Mohon tunggu...
Casmudi
Casmudi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Seorang bapak dengan satu anak remaja.

Travel and Lifestyle Blogger I Kompasianer Bali I Danone Blogger Academy 3 I Finalis Bisnis Indonesia Writing Contest 2015 dan 2019 I Netizen MPR 2018

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tantangan dan Harapan Ruang Publik di Kota Denpasar

28 September 2015   14:24 Diperbarui: 28 September 2015   17:20 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Sebelas … sebelas …pak! sebelas ….itu loh suaranya bagus, kasih bendera !!!”
“Pak, pak, pak … dengerin …itu yang nomor 31 kasih bendera … woi!!
“Wah, jurinya nggak punya telinga. Itu burung saya bunyi kenceng nggak dikasih bendera!”
“Dua lapan…dua lapan …dua lapan ….”

 

Berbagai ekspresi suara ratusan suporter atau pemilik burung berkicau yang menyesaki di luar pagar besi sungguh riuh dan membuat semangat bagi siapa yang melihatnya. Mereka menyemangati burung berkicau yang dimiliknya atau teman satu klubnya untuk membangkitkan burung agar berkicau merdu sesuai dengan yang diharapkan, menjuarai lomba dan bersertifikat.

Setiap suara yang dikeluarkan burung tersebut, sang panitia yang berjumlah kurang lebih 10 orang memberikan bendera warna-warni yang dimasukan di dalam lubang yang ditempelkan di kursi dengan lakban dan kursi tersebut ditaruh tepat di bawah sangkar burung kontestan. Di pinggir pagar arena kontestan, beberapa pecalang (petugas keamanan khas Bali) berjaga-jaga di pinggir pagar untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.

Ya, kebetulan kemarin tanggal 27 September 2015, saya berkesempatan melihat secara langsung perhelatan Lomba dan Pameran Burung Berkicau yang memperebutkan Piala Puputan Badung 2015. Dan kebetulan ajang tersebut diadakan di Lapangan I Gusti Made agung Denpasar yang lebih dikenal dengan sebutan Lapangan Puputan Badung. Perlu dipahami bahwa Lapangan Puputan Badung dikenal sebagai ruang publik yang terkenal di Kota Denpasar.

 


Lomba dan Pameran Burung Berkicau Piala Puputan Badung 2015 (Sumber: dokpri)


Juri sedang menilai setiap burung berkicau peserta (Sumber: dokpri)


Para peserta menyiapkan burung berkicau miliknya untuk ikut kontes (Sumber: dokpri)

Lapangan Puputan Badung yang terletak di seberang Kantor Walikota Denpasar dan Kawasan Catur Muka memang sudah menjadi ruang publik yang terkenal di Kota Denpasar. Setiap orang yang berasal dari mana saja, khususnya Kota Denpasar bisa berkunjung ke tempat ini untuk berwisata atau mengadakan kegiatan apapun di Lapangan Puputan Badung. Bahkan, kegiatan resmi Pemerintah Kota Denpasar pun sering diadakan di sini. Masyarakat Kota Denpasar bisa langsung berinteraksi, tatap muka atau memberikan pendapat pada acara-acara tertentu. Dengan demikian, terjadi sebuah interaksi langsung antara masyarakat dan pemegang kebijakan.

Tahun 2015, Pemerintah Kota Denpasar dipercaya untuk menjadi tuan rumah perhelatan peringatan Hari Habitat Dunia (HHD) 2015. Sebuah amanat besar yang harus diemban dalam memenuhi hak-hak dasar yang memadai di lingkungan permukiman dan merespon perkembangan perkotaan.

Perlu diketahui bahwa peringatan HHD 2015 akan diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 5-6 Oktober 2015 dan di Denpasar pada tanggal 8-11 Oktober 2015. Tujuan diadakannya peringatan Hari Habitat Dunia (HHD) 2015 adalah untuk merefleksikan keadaan perkotaan, serta mengingatkan kepada dunia untuk menghimpun kekuatan dan bertanggung jawab membentuk masa depan kota- kota. Di acara peringatan Hari Habitat Dunia (HHD) 2015 yang akan diadakan di Lapangan Renon dan Wisma Werdhapura akan membawa pesan Indonesia kepada dunia tentang masa depan kota-kota, khususnya di Indonesia.

