Hari pertama Arga masuk SMA Nusantara, dia merasa seperti ikan kecil di lautan besar. Langkahnya terhenti di pintu gerbang, memandangi keramaian di dalam. Sebuah lapangan terbuka memanjang di depannya, dipenuhi siswa-siswi yang sedang asyik bermain dan ngobrol. Di tengah kerumunan itu, terlihat seorang gadis yang menarik perhatiannya.
Arga tak bisa menahan senyumnya saat mata mereka bertemu. Gadis itu, Mia, sedang duduk bersama teman-temannya, tertawa riang. Arga merasa ada yang berbeda saat melihatnya, seperti ada getaran aneh yang mengalir di dalam dadanya.
"Kamu lihat, Arga? Itu Mia, kakak kelas11 yang juga anggota OSIS MPK di sekolah ini," bisik salah satu siswa di sampingnya.
Arga mengangguk, matanya masih terpaku pada Mia. Dia merasakan detak jantungnya berdegup lebih cepat, tanpa alasan yang jelas.
Saat lonceng berbunyi, Arga akhirnya berjalan ke ruang kelasnya. Pikirannya masih melayang pada wajah Mia. Dia bertanya-tanya apakah mereka akan bertemu lagi dan apa yang harus dia katakan jika itu terjadi.
*******
Hari-hari berlalu, Arga mulai menyesuaikan diri dengan rutinitas SMA. Dia bergabung dengan klub seni musik dan vokal, di mana dia bertemu dengan Mia lagi. Rasanya seperti mimpi bagi Arga bisa berada di dekatnya, meskipun hanya sebatas rekan klub.
"Hai, Arga, kamu bawa gitar?" sapa Mia dengan ramah saat mereka bertemu di ruang praktik.
Arga mengangguk gugup, "Iya, Mia. Aku bawa."
Dia berusaha menenangkan diri, tetapi setiap kali Mia tersenyum padanya, jantungnya langsung berdegup kencang.
*******
Hari itu, hujan turun deras saat Arga hendak pulang dari sekolah. Ia menutupi kepalanya dengan ransel dan berlari ke arah gerbang. Namun, matanya menangkap sosok yang sangat dikenalnya duduk sendirian di taman sekolah, basah kuyup dan tampak kedinginan. Itu Mia.
Arga menghampiri Mia dengan rasa gugup. Dia belum pernah seberani ini sebelumnya, tetapi melihat Mia dalam keadaan seperti itu membuatnya tak bisa tinggal diam.
"M-Mia, kamu kenapa masih di sini? Belum pulang?" tanya Arga dengan suara bergetar.
Mia menoleh, sedikit terkejut melihat Arga. "Oh, Arga. Aku masih menunggu kakakku menjemputku, tapi sepertinya dia terjebak hujan."
Arga berpikir sejenak, lalu memberanikan diri. "Aku bisa antar kamu pulang, kalau kamu mau. Aku bawa jas hujan di tas."
Mia tersenyum lembut. "Benarkah? Terima kasih banyak, Arga. Aku benar-benar butuh bantuan."
Arga mengeluarkan jas hujan dari tasnya dan memberikannya pada Mia, lalu berjalan berdampingan dengan Mia menuju parkiran sekolah. Meskipun hatinya berdebar kencang, dia merasa senang bisa membantu gadis yang dia sukai.
Di perjalanan, mereka berbicara tentang banyak hal. Arga menemukan bahwa Mia bukan hanya cantik, tetapi juga humoris.
"Kamu selalu tampak tenang di klub musik," kata Mia, memecah kesunyian. "Bagaimana kamu bisa begitu percaya diri?"
Arga tersenyum, mencoba menyembunyikan kegugupannya. "Sebenarnya, aku juga sering gugup. Tapi, musik selalu membuatku merasa lebih baik dan lebih percaya diri."
Mia tertawa kecil. "Aku mengerti. Musik memang punya kekuatan untuk membuat segalanya terasa lebih baik."
Mereka tiba di depan rumah Mia. Mia memandang Arga dengan penuh terima kasih. "Terima kasih banyak, Arga. Kamu sangat baik." dengan memberikan jas hujan milik Arga.
Arga menggaruk belakang kepalanya, merasa malu. "Sama-sama, Mia. Aku senang bisa membantu."
Mia tersenyum dan melambaikan tangan sebelum masuk ke rumah. Arga merasa hatinya melayang. Meski belum sempat menyatakan perasaannya, dia merasa hari ini adalah langkah besar menuju mimpinya.
Di dalam hatinya, Arga tahu dia harus terus berjuang. Meskipun belum saatnya untuk menyatakan perasaannya, setiap momen di dekat Mia membuatnya semakin yakin bahwa cinta mereka akan menemukan jalannya sendiri.
******
Pada suatu hari setelah latihan, Arga berani mendekati Mia ketika mereka sedang bersama-sama membersihkan alat musik.
"M-Mia," ucap Arga dengan gemetar, "ada yang ingin aku sampaikan padamu."
Mia mengangkat alisnya, "Apa itu, Arga?"
Arga menelan ludahnya, "Aku... aku suka padamu, Mia. Sejak pertama kali bertemu di lapangan, aku merasa..."
Sebelum Arga sempat menyelesaikan kalimatnya, Mia tersenyum tipis, "Arga, kamu lucu. Tapi, aku sudah punya seseorang yang kusukai. Maaf ya."
Arga merasa dunianya hancur. Dia berusaha tersenyum, meskipun hatinya teriris. Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan menyerah begitu saja.
******
Minggu demi minggu berlalu, Arga terus berusaha mendekati Mia. Dia belajar gitar lebih keras, mencoba menulis lagu-lagu romantis, dan bahkan mencoba menyelipkan humor untuk membuat Mia tertawa. Namun, setiap kali dia mendekat, Mia selalu ramah, tetapi tetap menjaga jarak.
"Bagaimana rasanya terus-terusan berada di zona friendzone?" goda salah satu teman Arga di klub.
Arga hanya menggelengkan kepala, "Aku tidak akan menyerah. Aku yakin suatu hari Mia akan melihatku lebih dari sekadar teman."
Tetapi, semakin lama Arga berusaha, semakin sulit baginya untuk menyembunyikan perasaannya. Dia merasa seperti sebuah lagu yang terputus di tengah jalan, tidak tahu bagaimana melanjutkan iramanya.
*******
Beberapa bulan kemudian, Arga mengumpulkan keberaniannya lagi. Kali ini, dia merasa lebih siap. Setelah latihan di klub musik, dia melihat Mia duduk sendirian di kursi taman sekolah. Arga menguatkan hatinya dan mendekatinya.
"Mia, boleh aku duduk di sini?" tanya Arga dengan suara sedikit bergetar.
Mia mengangguk sambil tersenyum, "Tentu, Arga. Ada apa?"
Arga menarik napas dalam-dalam. "Mia, aku ingin bicara sesuatu yang penting. Aku tahu aku sudah pernah mengatakan ini sebelumnya, tapi perasaanku belum berubah. Aku masih suka sama kamu."
Mia terdiam sejenak, tampak ragu. "Arga, kamu benar-benar tulus ya?"
Arga mengangguk, "Iya, Mia. Aku serius. Aku suka padamu sejak pertama kali kita bertemu di lapangan. Setiap kali aku melihatmu, aku merasa ada yang berbeda. Aku hanya ingin kamu tahu itu."
Mia menunduk, mengambil napas dalam-dalam sebelum menatap Arga. "Arga, sebenarnya aku juga punya perasaan yang sama. Tapi aku ragu, takut kalau ini hanya perasaan sementara. Aku tidak ingin kita berakhir dengan kecewa."
Arga menggenggam tangan Mia dengan lembut. "Mia, aku tidak akan pernah main-main dengan perasaanku. Aku benar-benar peduli padamu. Aku siap untuk berusaha dan menunjukkan bahwa perasaanku ini tulus."
Mia tersenyum, air matanya menggenang. "Aku percaya padamu, Arga. Mungkin kita bisa coba perlahan-lahan, ya?"
Arga tersenyum lebar, merasakan kebahagiaan yang meluap. "Tentu, Mia. Kita bisa mulai dari sekarang. Terima kasih sudah memberi aku kesempatan."
Mia mengangguk, dan mereka berdua duduk bersama di taman, merasakan kehangatan yang mengalir di antara mereka. Mereka tahu bahwa perjalanan cinta mereka baru saja dimulai, dan mereka siap untuk menjalani setiap langkahnya bersama-sama.
*******
Dari sana, mereka mulai menjalani hubungan mereka dengan penuh kebahagiaan, menemukan kedekatan yang lebih dalam melalui seni musik dan vokal yang mereka cintai bersama.
Arga belajar bahwa cinta memang butuh kesabaran, ketulusan, dan keberanian untuk tetap berjuang, meski dalam keadaan seburuk apa pun. Dan bersama Mia, Arga menemukan bahwa cinta sejati tidak mengenal batas status sosial atau popularitas, tetapi hanya membutuhkan hati yang tulus dan kesempatan untuk tumbuh bersama.
Penulis : Charoline
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H