Mohon tunggu...
Carpe Diem
Carpe Diem Mohon Tunggu... -

Carpe diem quam minimum credula postero - Jadikan hari menjadi berguna - Seize the Day, putting as little trust as possible in the next (day)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[FR] Adzan di Bulan Ramadan

15 Juli 2015   17:49 Diperbarui: 15 Juli 2015   17:49 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami merupakan komunitas kecil ibu-ibu Indonesia perantauan di sebuah kota kecil Austria. Bila kami kumpul semua paling hanya sampai 10 orang saja. Makan-makan, ngobrol, tertawa dan belanja adalah kegiatan utama kami untuk mengurangi kangen tanah air. Suami-suami kami orang Austria. Namun dari ber-10 ini, yang sering berkumpul hanya kami berlima Yuli, Ayu, Muna, Arsi dan aku, Kori.

Kecuali Muna, kami semua berlatar belakang dari keluarga susah. Yuli misalnya dulunya anak tidak diinginkan, dia hidup dan besar dengan neneknya di Bondowoso. Ayu, tidak jelas asal usulnya, ia selalu mengaku kakeknya orang Belanda, padahal kulitnya hitam legam dan hidungnya pesek. Sungguh sulit mencari jejak Belanda di perawakannya. Arsi, dulunya adalah asisten rumah tangga tuan Austria yang kemudian mengawininya. Dan aku, anak tertua dari 12 bersaudara, tidak lulus SMA, kawin muda lalu cerai dan kawin lagi dengan suamiku sekarang, orang Austria yang 18 tahun lebih tua. Sedangkan Muna adalah putri juragan mebel di Jepara sana, datang ke Austria karena sekolah lalu gagal dan kemudian mengambil pendidikan sekretaris di Austria lalu kawin dengan lelaki Austria, teman kerjanya.

Dari kami ber-5 ini, sebetulnya yang berasal dari keluarga muslim hanya aku, Ayu dan Muna. Namun, agama sudah lama kami lupakan. Ibu dan bapakku tidak pernah mengajarkan apa-apa tentang agama, ibuku terlalu sibuk dengan anaknya yang banyak lalu bapakku juga terlalu sibuk menutup tambal sulam kebutuhan keluarga yang tidak pernah ada habisnya. Terkadang aku menyalahkan ibuku yang terlalu subur dan tidak berKB, sudah tahu hidup susah bukannya punya anak satu atau dua saja malah 12. Dulu, saking susahnya hidup, telur satu saja kami harus potong jadi empat. Hidup susah sudah menjadi motto hidupku, sampai akhirnya aku muak hidup susah dan memutuskan untuk tidak menyelesaikan SMA ku dan kawin dengan suamiku, yang anak pengusaha.

Dari perkawinan itu lahir putri pertama ku, namun suamiku itu ternyata anak pengusaha yang manja. Aku yang biasa hidup susah dan bekerja, sulit menerima kemanjaannya. Maka di usia perkawinanku yang hanya bertahan 2 tahun, aku minta cerai. Lebih baik bekerja sendiri dari pada mengurus lelaki yang seperti bayi besar itu. Usaha yang aku rintis adalah jual beli pakaian, aku membeli baju-baju murah di pasar-pasar grosiran dan menjualnya. Lumayan juga bisa menopang hidupku dan putriku. Hingga suatu hari, teman jualanku ada yang mengajak untuk makan di sebuah restoran di kawasan Thamrin Jakarta, karena akan ditraktir teman bule Austria, kenalannya. Aku sih tentu senang saja, makan gratis di restoran mahal tidak pernah bisa aku bayar dari kantongku sendiri.

Ternyata makan malam itu tidak hanya dihadiri satu bule tapi 3 lelaki bule Austria, sedangkan kami datang berempat. Diantara 3 bule Austria ini, ada satu yang tampaknya tertarik padaku. Namanya, Hans, penampilannya tenang dan sangat perhatian. Aku yang sedang menjanda juga tertarik, tapi pada pertemuan pertama ini, aku harus jual mahal. Untungnya, Hans cukup telaten dan tidak patah arang. Dia meminta bertemu lagi, jinak-jinak merpati aku layani perhatiannya. Dan akhirnya kami memutuskan untuk menikah, tapi karena menikah di catatan sipil Indonesia harus sama agamanya, aku membuat KTP baru dengan identitas agama baru. Agama toh tidak pernah menolong kehidupan sulitku. Sedangkan Hans bukan hanya menarik tapi juga membuka pintu keamanan materi buatku dan keluargaku.

Begitulah, sejak 10 tahun ini aku hidup di Austria dengan Hansku, yang sudah pensiun. Aku bekerja di gastronomi, hotel. Ternyata hidup susah di Indonesia memberikan manfaat bagiku, pengalamanku bekerja membantu kedai sate tetangga, membantu ibuku jualan kue dan biasa mengurus keuangan jualanku, membuatku cukup terampil di dapur. Bosku, orang Jerman yang kaku dan disiplin, tampaknya cukup puas dengan kerjaku. Buktinya, sejak 2 tahun lalu aku diangkat jadi asisten kepercayaannya.

Nah, sejak setahun terakhir ini, ke kota kami tinggal, ada kedatangan seorang ibu muda dari Indonesia juga, Ati namanya. Wajahnya biasa saja, sikapnya juga tidak ada yang menonjol, kehadirannya juga tidak menambah keramaian yang ada, karena ia cenderung diam. Tapi aku bisa mengerti sih, siapa pun masuk dalam kelompok kami bakal sulit punya kesempatan bicara. Kami ber-5 ini memang suka cerita, kadang ruangan jadi ribut setengah mati. Bahasa Indonesia yang dipendam beberapa hari meledak semua di jam dan tempat yang sama.

Sepanjang hari bicara pakai bahasa Inggris dan Jerman di rumah dengan suami, membuat kebutuhan bicara dalam bahasa ibu meledak-ledak tak terkendali, simpang siur, riuh rendah dan campur aduk, Indonesia, Jawa, Inggris dan Jerman. Jarang, kami bicara teratur seperti layaknya komunitas Eropa di sini, satu bicara yang lain mendengarkan, karena kami semua ingin didengar. Jadi diantara kami ber-5, bisa ada 2 cerita paralel dan mengalir bersama. Semua ingin diperhatikan dan jadi perhatian, membuat suasana menjadi seperti pasar. Tidak heran bila anakku, Moritz, selalu memilih mengungsi bila pertemuan dilakukan di rumahku. Ia kesal karena menurut dia suasananya ribut dan bising sekali. Ah ... biarlah ia mengungsi untuk beberapa jam, tapi pertemuan dengan teman-temanku yang paling hanya sebulan sekali ini merupakan obat jiwa, tombo kangen bagiku.

Hidup susah memang bukan lagi cerita kami sekarang. Telur tidak perlu lagi aku bagi untuk makan kenyang, apalagi Arsi, semenjak suaminya yang 30 tahun lebih tua meninggal, ia satu-satunya penerima warisan karena anak suaminya tidak mau berurusan dengan suaminya serta Arsi dan suaminya tidak punya keturunan. Warisan yang ditinggalkan suaminya pun tidak tendeng aling-aling vila yang luarbiasa besar di Bali, rumah yang besar dan indah, yang sudah terbayar lunas di Austria serta uang pensiun yang tinggi. Tidak perlu Arsi bekerja seperti aku di gastronomi, ia malah kelihatannya bingung bagaimana menghabiskan uang pensiun suaminya. Tapi aku tidak iri, kehidupanku pun jauh lebih baik dari kehidupanku di Indonesia dulu.

Yuli pun demikian, suaminya seorang insinyur informatik, anak dari pensiunan insinyur kaya dari Heidelberg. Rumah mereka yang di pinggir danau sudah dilunasi mertua. Yuli, manusia paling bawel dan sombong diantara kami, sosok yang paling hobi belanja. Peralatan rumah tangga yang harganya di atas 1000 Euro, atau sofa kulit yang tidak ada duanya adalah kebanggaannya, sebetulnya kadang sudah muak aku mendengar kesombongannya, namun teman dari Indonesia tidak banyak di sini, aku berusaha menutup mata dan telingan kalau Yuli sudah menggila. Ayu juga perempuan dengan latar belakang misterius ini, tidak kesulitan hidup, suaminya memanjakannya dengan mobil baru. Muna apalagi pensiuan sekertaris ini, ia dan suaminya memiliki rumah besar dengan taman yang luas. Suaminya pensiunan pegawai perusahaan besar Austria. Namun, baik Muna maupun Ayu tidak pernah ada yang shalat apalagi puasa, bagi mereka agama sudah tergantikan dengan toleransi lebur antar budaya dan logika. Muna paling sepuh diantara kami, selalu mengatakan puasa itu tidak sehat karena tidak minum seharian itu tidak baik.

Namun, Ati, perempuan biasa kenalan baru kami ini ternyata tidak biasa. Kesederhanaannya, senyumnya dan ketenangannya mampu membuatku dan teman-teman lain terhenyak. Ia bisa membalikkan semua guyonan nakal dan komentar jail diantara kami. Ketika aku guyon, "ah di neraka lebih seru karena ketemu banyak artis dan bintang film", dengan tenang ia jawab:"syukur-syukur kalau masih bisa dikenali wajah artis itu dalam kobaran api". Atau komentar Muna yang selalu jaim: "Tidak sehat itu tidak minum seharian, apalagi sebulan lamanya". Ati dengan tenang menjawab: "nggak membunuhku tuh puasa ini".

Belum lagi, kecuekkannya bila saat shalat tiba, ia akan menghilang dan mencari pojok di mana saja, dan ia tidak berusaha mengajak, menceramahi kami, tindakannya pun seringkali tidak menyolok dan sesumbar. Ketenangannya malah sangat menggelegar, ia bagaikan batu dalam hempasan ombak. Bersamanya sangat menyenangkan, seperti terguyur air dingin dalam panas Sahara. Ia tidak jaim seperti Muna, ia tidak sombong seperti Yuli, tidak misterius seperti Ayu dan tidak ikut-ikutan seperti Arsi juga tidak cerewet seperti aku. Ati adalah Ati, yang selalu tenang dan tersenyum, tapi selalu tanggap dan ringan tangan.

Dalam setahun ini, aku merasa tenang berteman dengannya. Seminggu y.l. aku diundang Ati untuk datang ke rumahnya dan berbuka bersama keluarganya. Suaminya bukan orang Austria tapi juga orang Indonesia yang bekerja di perusahaan Austria di Zürich. Hanya aku yang diundang ke apartemennya. Sejam sebelum buka aku tiba, aku sengaja tidak makan malam. Aku lihat meja makan sudah ditata rapi, ada kolak pisang, gorengan tahu, tongseng sapi dan dadar telur. Kurma dan teh panas tampak di meja lain. Ketika di tengah kami ngobrol, tiba-tiba terdengar adzan dari komputer, hatiku tiba-tiba terasa berhenti berdegup. Alunan adzan yang entah kapan terakhir aku dengar demikian terdengar menyentuh. Ada kerinduan yang aku tidak tahu artinya dan ada kehangatan serta keteduhan menjalari sekujur tubuh.

Ati mempersilakanku untuk minum dan mencicipi sajiannya. Semenjak itu aku rindu suara adzan. Aku selalu alunkan lagi dari gadget dan entah sejak kapan pula aku mulai sering membaca artikel tentang shalat dan puasa di internet. Aku buka hadiah mukena dan sajadah pemberian Ati, tiba-tiba kurasa kakiku melangkah ke kamar mandi. Kubuka gadgetku untuk mencari artikel tentang belajar berwudhu. Kubulatkan tekad untuk mengucapkan kembali syahadat, belajar shalat, puasa. Ada perasaan ringan dan bahagia tak terkira atas keputusanku, seolah-olah rindu yang tak berwujud selama ini menjelma dalam bentuknya. Alhamdulillah .... Mendengar Adzan di bulan Ramadan di rumah Ati, membawaku pulang ke rumah. (cd 15Juli2015)

 

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dan bergabung di group FB Fiksiana Community.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun