Bahasa: sebuah Paradigma untuk Kesatuan dalam Keberagaman
Sudah sejak lama saya mencoba memahami bagaimana keragaman kehidupan beragama dan berkeyakinan di Indonesia mesti dimaknai. Suatu kali Emha Ainun Najib pernah berkata kalau beragama itu seperti orang memilih pasangan hidup. Apapun kata orang tentang pasangan pilihannya, bagi yang bersangkutan dialah yang terbaik.
Dengan kata lain, pilihan tersebut menyangkut rasa dan segala yang menyangkut rasa tidak dapat diperdebatkan benar – salahnya. Satu hal yang  saya rasa perlu dilengkapi dari gambaran Emha di atas adalah kenyataan bahwa masalah agama tidak sekedar menyentuh rasa tetapi juga melibatkan nalar. Selain itu, metafora pasangan hidup kurang menjelaskan relasi antara pribadi dan masyarakat. Agama bukan sekedar persoalan pribadi tetapi berkenaan juga dengan tradisi sosial masyarakat tertentu.
Di sinilah bahasa sebagai sebuah paradigma memperlihatkan keunggulannya. Di satu sisi, bahasa tidak dapat dilepaskan dari penalaran karena ia adalah sebuah sistem. Saya tidak akan dapat berbahasa dengan baik tanpa mengakrabkan diri dengan tata-bahasa yang bersangkutan. Bagaimana saya dapat membuat kalimat yang baik tanpa pengetahuan yang cukup tentang apa itu subjek dan predikat, tanpa memahami perbedaan antara titik dan koma?
Lebih dari itu, keakraban dengan sistem bahasa tidak saja didapat dari pelajaran teoritis tetapi terutama lewat penggunaan sehari-hari di dalam keluarga dan masyarakat. Maka, hidup berbahasa pribadi tidak dapat terlepas dari praktek masyarakat penggunanya.
Akan tetapi, bahasa lebih dari sekedar tata bahasa yang disepakati secara bersama-sama. Fungsi bahasa lebih dari sekedar alat komunikasi sehari-hari. Ada dimensi bahasa yang melampaui bahasa sebagai sistem dan sebagai alat komunikasi sosial. Paul Ricœur menamainya sebagai dimensi puitis bahasa.
 Dimensi puitis bahasa dapat dipahami secara positif dan negatif. Secara negatif, dimensi puitis melepas bahasa dari penggunaannya sehari-hari. Secara positif, dimensi puitis memberi makna yang mendalam atas kenyataan yang dianggap biasa-biasa saja dalam keseharian.
Metafora dan Puisi: Dua Contoh Dimensi Puitis Bahasa
Sebagai contoh: metafora manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Dari hukum bahasa dan penggunaan sehari-hari, kita tahu apa itu manusia dan apa yang dimaksud dengan serigala. Akan tetapi, ketika kata-kata itu digabungkan menjadi sebuah metafora seperti contoh di atas, kita disodori sebuah makna baru, yaitu manusia yang berperilaku seperti serigala, dalam arti buas, siap menerkam sesamanya demi keuntungan pribadi.
Makna baru ini tidak menghapus arti sehari-hari dari setiap kata. Sebaliknya, makna baru dapat lahir berkat berpadunya kata-kata yang berbeda. Jiwa dari makna metafora tadi adalah imajinasi tentang kebuasan yang terkandung dalam diri manusia. Berkat metafora, kita dapat memahami secara lebih dalam satu segi kemanusiaan yang tidak akan kita dapatkan kalau bahasa dibatasi sebagai alat komunikasi sehari-hari.
Contoh lainnya saya ambil dari puisi pertama Chairil Anwar dalam buku kumpulan puisi Derai-derai Cemara: