Siapa di balik ISIS?
Seperti halnya perlawanan Sunni 2004, sepak terjang ISIS atau IS (Islamic State) tahun ini pun disebut-sebut mengejutkan AS. Iraq kembali berada di ambang perang sektarian Sunni-Shia. IS terkesan sakti dan menyeramkan karena mampu menguasai kota Mosul, ibukota Provinsi Ninawa, kota kedua terbesar di Iraq. Tentara dan polisi Mosul dikabarkan kabur menyerah tanpa syarat saat mendengar IS mendekat.
Yang tidak banyak diberitakan media, aparat keamanan Mosul sebenarnya bukan kabur, melainkan diperintah untuk meninggalkan markas dan mengabaikan persenjataan militer, bahkan menanggalkan seragam. Alhasil, IS dengan mudah dan dalam waktu singkat menguasai Mosul dan memanen berbagai peralatan militer buatan Amerika.
Menurut anggota parlemen Iraq bidang pertahanan dan keamanan, Hakim al-Zamily, hanya orang dalam pemerintahan perdana menteri Nouri al-Maliki yang bisa memberi perintah seperti itu.
Dalam sebuah wawancara di media Iraq, Atheel al-Nujaifi, politisi terkenal Sunni yang menjabat gubernur Ninawa mengungkapkan bahwa kejatuhan Mosul dikarenakan tak ada dukungan militer dari pusat. Berbeda dengan umumnya laporan media, banyak politisi Iraq percaya, jika didukung pusat, militer Iraq mampu menangkal IS dari Mosul.
Nujaifi yang kini beroperasi di luar kota Mosul menghimbau kaum Sunni untuk tidak mendukung IS. Menurutnya, banyak orang Sunni yang menyadari bahaya IS, tapi mereka enggan dan takut menolak, bahkan mendukung IS karena tekanan konflik Sunni-Shia.
Setelah jelas bahwa militer Amerika berperan besar dalam mengobarkan konflik Sunni-Shia jilid pertama, bagaimana peran mereka dalam konflik jilid kedua dengan IS sebagai aktor utama?
Petinggi militer Iran Hassan Firouzabadi menyatakan bahwa IS adalah buatan AS-Israel. Berbeda dengan pemberitaan banyak media Amerika, Firouzabadi menegaskan Iran tidak merasa perlu mengirim tentara ke Iraq untuk melawan IS dan melindungi kaum Shia. Ia yakin, Iraq sendiri mampu mengatasinya.
Di Amerika, beberapa pihak secara langsung menuduh pemerintah AS mendanai dan melatih IS. Contohnya, anggota senat Rand Paul. Dalam wawancara CNN, Paul menegaskan ketidaksetujuannya atas keterlibatan Amerika dalam konflik di Timur Tengah. Ia menjelaskan bahwa pemerintah Amerika menciptakan surga teroris dengan mendanai dan mempersenjatai IS di Suriah melawan Assad.
Meski masih sulit diverifikasi, pendapat Paul ini bukan tanpa dasar. Militer dan intelijen AS sudah beberapa kali terbukti "mesra" tapi kemudian memerangi kelompok-kelompok yang mereka sebut militan, ektrimis, teroris. Atau sebaliknya, memerangi tapi kemudian merangkul. Misalnya dalam kasus James Steel, Pentagon yang sebelumnya anti, akhirnya merekrut kelompok militan Mahdi Army dan Badr Brigade.
Masalahnya, jika Paul begitu yakin dan memiliki informasi siapa pejabat Amerika yang memberi otoritas mempersenjatai IS, maka informasi ini harus segera dibuka agar yang bersangkutan dapat diseret ke pengadilan.