Tantangan Mempertahankan Ruang Publik
Pemerintah Kota Denpasar sendiri mempunyai tantangan mengenai ruang publik yang kuantitasnya semakin berkurang. Berubahnya peruntukan Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi kawasan perumahan atau tempat bisnis menuntut Pemerintah Kota Denpasar memutar otak untuk mempertahankan RTH agar tetap menjadi ruang publik.

Tergiur tawaran mahal dan naiknya harga properti setiap tahun merupakan salah satu faktor pemicu konversi lahan. Banyak lahan masyarakat Kota Denpasar yang tadinya berupa sawah atau kebun rela dijual atau disewa kepada investor untuk dijadikan komplek perumahan atau pabrik. Dampaknya, luasan RTH semakin menyusut setiap tahunnya dan ruang publik pun menjadi tergadaikan.

Padahal, keberadaan ruang publik akan memberikan wadah masyarakat untuk melakukan interkasi dengan orang lain. Di ruang publik juga masyarakat bisa membimbing anak-anaknya untuk mengenali alam, kondisi lingkungan dan mempercepat melakukan interaksi dengan anak lainnya.

Ruang publik juga mampu memberikan daya kreasi masyarakat terhadap hobi tertentu. Jika, kita datang ke Lapangan Puputan Badung tidak sukar untuk menemukan beberapa orang atau pemuda yang sedang melakukan olahraga putar otak yaitu: catur dan olahraga skate board. Bahkan, tersedianya arena dan bidak catur ukuran “raksasa” bisa dimainkan siapa saja yang berkunjung ke tempat tersebut. Siapapun bisa mengembangkan kemampuannya di ruang publik tersebut.


Mengenalkan anak-anak untuk memahami arti penting ruang public (Sumber: dokpri)


Ruang publik bisa dimanfaatkan untuk membangun interaksi dengan orang lain dan memaksimalkan kemampuan olahraga (Sumber: dokpri)

Banyak lahan yang seharusnya menjadi ruang publik telah berubah fungsi menjadi lahan bisnis perorangan atau kelompok. Banyak trotoar di jalanan Kota Denpasar telah berubah menjadi tempat usaha sementara atau semi permanen. Bahkan, kita tidak sulit untuk melihat pinggir jalan di Kota Denpasar yang telah berubah fungsi menjadi “Show Room” mobil atau sepeda motor jalanan.

Padahal, pemanfaatan lahan tersebut telah merampas hak publik. Akibatnya, kondisi tersebut bukan hanya mengganggu pemandangan kota, tetapi merupakan penyumbang kemacetan yang luar biasa di kota Denpasar pada saat jam-jam sibuk. Di sisi lain, pihak Pemerintah Kota Denpasar melalui Satpol PP beberapa kali melakukan penertiban atau menghimbau kepada para pedagang kaki lima atau usaha semi permanen yang memakai badan jalan untuk mengosongkan atau memindahkan usahanya.

Lahan-lahan milik Pemerintah Kota Denpasar yang telah selesai waktu sewa oleh pihak kedua pun masih mengalami kendala untuk dijadikan ruang publik. Sebagai contoh, berita dari salah satu koran yang beredar di Bali, Bali Post  tanggal 27 September 2015 melansir tentang masih mangkraknya lahan bekas Supermarket Tiara Grosir yang belum digunakan sama sekali sejak manajemen Tiara Grosir melepas masa hak sewanya. Meskipun ada informasi bahwa lahan tersebut akan digunakan sebagai pusat Usaha Kecil dan Menengah (UKM).

Harapan yang Masih Ada
Terhadap kondisi ruang publik yang ada, masyarakat Kota Denpasar pun masih mempunyai harapan. Mereka berharap agar Pemerintah Kota Denpasar melakukan terobosan mencari tempat alternarif untuk dijadikan ruang publik. Bahkan, Pemerintah Kota Denpasar tidak segan-segan melakukan pembongkaran terhadap bangunan yang tidak mempunyai ijin usaha (illegal) atau melanggar kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH).

Menurut Ketut Gede Gunawan, Kabid Ketertiban Umum dan Ketertiban Masyarakat Satpol PP Kota Denpasar menyatakan bahwa Satpol PP melakukan tindakan tegas kepada para Pedagang Kaki Lima (PKL) yang membandel berjualan di atas trotoar yang sangat merusak keindahan dan kebersihan wajah Kota Denpasar. Pihak Satpol PP menyadari bahwa perlunya koordinasi dan komunikasi dengan aparat lingkungan dan desa setempat untuk terlibat langsung dalam pengawasan PKL, sehingga dapat mewujudkan Kota Denpasar bebas pelanggaran dari PKL.

 

Satpol PP menertibkan pedagang kaki lima yang memakan bahu jalan dan spanduk yang mengganggu pemandangan (Sumber: rri.co.id)

Kondisi terenggutnya ruang publik menjadi masalah serius yang harus ditangani Pemerintah Kota Denpasar secepatnya. Pemerintah Kota Denpasar pun melakukan langkah serius untuk mempertahankan ruang publik yang ada dan mencari tempat alternatif lainnya sebagai ruang publik. Saat ini, Pemerintah Kota Denpaasar pun telah menata beberapa tempat yang bisa dijadikan ruang publik, seperti; Lapangan Lumintang, lapangan Pegok Sesetan, Lapangan Kompyang Sujana, Lapangan Lila Buana dan lain-lain.

Setidaknya, Pemerintah Kota Denpasar masih memmpunyai harapan dan tanggung jawab moral terhadap masyarakat untuk mewujudkan ruang publik yang aman, nyaman dan humanis. Jadi, slogan Kota Denpasar sebagai KotaBudaya bukan hanya berpredikat ramah anak, ramah lansia dan lain-lain. Tetapi, kewajiban Pemerintah Kota Denpasar yang ramah Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan solusi yang harus diwujudkan.

Banyak lokasi yang saya sebutkan di atas bisa dikembangkan menjadi ruang publik yang mengagumkan, seperti: Lapangan Poh Gading, Denpasar Utara. Jika, kawasan ini bisa digarap seperti Lapangan Puputan Badung atau Lapangan Lumintang, maka akan terjadi penyebaran ruang publik secara merata di Kota Denpasar. Secara mayoritas, masyarakat Kota Denpasar jika menginginkan hiburan, olahraga atau sekedar santai akan datang ke Lapangan Lumintang atau Lapangan Puputan Badung yang dilengkapi berbagai fasilitas penunjang.


Keceriaan anak-anak di Lapangan Poh Gading, Denpasar Utara yang sunyi (Sumber: dokpri)

Jadi, sebenarnya Pemerintah Kota Denpasar masih mempunyai banyak tempat alternatif yang bisa digarap dengan baik untuk menjadi ruang publik. Saya menyadari bahwa butuh waktu dan proses untuk merombak setiap kawasan yang “nganggur” untuk dijadikan ruang publik yang bermanfaat. Pemerintah Kota Denpasar juga harus tegas dan tanpa pandang bulu untuk tidak mengeluarkan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) bagi siapapun yang sekiranya berpotensi untuk melakukan perubahan Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi tempat usaha atau perumahan.

Kita memahami bahwa persentase Ruang terbuka Hijau (RTH) yang diharapkan adalah minimal sebesar 30 persen dari seluruh luasan wilayah. Tuntutan ini merupakan sebuah kewajiban yang harus dipahami oleh setiap pemangku kepentingan. Jika, ruang publik semakin berkurang setiap tahunnya, pertanyaan yang mudah adalah: di manakah masyarakat bisa bebas berinteraksi dengan orang lain atau Pemerintah secara aman dan nyaman? Kita tidak menginginkan saat acara publik digelar di kawasan yang sempit. Memang, memberikan hiburan bagi masyarakat, tetapi di sisi lain kemacetan luar biasa tidak terhindari karena betapa sempitnya ruang publik yang dipakai.

Oleh sebab itu, Pemerintah Kota Denpasar selain membawa pesan kepada dunia tentang masa depan ruang publik di perkotaan juga harus “memperbaiki” diri tentang terpenuhinya ruang publik yang ada. Kita berharap semoga kuantitas ruang publik yang ada di Kota Denpasar mampu memenuhi standar yang diinginkan di masa mendatang. Sebab, keberadaan ruang publik merupakan jati diri sebuah kota yang maju.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun