kepala …atau gurunya lagi rapat. Seribu alasan saya cari. Meskipun, saya berusaha untuk berbohong, tetapi saya takut tidak naik kelas kalau tidak berangkat sekolah. Di sekolah, saya pun sering membuang muka dan menghindar dari cewek yang dijodohin. Karena, rasanya malu bertegur sapa dan setiap pulang sekolah selalu pulang buru-buru.

Banyak godaan untuk menjodohkan saya.
Koen digoleti sing biasane. Bisane lunga amleng” (Kamu dicari sama cewek yang biasa. Kenapa hilang nggak jelas). Saat itu, rasanya ingin marah sama yang menjodohkan saya. Sayangnya, teman saya umurnya 3 tahun lebih tua. Jadi, saya selalu jadi bulan-bulanan.

Saya baru tahu, setelah saya menginjak SMA, cewek yang dijodohkan dengan saya sering senyum-senyum jika ketemu saya. Sayang, sebagai teman biasa saja. Tambah cantik khas anak desa. Jodoh yang terhalang …. Ciee… nyesel …

Bermain di Kali
Yang namanya masa kecil di desa, tempat yang paling menarik untuk dieksploarasi adalah memanfaatkan sebaik mungkin fungsi kali (sungai). Kebetulan sekali Sekolah Dasar (SD) tempat saya bersekolah terletak tidak jauh dengan sungai. Hanya berjarak kurang lebih 150 meter.

Yang paling menarik adalah kebun atau sawah yang berada di pinggir sungai dimiliki oleh orang kaya yang rumahnya terletak di depan rumah saya. Saat keadaan air sungai sedang meluap karena musim hujan, setiap pulang sekolah saya dan teman-teman bukannya bergegas pulang tetapi justru meluncur langsung ke sungai.

Jangan harap punya tas untuk menyimpan buku pelajaran. Saya hanya bermodalkan kantong plastik putih transparan yang sekarang untuk membungkus beras dan minyak goreng. Kehidupan yang sangat …sangat …sederhana. Sepanjang belajar di Sekolah Dasar (SD), saya pun tidak pernah memakai sepatu. Itulah sebabnya, setiap musim hujan saat air sungai sedang pasang adalah masa-masa bahagia untuk mandi gratis di kali karena bisa berlari sesukanya di pematang sawah.

Setiap bel sekolah tanda pulang, saya dan teman-teman berlari sekencang-kencangnya seperti lomba lari menuju pematang di pinggir sungai untuk menaruh tas plastik dan baju sekolah. Dan byurrrr … Ha …ha … ha …. Itulah gelak tawa yang sering saya ungkapkan saat badan kami meluncur ke sungai. Pandilannnnnnn …. Mantra yang sudah melegenda ketika di sungai. Tidak butuh mentor alias pelatih renang untuk mengajarkan saya renang, alam yang membentuk saya untuk menjadi perenang handal. Hebat nemen sung!

Ketika, saya dan teman-teman berlari menuju sungai tanpa terasa kami telah terpeleset dan jatuh beberapa kali di kebun atau sawah pinggir sungai milik tetangga saya. Karena, tanpa sadar perjalanan kami menuju sungai telah merusak dan menginjak-injak padi yang baru di tanam dan berbagai tanaman tumpang sari lainnya. Berhubung sang pemiliknya tidak ada, kami pun enjoy saja mandi di kali. Beberapa jam kemudian, saat kami mandi sang pemilik dengan muka masam memarahi kami yang sedang mandi.

Hoiiii …kuwe anake sapa sih, parine inyong dadi rusak kabeh. Ayo, pada mentas belih!” (Hai … kalian anak siapa sih, padi punya saya banyak yang rusak. Ayo, selesai nggak) sambil membawa kayu kecil.
Rupanya, kemarahan sang pemilik sawah tersebut diimbangi dengan membawa semua baju-baju kami yang ditaruh di pinggir sungai. Alamakkkk … kami harus berjalan tanpa baju menuju gubuk yang terletak di tengah sawah. Wudaaaa kabehhhh …. Isin nemen …. (Telanjang semua …. Malu banget). Apalagi, saat berjalan, teman-teman cewek lagi pada lewat. Ihhh, apaan tuh ….

Kami tak bisa berbuat apa-apa. Kami dijewer telinganya satu persatu. Semuanya hanya menangis dan meneteskan air mata khas anak kecil sambil tertunduk lesu menerima satu-persatu baju kami.
Awas, lamon adus-adusan nang kene maning karo ngrusak pari tak domongna wong tuwane koen. Ngerti belih!” (Awas, jika mandi di sini lagi sambil merusak tanaman padi, saya bilang sama orang tuamu. Ngerti nggak!) kalimat yang meluncur dari sang pemilik sawah kepada kami.

Meskipun, kami belum puas mengeksplorasi sungai, dengan terpaksa kami pulang ke rumah masing-masing. Apesss ….. Hebatnya, kami bukan anak-anak pengadu ke orang tua atas tingkah polah sang pemilik sawah yang telah dilakukan kepada kami. Kami anggap kejadian tersebut laksana riak-riak gelombang yang harus kami lalui. Bahkan merupakan tantangan untuk mengulanginya kembali, karena sungai tersebut merupakan tempat satu-satunya untuk memupuk kegembiraan kami di masa kecil.

Mencuri Pisang

Masa kecil dengan taraf perekonomian yang kurang membuat masa kecil penuh warna. Kami harus bertaruh apapun demi mengisi perut. Sebenarnya, linkungan yang membentuk masa kecil saya menjadi nekad. Kebetulan di samping Sekolah Dasar (SD) tempat saya bersekolah terdapat kebun pisang raja yang panjangnya bisa mencapai 50 cm seluas hampir 2 hektar. Pemiliknya masih satu desa, tetapi rumahnya agak jauh kurang lebih 2 km dari tempat saya tinggal. Kebun tersebut berpagar bambu setinggi 2 meter.

Setiap, saya pulang pulang sekolah pisang-pisang yang panjang dan telah matang tersebut selalu menggoda untuk dicicipinya. Kadang, saat saya melihat sang pemilik lewat di sekitar kebun tak segan-segan untuk meminta ijin untuk mengambil pisang yang telah jatuh di tanah karena takut membusuk.
Mang, njaluk gedange sing wis tiba olih?” (Pak, minta pisangnya yang sudah jatuh boleh?) pintaku bersama teman-teman sepermainan.
Ora olih, enak temen kaya gedange bapane!” (Nggak boleh, enak banget kayak pisang bapakmu!) jawabnya. Kami pun hanya “manyun” dan sambil ngedumel, “wong ka medit temen, dari pada gedange langka sing mangan ya mending dijukut wong” (orang kok pelit banget, dari pada pisangnya tidak ada yang makan, mending diambil orang).

Saya pun sering mencari akal untuk mencicipi pisang tersebut saat sang penjaga kebun sedang lengah. Kami pun nekad melompati pagar hanya untuk mencicipi rasa pisang raja tersebut. Ketika saya dan teman-sedang mencicipi pisang yang sudah jatuh di tanah, sang penjaga kebun mengetahui aksi kami.
Sapa kuwe, bocah mblunat temen… gedange uwong ka dipangan ora poyan”. (Siapa itu, anak kok nakal banget … pisang punya orang dimakan nggak minta ijin).

Kami tak bisa berbuat apa-apa hanya pasrah. Dan selanjutnya kami dijewer satu persatu. Sang penjaga mengira kami makan pisang yang matang dipohon. Setelah mengetahui kami makan pisang yang jatuh di tanah dan hampir busuk, hatinya tersentuh.
Wa, inyong mung mangan gedang sing tiba nang lemah ka!” (Kek, saya hanya makan pissang yang jatuh di tanah kok!) jawab saya sedikit ngeles.
Temenan!”. (Serius!)
Iya wa, sung!” (Iya kek, sumpah!) jawab kami serentak.
Celakanya lagi, kami dihukum bukan dengan push up, lari-lari atau dipukul. Kami disuruh ngumpulin pisang-pisang yang telah jatuh di tanah dan hampir busuk dalam kantong besar dan disuruh bawa pulang. Coba, bayangkan … beban yang telah kami kumpulkan hampir setengah kuintal dan harus dibawa 4 anak kelas 2 SD. Sungguh berat ketika kami harus melewati pagar yang tinggi, bukan melewati pintu masuk. Ngeri-ngeri sedap!
Rasakna kaboten, ben tuman aja maning-maning!” (Rasain keberatan, biar jera nggak lagi-lagi) kata sang penjaga. Kami hanya nyengir sambil ngeden mengangkat beban karena terlalu berat.

Sampai di rumah, saya membawa bagian masing-masing pisang raja yang dibawanya. Bukannya pujian dari orang tua yang saya terima, tetapi disuruh menghabiskan pisang raja tersebut sampai mblenger. Orang tua saya tahu dari informasi tetangga yang tidak bertanggung jawab bahwa pisang yang saya bawa dapat dari mencuri. Oleh karena itu, dari pada nggak habis, saya mencari akal untuk menyenangkan orang tua. Sisa pisang yang saya makan saya tukar dengan gorengan dan beras di warung tetangga. Bapak pun nggak ngeh bahwa nasi yang dimakannya adalah hasil tukar guling pisang dengan beras.
Koen, olih duit sing endi bisa tuku beras karo gorengan” (Kamu, dapat uang dari mana bisa beli beras sama gorengan) tanya bapak saya.
Gedang sing mau tak ijol beras karo gorengan, pak” (pisang yang tadi saya tukar beras dan gorengan, pak”.
Dadi, kiye gedang sing mau” (Jadi, ini pisang yang tadi) jawab bapak saya sambil muntah-muntah.
Wis kadung mlebu, delek bae wis geh! Wong, gedange dinein wong ka” (Sudah terlanjur masuk, telan saja udah. Orang, pisangnya dikasih orang kok) kata ibu saya sambil guyon.
Sambil berlalu, saya pun tertawa cekikikan. Maafkan saya pak!

*) Ilustrasi: cdn.newshub.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun