Mohon tunggu...
Carolus Putranto Tri Hidayat
Carolus Putranto Tri Hidayat Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Menghitung hari, menghitung waktu...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Indonesia: Sebuah Imajinasi atas Indahnya Keragaman

8 September 2016   03:34 Diperbarui: 8 September 2016   06:33 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

These updates help protect you in an online world

Pernyataan di atas terbaca di layar monitor begitu proses instalasi up date OS terbaru usai. Di tengah semburan cahaya biru dari layar komputer, berulang-ulang saya baca pernyataan tersebut dan sebuah gagasan bertunas di kepala.

Di satu sisi, pernyataan itu merupakan sebuah klaim kalau up date OS terbaru mampu memperkuat sistem pertahanan komputer secara teknis. Pertanyaan saya, mampukah ia melindungi saya dan juga generasi muda in an online world secara ideologis?

Literasi Media Kaum Muda dan Propaganda Ideologi Intoleran

Seorang pengamat teorisme, Noor Huda, menyebut kalau gerakan radikal yang berorientasi pada aksi kekerasan menempuh cara baru dalam merekrut anggotanya, yaitu melalui jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, WhatsApp, Instagram, Youtube dan Skype.  Metode perekrutran ini jelas menyasar generasi muda yang akrab media.

Tingginya tingkat literasi media kaum muda merupakan satu simpulan yang dapat ditarik dari survey yang digarap Setara Institute tahun lalu. Survey atas 684 pelajar dari 141 Sekolah Menengah di Jakarta dan Bandung itu mengungkapkan bahwa 67% dari responden menjadikan internet sebagai sumber informasi, 52% sering berkanjang ke dunia maya dan 8,2% selalu terhubung ke sana (di sini ).

Aspek positifnya, generasi muda sudah melek media. Namun demikian, apakah kesadaran media ini juga disertai dengan sebuah penghargaan akan perbedaan, kesadaran akan keberagaman yang tak terelakkan? Jawaban atas pertanyaan ini menjadi kian mendesak ketika kita dihadapkan pada dua contoh nyata yang terjadi di masyarakat.

Contoh pertama datang dari survey Setara Institute sebagaimana disebutkan di atas. Selain memperlihatkan tingginya literasi media kaum muda, survey tersebut juga menyuguhkan sebuah fakta bahwa 8,5% responden setuju kalau dasar negara, Pancasila, diganti dengan keyakinan atau agama tertentu. Contoh kedua berasal dari survey yang dibuat Wahid Institute dan Lembaga Survey Indonesia tahun ini. Survey itu melibatkan 1.520 responden yang tersebar di 34 provinsi se-Indonesia. Berdasarkan kajian atas survey tersebut dapat ditarik sebuah simpulan bahwa 0,4 persen penduduk Indonesia pernah melakukan tindakan radikalisme dan 11 juta orang berpotensi melakukan tindakan yang sama ( di sini).

Kabar baiknya adalah mayoritas penduduk Indonesia masih memegang teguh dasar hidup bersama yang diwariskan oleh para Bapa pendiri bangsa, Pancasila. Tetapi, mengingat data di atas, warisan ini bukan sekedar pemberian tetapi juga panggilan atau tugas tiada henti.

Di sinilah pertanyaan bagaimana merawat kerukunan umat beragama di jaman media sosial menemukan relevansinya. Jika software komputer perlu di up date terus menerus melawan serangan kaum hacker dan sejenisnya, yang perlu di up date dalam diri pengguna media sosial, khususnya kaum muda, adalah piranti mentalnya, yang meliputi nalar dan rasa.

Piranti nalar mencakup, pertama-tama cara memahami keragaman yang de facto dan de jure hadir di Bumi Pertiwi. Artinya, perlu sebuah upaya untuk menemukan paradigma baru untuk memaknai kesatuan dalam keragaman. Piranti rasa berkenaan dengan relasi antar manusia sebagai mahluk sosial. Hal ini terkait dengan kemampuan setiap pribadi dan golongan mengolah perbedaan menjadi kekayaan bersama.

Bahasa: sebuah Paradigma untuk Kesatuan dalam Keberagaman

Sudah sejak lama saya mencoba memahami bagaimana keragaman kehidupan beragama dan berkeyakinan di Indonesia mesti dimaknai. Suatu kali Emha Ainun Najib pernah berkata kalau beragama itu seperti orang memilih pasangan hidup. Apapun kata orang tentang pasangan pilihannya, bagi yang bersangkutan dialah yang terbaik.

Dengan kata lain, pilihan tersebut menyangkut rasa dan segala yang menyangkut rasa tidak dapat diperdebatkan benar – salahnya. Satu hal yang  saya rasa perlu dilengkapi dari gambaran Emha di atas adalah kenyataan bahwa masalah agama tidak sekedar menyentuh rasa tetapi juga melibatkan nalar. Selain itu, metafora pasangan hidup kurang menjelaskan relasi antara pribadi dan masyarakat. Agama bukan sekedar persoalan pribadi tetapi berkenaan juga dengan tradisi sosial masyarakat tertentu.

Di sinilah bahasa sebagai sebuah paradigma memperlihatkan keunggulannya. Di satu sisi, bahasa tidak dapat dilepaskan dari penalaran karena ia adalah sebuah sistem. Saya tidak akan dapat berbahasa dengan baik tanpa mengakrabkan diri dengan tata-bahasa yang bersangkutan. Bagaimana saya dapat membuat kalimat yang baik tanpa pengetahuan yang cukup tentang apa itu subjek dan predikat, tanpa memahami perbedaan antara titik dan koma?

Lebih dari itu, keakraban dengan sistem bahasa tidak saja didapat dari pelajaran teoritis tetapi terutama lewat penggunaan sehari-hari di dalam keluarga dan masyarakat. Maka, hidup berbahasa pribadi tidak dapat terlepas dari praktek masyarakat penggunanya.

Akan tetapi, bahasa lebih dari sekedar tata bahasa yang disepakati secara bersama-sama. Fungsi bahasa lebih dari sekedar alat komunikasi sehari-hari. Ada dimensi bahasa yang melampaui bahasa sebagai sistem dan sebagai alat komunikasi sosial. Paul Ricœur menamainya sebagai dimensi puitis bahasa.

 Dimensi puitis bahasa dapat dipahami secara positif dan negatif. Secara negatif, dimensi puitis melepas bahasa dari penggunaannya sehari-hari. Secara positif, dimensi puitis memberi makna yang mendalam atas kenyataan yang dianggap biasa-biasa saja dalam keseharian.

Metafora dan Puisi: Dua Contoh Dimensi Puitis Bahasa

Sebagai contoh: metafora manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Dari hukum bahasa dan penggunaan sehari-hari, kita tahu apa itu manusia dan apa yang dimaksud dengan serigala. Akan tetapi, ketika kata-kata itu digabungkan menjadi sebuah metafora seperti contoh di atas, kita disodori sebuah makna baru, yaitu manusia yang berperilaku seperti serigala, dalam arti buas, siap menerkam sesamanya demi keuntungan pribadi.

Makna baru ini tidak menghapus arti sehari-hari dari setiap kata. Sebaliknya, makna baru dapat lahir berkat berpadunya kata-kata yang berbeda. Jiwa dari makna metafora tadi adalah imajinasi tentang kebuasan yang terkandung dalam diri manusia. Berkat metafora, kita dapat memahami secara lebih dalam satu segi kemanusiaan yang tidak akan kita dapatkan kalau bahasa dibatasi sebagai alat komunikasi sehari-hari.

Contoh lainnya saya ambil dari puisi pertama Chairil Anwar dalam buku kumpulan puisi Derai-derai Cemara:

Nisan

Bukan kematian benar menusuk kalbu

Keridlaanmu menerima segala tiba

Tak kutahu setinggi itu atas debu

Dan duka maha tuan bertahta

Di sini kita tidak saja menjumpai kumpulan kata yang membentuk sebuah metafora. Kita berhadapan dengan kumpulan kalimat yang berpadu menjadi sebuah puisi. Di sinilah dialektik antara tata bahasa dan kreativitas, nalar dan rasa, masyarakat dan pribadi, menjadi lebih jelas.

Puisi di atas menjadi indah karena ia mengikuti sebuah hukum baku dalam perpuisian. Permainan bunyi di akhir setiap bait mengikuti hukum tertentu yang memungkinkan lahirnya keindahan dan cita rasa. Chairil Anwar tidak akan sanggup bermain dengan hukum perubahan bunyi tanpa mengakrabkan diri dengan bahasa yang digunakan masyarakat sehari-hari.

Di samping itu, Chairil Anwar memilih dan memilah kata-kata biasa sebagai bahan dasar puisinya. Seperti dalam metafora, dalam puisi perbedaan setiap kata tidak lenyap tetapi justru dalam dan melalui perbedaan yang ada lahirlah sebuah imajinasi yang menyodorkan makna baru tentang kenyataan sehari-hari. Dalam Nisan, makna baru itu terkait dengan imajinasi tentang paradoks  kemanusiaan: ketika mampu mengakui kefanaannya manusia menunjukkan jati dirinya sebagai mahluk rohani yang melampui ruang dan waktu.

Imajinasi dari Keberagaman itu bernama Indonesia

Secara analogis, setiap agama dan keyakinan adalah kata-kata yang menyusun metafora atau kalimat-kalimat yang membentuk puisi. Yang nampak secara nyata adalah perbedaan masing-masing agama dan keyakinan. Namun demikian, dengan mengikuti hukum yang sama, yaitu hukum yang berakar pada Pancasila dan UUD’45, setiap agama dan keyakinan yang berbeda dapat melahirkan sebuah makna baru, sebuah imajinasi baru yang bernama Indonesia.

Agar imajinasi bernama Indonesia tetap terjaga, seperti sudah disebut di atas, piranti nalar dan piranti rasa perlu di up date terus menerus. Pembaruan piranti nalar berkaitan dengan pemahaman tentang hukum bersama yang membuat perbedaan dapat berpadu. Diperlukan, misalnya, pembaruan dalam metode dan materi pelajaran sejarah. Yang diharapkan dari pembaruan ini adalah pengertian bahwa sejarah bukan sekedar deretan tanggal dan catatan tentang kejadian masa lalu.

Sejarah adalah narasi, artinya pemaknaan kembali atas apa yang telah terjadi di masa lalu agar kita dapat memahami apa yang sedang terjadi di masa kini. Dengan demikian, para peserta didik diharapkan dapat memahami mengapa para Bapak pendiri bangsa memilih Pancasila sebagai dasar negara, sebagai cakrawala pandang bersama yang memungkinkan keindonesiaan ada. Pemahaman ini, sesuai hakikat sejarah, tidak akan berhenti seiring jaman yang terus berubah.

Piranti rasa berkaitan dengan relasi antar manusia. Tidak dapat dipungkiri, relasi yang harmonis dalam keluarga menjadi dasar yang kokoh bagi generasi muda untuk menyaring informasi yang menghampirinya dan memilih langkah hidup yang terpampang di depan mata. Seorang muda, misalnya, dapat membatalkan niatnya melakukan gerakan radikal demi kasih sayang pada orang tuanya.

Di sisi lain, relasi ideal baik itu relasi antar pribadi maupun antar golongan dapat tercipta ketika ada sikap mendengarkan. Orang belajar bahasa bukan pertama-tama dengan berbicara tetapi dengan mendengarkan dan menerima. Demikian juga dengan pemahaman kita akan apa yang kita sebut kebenaran. Dia hanya dapat kita kenal bila kita mengembangkan sikap mendengarkan, artinya membiarkan yang berbeda tampil dan bersuara.

Seperti halnya kita tidak akan pernah dapat menggapai keindahan puisi Nisan tanpa membuka diri pada struktur perpuisian tersebut, demikianlah kita juga tidak pernah akan dapat merasakan indahnya Sang Kebenaran tanpa membiarkan diri diperbarui oleh yang berbeda, yang di luar diri kita.

Diharapkan dengan pembaruan terus menerus kedua piranti ini, generasi muda khususnya danpengguna media sosial pada umumnya dapat melindungi diri in an online world dan menarik manfaat sebesar-besarnya demi terjaga dan tumbuhnya Indonesia sebagai imajinasi yang memaknai perbedaan.

Kota Cahaya, Rabu malam 7 September 2016

facebook & Twitter

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun