Mohon tunggu...
Casmudi
Casmudi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Seorang bapak dengan satu anak remaja.

Travel and Lifestyle Blogger I Kompasianer Bali I Danone Blogger Academy 3 I Finalis Bisnis Indonesia Writing Contest 2015 dan 2019 I Netizen MPR 2018

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mencari Pemimpin Ibu Tiri?

1 September 2015   11:17 Diperbarui: 1 September 2015   11:17 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Betapa malang nasibku
Semenjak ditinggal ibu
Walau kini dapat ganti
Seorang ibu
Ibu tiri
Tiada sama rasanya
Ibu kandung yang tercinta
Menyayang sepenuh jiwa
Penuh kasih lagi mesra
Reff.
Ibu tiri hanya cinta kepada ayahku saja
Selagi ayah di sampingku
Ku dipuja ku dimanja
Tapi bila ayah pergi
Ku dinista dan dicaci
Bagai anak yang tak berbakti
Tiada menghirauku lagi
Aduhai ibu tiriku
Kasihanilah padaku
Bagai anakmu sendiri
Agar dapat ku berbakti 

Lirik lagu di atas yang berjudul “Ratapan Anak Tiri” memberi gambaran jelas bahwa betapa tidak adilnya seorang ibu tiri terhadap anak tiri (anak dari suaminya). Meskipun, ada juga ibu tiri yang sangat sayang terhadap anak tirinya, tetapi perlakuan tidak adil seorang ibu tiri terhadap anak tirinya selalu saja terjadi. Dan, prosentase kekerasan ibu tiri terhadap anak tirinya sangat dominan dibandingkan dengan sikap lemah lembut dan kasih sayang ibu tiri terhadap anak tirinya.

Lantas bagaimana dengan pemimpin, kepala daerah atau wakil rakyat kita yang dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu? Pemimpin kita sekarang ini hampir seperti ibu tiri kebanyakan. Jika, pemimpin, kepala daerah atau wakil rakyat kita anggap sebagai ibu tiri, sedangkan pemilu (pemilihan umum) sebagai ayah dan rakyat sebagai anak dari ayah. Maka, akan terjadi korelasi yang tidak bisa dipisahkan.

 

Menjadi pemimpin yang diikuti oleh rakyat bukan karena janjinya, tetapi karena karakter yang menjunjung tinggi harkat dan martabat bangsa

Bagaimana tingkah ibu tiri terhadap anak tirinya ketika suami (ayah dari anak tirinya) ada di rumah? Sangat baik, penyayang dan benar-benar tebar pesona. Tingkah laku ibu tiri begitu menggoda dan membutakan suaminya. Suaminya pun menganggap bahwa istrinya adalah sosok yang pantas menjadi pendamping hidupnya dan bisa membimbing, mengayomi dan memberi ilmu yang bermanfaat terhadap anak tirinya. Anak tiri pun akan senang, hormat, berharap bahwa ibu tiri tersebut merupakan hasil pencarian ayahnya yang benar untuk mendampingi hidupnya serta mampu memberi kasih dan sayang terhadap dirinya.

Tetapi, setelah suami (ayah dari anak tirinya) tidak ada di rumah atau pergi bekerja atau pergi untuk selama-lamanya, karakter asli alias boroknya mulai muncul secara alamiah dan spontanitas. Anak tirinya tidak lagi menjadi belahan jiwa. Rasa kasih dan sayang untuk melindungi, mengayomi, memberi pelajaran hidup terbaik pun musnah alias hilang secara pelan-pelan atau drastis. Anak tirinya pun mulai menjadi bulan-bulanan ibu tirinya. Kekerasan mulai terjadi setiap hari. Kebutuhan makan, pakaian dan lainnya mulai dibatasi. Bahkan, kebutuhan layak anak tirinya mulai dihilangkan. Kejadian selanjutnya adalah anak tirinya terlantar dan kondisinya semakin mengenaskan. Bahkan ada yang mendekati kematian karena menderita sakit berkepanjangan.

Yang lebih mengerikan adalah ibu tirinya pun mulai mengatur strategi untuk mengeruk harta atau maaf (menghabisi) suaminya agar berpindah tangan kepadanya. Padahal, prosentase yang besar harta suaminya yang berlimpah biasanya secara alami akan diwariskan kepada anaknya. Tetapi, kenyataannya justru anak tirinya mengalami perlakuan yang tidak manusiawi. Secuil harta ayahnya pun tak bisa didapat. Sebuah karakter ibu tiri yang licik, picik dan lain sebagainya.

Gambaran di atas merupakan sebuah gambaran yang sering terlihat dalam dunia nyata dan dibuat dalam sebuah film atau sinetron. Negeri kita adalah negeri yang kaya raya. Mencari apapun ada di sini. Tak heran jika penyanyi legendaris Koes Plus memberikan gambaran bahwa negeri kita bagaikan kolam susu. Tentunya kekayaan tersebut adalah harta yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Rakyat yang dianggap sebagai anak membutuhkan ibu atau pemimpin untuk membesarkan, membimbing dan mengayomi dirinya. Sedangkan, pemilu yang merupakan proses untuk mencari calon pemimpin atau ibu merupakan sosok ayah dalam mencari pasangan yang cocok untuk membimbing anaknya.

Ibu atau pemimpin yang sedang dipilih-pilih oleh ayahnya atau pemilu mengeluarkan pesonanya yang luar biasa. Begitu manis ucapannya, begitu sayang dan perhatian terhadap calon anak tirinya. Dan, biasanya sang ayah akan meminta atau memperkenalkan calon ibu ke anaknya. Di sinilah mulai sang calon ibu buat anak tirinya mengatur strategi untuk meluluhkan hati anaknya. Sang pemimpin mulai mengatur rencana agar rakyat mau menjatuhkan pilihannya. Aksi turba (turun ke bawah) alias blusukan pun mulai dilakukan. Berbagai bantuan yang mengatasnamakan rakyat mulai dikeluarkan. Sembako mulai digulirkan, politik uang mulai digelontorkan. Janji-janji manis alias rayuan yang meninabobokan rakyat mulai didendangkan. Rakyat pun mulai terbuai dan mengikuti apa yang diucapkannya.

Sama halnya dengan calon ibu tiri yang mau menjadi istri dari suami yang kaya raya. Dia mulai mengeluarkan jurus saktinya. Pendekatan terhadap calon anak tirinya begitu membuai. Apalagi jika calon anak tirinya belum dewasa alias anak-anak. Sang calon ibu tiri mengeluarkan janji-janji manis, kalimat-kalimat merayu yang membuai sang calon anak tiri.

“Nak, biarkan kesempatan buat ibu untuk menjadi pengganti ibumu. Ibu akan sayang dan melindungi kamu. Ibu akan sayang ayahmu dan dirimu. Nanti kalau ibu jadi pengganti ibumu, ibu berjanji akan memberikan kado terindah buat kamu. Kamu akan ibu sekolahkan di tempat yang mewah, jalan-jalan ke luar negeri setiap liburan, mendapatkan kado terbaik setiap ulang tahun kamu, ibu akan selalu antar jemput kamu ke sekolah, memberikan gizi yang terbaik buat kamu, mendapatkan perawatan kesehatan yang prima dan masih banyak lagi. Semuanya demi kamu belahan jiwaku. Percayalah nak, ibu janji!”

Setelah menjadi ibu tiri yang terjadi justru sebaliknya. Perlakuan terhadap anak tirinya sungguh mengenaskan. Perlakuan terhadap anak tirinya tidaklah seperti apa yang terjadi ketika kampanye pemilu berlangsung atau ayah ada di sampingnya. Pemimpin, kepala daerah atau wakil rakyat yang pernah kita pilih melalui Pemilu mulai melupakan janjinya. Mereka mulai kejam terhadap anak atau rakyatnya. Jannji-janji atau komitmen sewaktu kampanye Pemilu mulai dilupakan pelan-pelan atau drastis.
Pemimpin, kepala daerah atau wakil rakyat mulai asyik dengan kepentingan pribadinya. Mereka mulai bergerilya atau mengatur strategi untuk mengembalikan modalnya saat kampanye dulu. Urusan rakyat masalah nomor sekian, terpenting modal bisa kembali. Berbagai proyek pun mulai diciptakan dengan dalih program pro rakyat, tetapi di dalamnya diselipkan mark up anggaran. Anggaran daerah yang merupakan uang rakyat mulai digerogoti pelan-pelan.

Tindakan licik, picik atau mafia mulai dikeluarkan yang berakibat pada kerugian keuangan negara, di mana uang negara rakyat adalah milik rakyat. Jangan kaget, jika banyak kepala daerah atau wakil rakyat yang telah ditetapkan sebagai tersangka pengeruk uang rakyat (koruptor). Mereka hidup bergelimangan harta, sementara rakyat masih sibuk untuk bertahan hidup. Harga sembako yang merangkak naik membuat masyarakat hidup dalam jerat kemiskinan. Ditambah lagi dengan kondisi nilai kurs Dollar yang semakin melonjak terhadap Rupiah membuat kesejahteraan rakyat menjadi taruhan. Kehidupan semakin sulit membuat rakyat mencari jalan pintas untuk menyelesaikan masalah. Bunuh diri atau kematian akibat masalah kesulitan ekonomi menjadi berita yang sering kita lihat dan dengar di berbagai media.

Jadi, masihkah kita mencari calon pemimpin kita yang berkarakter seperti ibu tiri yang mayoritas menunjukan sikap kekerasan, licik, picik terhadap anak tirinya. Kita memahami bahwa dari sekian ribu calon ibu tiri alias pemimpin pasti ada calon ibu tiri yang baik hati, penyayang dan mengayomi anak tirinya. Oleh sebab itu, jadilah anak atau rakyat yang berpikir dewasa. Telusuri track record calon ibu tiri atau pemimpin kita. Kita jangan mudah terpesona pada pandangan pertama tentang janji-janji manis calon ibu tiri atau pemimpin kita. Hindari politik uang dari calon pemimpin yang sebenarnya bersifat sesaat. Namun, berdampak sangat serius untuk kesejahteraan rakyat.

Menghadapi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak di Indonesia akhir Desember 2015 merupakan momen yang tepat untuk rakyat dalam memilih calon ibu pengganti alias pemimpin dalam membimbing anak atau rakyat selanjutnya. Janganlah kita salah memilih pemimpin kita selanjutnya. Berikan kejelian kita yang maksimal dalam memilih calon ibu tiri kita. Masa depan rakyat atau anak selanjutnya adalah taruhan masa depan yang tidak bisa diputar balik. Sekali salah langkah, sekali salah memilih berakibat fatal dan menyesal yang kita dapat. Mari mencari ibu tiri alias pemimpin yang benar-benar mengerti, menyayangi, mengayomi dan memberikan perhatian lebih demi kesejahteraaan buat anak alias rakyatnya.

Gunakan hak pilih dalam Pilkada Serentak 2015 dengan mata hati. Bukan karena materi dan janji-janji!

*Sumber ilustrasi: merdeka.com

 --- Salam hangat dari Pulau Seribu Pura ---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun