Padahal jelas dalam Pergub No.190/2014 Bab I Pasal 1 Nomor 7 tertulis: "Santunan adalah pemberian dalam bentuk uang."
Sedangkan dalam Pergub versi Fauzi Bowo (No.193/2010 Bab I Pasal 1 Nomor 7), berbunyi: "Santunan adalah pemberian dalam bentuk uang dan/atau bentuk lain kepada penggarap."
Jadi kalau Ahok bersikeras hanya memberi ganti rugi dalam bentuk Rusunawa, bukan uang, artinya ia malah melaksanakan Pergub versi Fauzi Bowo dan melanggar Pergub yang ditandatanganinya sendiri.
Yang lebih membingungkan, menurut beberapa pejabat, ada klausul dalam Pergub no.190/2014 yang menghambat pemberian uang ganti rugi tersebut.
“Di Pergub 190 ada pasal klausul yang mengatakan apabila lahan yang dibebaskan sudah 75% per status tahun ini, itu (santunan) baru bisa dilakukan, padahal kan belum (tercapai), jadi pak gubernur ingin coba mengeluarkan pasal itu dari pergub dengan tidak melanggar payung hukum yang ada. Jadi sedang dalam proses untuk mempercepat (pemberian santunan),” kata Kepala Balai Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane T. Iskandar (industri.bisnis.com, 5/6/2015).
Jika memang demikian, mengapa retorika Ahok malah berbeda di media. Seolah-olah tidak ingin memberi uang ganti rugi sama sekali?
Lagipula, mengapa dulu Jokowi/Ahok berani memberi janji uang ganti rugi kalau kemudian bisa dianggap korupsi?
Jadi, sikap Ahok ini mirip gaya kungfu mabok. Satu hari berjanji memberi santunan, di hari lain marah-marah menuduh yang minta uang santunan itu serakah dan tak tahu diuntung, di hari lain lagi katanya ingin tetap memberi santunan dengan merevisi peraturan gubernur.
Apakah bisa pemerintah melanggar janji sendiri dengan mengeluarkan peraturan-peraturan baru?
Di samping itu, ternyata masih ada masalah status tanah, apakah tanah di Kampung Pulo termasuk tanah adat atau tanah negara? Bukti-bukti terkait sudah dikumpulkan oleh LSM Ciliwung Merdeka. Dalam pertemuan 4 Agustus, Ahok juga sudah mempersilahkan LSM dan warga menuntut Pemda.
Seharusnya ini dituntaskan lebih dulu sebelum Ahok menggusur paksa warga Kampung Pulo.