Menurut Ketut Gede Gunawan, Kabid Ketertiban Umum dan Ketertiban Masyarakat Satpol PP Kota Denpasar menyatakan bahwa Satpol PP melakukan tindakan tegas kepada para Pedagang Kaki Lima (PKL) yang membandel berjualan di atas trotoar yang sangat merusak keindahan dan kebersihan wajah Kota Denpasar. Pihak Satpol PP menyadari bahwa perlunya koordinasi dan komunikasi dengan aparat lingkungan dan desa setempat untuk terlibat langsung dalam pengawasan PKL, sehingga dapat mewujudkan Kota Denpasar bebas pelanggaran dari PKL.
Kondisi terenggutnya ruang publik menjadi masalah serius yang harus ditangani Pemerintah Kota Denpasar secepatnya. Pemerintah Kota Denpasar pun melakukan langkah serius untuk mempertahankan ruang publik yang ada dan mencari tempat alternatif lainnya sebagai ruang publik. Saat ini, Pemerintah Kota Denpaasar pun telah menata beberapa tempat yang bisa dijadikan ruang publik, seperti; Lapangan Lumintang, lapangan Pegok Sesetan, Lapangan Kompyang Sujana, Lapangan Lila Buana dan lain-lain.
Setidaknya, Pemerintah Kota Denpasar masih memmpunyai harapan dan tanggung jawab moral terhadap masyarakat untuk mewujudkan ruang publik yang aman, nyaman dan humanis. Jadi, slogan Kota Denpasar sebagai KotaBudaya bukan hanya berpredikat ramah anak, ramah lansia dan lain-lain. Tetapi, kewajiban Pemerintah Kota Denpasar yang ramah Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan solusi yang harus diwujudkan.
Banyak lokasi yang saya sebutkan di atas bisa dikembangkan menjadi ruang publik yang mengagumkan, seperti: Lapangan Poh Gading, Denpasar Utara. Jika, kawasan ini bisa digarap seperti Lapangan Puputan Badung atau Lapangan Lumintang, maka akan terjadi penyebaran ruang publik secara merata di Kota Denpasar. Secara mayoritas, masyarakat Kota Denpasar jika menginginkan hiburan, olahraga atau sekedar santai akan datang ke Lapangan Lumintang atau Lapangan Puputan Badung yang dilengkapi berbagai fasilitas penunjang.
Keceriaan anak-anak di Lapangan Poh Gading, Denpasar Utara yang sunyi (Sumber: dokpri)
Jadi, sebenarnya Pemerintah Kota Denpasar masih mempunyai banyak tempat alternatif yang bisa digarap dengan baik untuk menjadi ruang publik. Saya menyadari bahwa butuh waktu dan proses untuk merombak setiap kawasan yang “nganggur” untuk dijadikan ruang publik yang bermanfaat. Pemerintah Kota Denpasar juga harus tegas dan tanpa pandang bulu untuk tidak mengeluarkan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) bagi siapapun yang sekiranya berpotensi untuk melakukan perubahan Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi tempat usaha atau perumahan.
Kita memahami bahwa persentase Ruang terbuka Hijau (RTH) yang diharapkan adalah minimal sebesar 30 persen dari seluruh luasan wilayah. Tuntutan ini merupakan sebuah kewajiban yang harus dipahami oleh setiap pemangku kepentingan. Jika, ruang publik semakin berkurang setiap tahunnya, pertanyaan yang mudah adalah: di manakah masyarakat bisa bebas berinteraksi dengan orang lain atau Pemerintah secara aman dan nyaman? Kita tidak menginginkan saat acara publik digelar di kawasan yang sempit. Memang, memberikan hiburan bagi masyarakat, tetapi di sisi lain kemacetan luar biasa tidak terhindari karena betapa sempitnya ruang publik yang dipakai.
Oleh sebab itu, Pemerintah Kota Denpasar selain membawa pesan kepada dunia tentang masa depan ruang publik di perkotaan juga harus “memperbaiki” diri tentang terpenuhinya ruang publik yang ada. Kita berharap semoga kuantitas ruang publik yang ada di Kota Denpasar mampu memenuhi standar yang diinginkan di masa mendatang. Sebab, keberadaan ruang publik merupakan jati diri sebuah kota yang maju.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H