“Hoiiii …kuwe anake sapa sih, parine inyong dadi rusak kabeh. Ayo, pada mentas belih!” (Hai … kalian anak siapa sih, padi punya saya banyak yang rusak. Ayo, selesai nggak) sambil membawa kayu kecil.
Rupanya, kemarahan sang pemilik sawah tersebut diimbangi dengan membawa semua baju-baju kami yang ditaruh di pinggir sungai. Alamakkkk … kami harus berjalan tanpa baju menuju gubuk yang terletak di tengah sawah. Wudaaaa kabehhhh …. Isin nemen …. (Telanjang semua …. Malu banget). Apalagi, saat berjalan, teman-teman cewek lagi pada lewat. Ihhh, apaan tuh ….
Kami tak bisa berbuat apa-apa. Kami dijewer telinganya satu persatu. Semuanya hanya menangis dan meneteskan air mata khas anak kecil sambil tertunduk lesu menerima satu-persatu baju kami.
“Awas, lamon adus-adusan nang kene maning karo ngrusak pari tak domongna wong tuwane koen. Ngerti belih!” (Awas, jika mandi di sini lagi sambil merusak tanaman padi, saya bilang sama orang tuamu. Ngerti nggak!) kalimat yang meluncur dari sang pemilik sawah kepada kami.
Meskipun, kami belum puas mengeksplorasi sungai, dengan terpaksa kami pulang ke rumah masing-masing. Apesss ….. Hebatnya, kami bukan anak-anak pengadu ke orang tua atas tingkah polah sang pemilik sawah yang telah dilakukan kepada kami. Kami anggap kejadian tersebut laksana riak-riak gelombang yang harus kami lalui. Bahkan merupakan tantangan untuk mengulanginya kembali, karena sungai tersebut merupakan tempat satu-satunya untuk memupuk kegembiraan kami di masa kecil.
Mencuri Pisang
Masa kecil dengan taraf perekonomian yang kurang membuat masa kecil penuh warna. Kami harus bertaruh apapun demi mengisi perut. Sebenarnya, linkungan yang membentuk masa kecil saya menjadi nekad. Kebetulan di samping Sekolah Dasar (SD) tempat saya bersekolah terdapat kebun pisang raja yang panjangnya bisa mencapai 50 cm seluas hampir 2 hektar. Pemiliknya masih satu desa, tetapi rumahnya agak jauh kurang lebih 2 km dari tempat saya tinggal. Kebun tersebut berpagar bambu setinggi 2 meter.
Setiap, saya pulang pulang sekolah pisang-pisang yang panjang dan telah matang tersebut selalu menggoda untuk dicicipinya. Kadang, saat saya melihat sang pemilik lewat di sekitar kebun tak segan-segan untuk meminta ijin untuk mengambil pisang yang telah jatuh di tanah karena takut membusuk.
“Mang, njaluk gedange sing wis tiba olih?” (Pak, minta pisangnya yang sudah jatuh boleh?) pintaku bersama teman-teman sepermainan.
“Ora olih, enak temen kaya gedange bapane!” (Nggak boleh, enak banget kayak pisang bapakmu!) jawabnya. Kami pun hanya “manyun” dan sambil ngedumel, “wong ka medit temen, dari pada gedange langka sing mangan ya mending dijukut wong” (orang kok pelit banget, dari pada pisangnya tidak ada yang makan, mending diambil orang).
Saya pun sering mencari akal untuk mencicipi pisang tersebut saat sang penjaga kebun sedang lengah. Kami pun nekad melompati pagar hanya untuk mencicipi rasa pisang raja tersebut. Ketika saya dan teman-sedang mencicipi pisang yang sudah jatuh di tanah, sang penjaga kebun mengetahui aksi kami.
“Sapa kuwe, bocah mblunat temen… gedange uwong ka dipangan ora poyan”. (Siapa itu, anak kok nakal banget … pisang punya orang dimakan nggak minta ijin).
Kami tak bisa berbuat apa-apa hanya pasrah. Dan selanjutnya kami dijewer satu persatu. Sang penjaga mengira kami makan pisang yang matang dipohon. Setelah mengetahui kami makan pisang yang jatuh di tanah dan hampir busuk, hatinya tersentuh.
“Wa, inyong mung mangan gedang sing tiba nang lemah ka!” (Kek, saya hanya makan pissang yang jatuh di tanah kok!) jawab saya sedikit ngeles.
“Temenan!”. (Serius!)
“Iya wa, sung!” (Iya kek, sumpah!) jawab kami serentak.
Celakanya lagi, kami dihukum bukan dengan push up, lari-lari atau dipukul. Kami disuruh ngumpulin pisang-pisang yang telah jatuh di tanah dan hampir busuk dalam kantong besar dan disuruh bawa pulang. Coba, bayangkan … beban yang telah kami kumpulkan hampir setengah kuintal dan harus dibawa 4 anak kelas 2 SD. Sungguh berat ketika kami harus melewati pagar yang tinggi, bukan melewati pintu masuk. Ngeri-ngeri sedap!
“Rasakna kaboten, ben tuman aja maning-maning!” (Rasain keberatan, biar jera nggak lagi-lagi) kata sang penjaga. Kami hanya nyengir sambil ngeden mengangkat beban karena terlalu berat.
Sampai di rumah, saya membawa bagian masing-masing pisang raja yang dibawanya. Bukannya pujian dari orang tua yang saya terima, tetapi disuruh menghabiskan pisang raja tersebut sampai mblenger. Orang tua saya tahu dari informasi tetangga yang tidak bertanggung jawab bahwa pisang yang saya bawa dapat dari mencuri. Oleh karena itu, dari pada nggak habis, saya mencari akal untuk menyenangkan orang tua. Sisa pisang yang saya makan saya tukar dengan gorengan dan beras di warung tetangga. Bapak pun nggak ngeh bahwa nasi yang dimakannya adalah hasil tukar guling pisang dengan beras.
“Koen, olih duit sing endi bisa tuku beras karo gorengan” (Kamu, dapat uang dari mana bisa beli beras sama gorengan) tanya bapak saya.
“Gedang sing mau tak ijol beras karo gorengan, pak” (pisang yang tadi saya tukar beras dan gorengan, pak”.
“Dadi, kiye gedang sing mau” (Jadi, ini pisang yang tadi) jawab bapak saya sambil muntah-muntah.
“Wis kadung mlebu, delek bae wis geh! Wong, gedange dinein wong ka” (Sudah terlanjur masuk, telan saja udah. Orang, pisangnya dikasih orang kok) kata ibu saya sambil guyon.
Sambil berlalu, saya pun tertawa cekikikan. Maafkan saya pak!
*) Ilustrasi: cdn.newshub.id