Mohon tunggu...
CAROLINE 502020023
CAROLINE 502020023 Mohon Tunggu... Mahasiswa - she/her

welcome to my profile

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mari Menyikapi Fenomena LGBT dengan Baik!

11 November 2021   12:11 Diperbarui: 11 November 2021   12:27 1147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada dasarnya manusia diciptakan dan disahkan sebagai sepasang suami istri atau sepasang laki-laki dan perempuan. Namun perilaku penyimpangan seks seperti lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) ternyata masih marak terjadi di Indonesia. 

Pada akhirnya semakin hari semakin banyak pandangan-pandangan baru mengenai LGBT, seperti bagaimana LGBT merupakan penyakit sosial atau individu LGBT memiliki penyakit mental yang memerlukan terapi penyembuhan. Fenomena ini juga semakin menimbulkan adanya pro dan kontra dalam banyak kalangan. 

Bagi kalangan yang setuju akan LGBT, mereka mengharapkan keberadaan LGBT di Indonesia dihargai dan diakui, bukan dipandang sebagai perilaku gangguan mental, juga memiliki akses dan privilege yang sama dengan individu lainnya. 

Bagi kalangan kontra, mereka memandang fenomena ini sebagai penyimpangan, dosa, bahkan sampai menganggap fenomena ini sebagai ancaman punahnya spesies manusia. Lesbian adalah seorang perempuan yang juga tertarik dengan perempuan, Gay adalah seorang laki-laki yang juga tertarik dengan laki-laki, Biseksual terjadi ketika seorang perempuan atau laki-laki menyukai atau tertarik pada kedua jenis kelamin, dan Transgender terjadi ketika seorang individu memiliki identitas gender yang berbeda dengan seks yang ditunjukan sejak lahir.

Mari kita lihat fenomena ini dalam perspektif Pancasila, wakil ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid menegaskan bahwa, lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) bertentangan dengan Pancasila, sila pertama, sila kedua, sila ketiga, dan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 pasal 28. Wakil ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid juga menekankan bahwa meskipun LGBT dikatakan sebagai hak asasi manusia, di Indonesia hak ini bukanlah hak asasi manusia yang liberal. 

Memang benar kenyataanya fenomena LGBT ini sangat tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila terutama pada sila pertama, yaitu "ketuhanan yang maha Esa" yang menafsirkan bahwa Indonesia adalah negara beragama yang mengakui Tuhan, dan dari enam agama yang diakui Indonesia (Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan Kong Hu Cu) tidak ada satupun agama yang membenarkan fenomena penyimpangan orientasi seksual ini. 

Begitu juga dengan sila ketiga "Persatuan Indonesia" karena fenomena ini menimbulkan pro dan kontra antar kalangan yang menyebabkan hilangnya suatu persatuan. Namun ketidaksesuaian dan pertentangan antara fenomena LGBT dan Pancasila ini pun bukanlah menjadi suatu alasan untuk seseorang mendiskriminasi kaum LGBT sesukanya. 

Meskipun fenomena ini menentang beberapa sila dalam Pancasila, namun nilai-nilai Pancasila seperti sila kelima "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" juga sebenarnya mengingatkan kita untuk adil kepada seluruh individu di Indonesia. 

Seluruh individu yang dimaksud pun meliput kaum LGBT tersebut, yang berarti kita tetap harus memperlakukan setiap individu secara adil dan tidak membedakan satu sama yang lain. 

Bagaimana dengan perspektif agama dalam fenomena ini? Menteri agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan tidak ada agama yang mentolerir lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) (Tempo.co, 2018). 

Memang tidak ada satupun agama yang diajarkan ataupun perbolehkan seorang manusia untuk menyukai sesama jenis, dari awal kehidupan saja sudah diciptakan seorang laki-laki dan perempuan untuk saling melengkapi.

Dalam perspektif agama dan Pancasila fenomena ini menjadi suatu isu dalam masyarakat yang sering terjadi, tidak jarang kita melihat adanya demo, diskriminasi bahkan sampai kekerasan terhadap kaum LGBT. 

Diskriminasi yang dilakukan bisa berupa hinaan, kutukan, ketidakadilan dan masih banyak lagi, padahal nilai Pancasila dan nilai agama juga tidak membenarkan individu untuk melakukan hal-hal seperti ini. 

Padahal nilai Pancasila dan nilai agama sama-sama mengajarkan kita untuk memanusiakan manusia yang berarti sesama manusia harus saling menghargai, menghormati dan tidak mengadili. 

Dapat dikatakan dengan mendiskriminasi kaum LGBT kita juga sudah menentang nilai-nilai Pancasila dan agama, bukankah hal ini tidak membedakan diri kita dengan mereka? Mungkin saja, meskipun iya atau tidak kita tetap harus tau bagaimana cara menyikapi fenomena ini dengan baik.

Lalu bagaimana cara menyikapi fenomena ini dengan baik?

  • Pengertian, Ketahui Penyebabnya!

Sikap pengertian merupakan suatu hal yang mudah untuk dilakukan dalam menyikapi fenomena ini. Dengan memunculkan sikap pengertian kita dapat mengubah perspektif kita terhadap fenomena ini. 

Pengertiannya seperti apa? Mengerti mengapa mereka memilih orientasi ini, dapat dilakukan dengan bertanya kepada individu LGBT (secara sopan dan jika mereka tidak merasa keberatan). Bagaimana caranya menimbulkan sikap pengertian? Dalam dunia psikologi terdapat suatu istilah "put yourself in other's people shoes", yang artinya menempatkan diri kita pada posisi orang lain. 

Hal tersebut membantu kita mengerti perasaan dan pikiran individu lain dengan membayangkan hal-hal yang dilalui individu tersebut. Kita perlu berpikir bahwa segala hal yang terjadi memiliki latar belakangnya sendiri, dan tentu saja fenomena ini terjadi kepada suatu individu dalam kaum LGBT karena mereka memiliki latar belakang spesifik. Baik untuk kita memahami latar belakang seseorang sebelum melanjutkan ke langkah-langkah berikutnya. 

Setelah kita mengetahui latar belakang individu tersebut kita dapat mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang mendukung individu tersebut untuk memilih orientasi ini. Setiap individu tentunya ingin dimengerti oleh satu sama lain, begitu pun juga dengan kaum LGBT.

  • Dengarkan mereka!

Masih berhubungan dengan poin sebelumnya, untuk mengerti latar belakang seseorang kita perlu menimbulkan sikap mendengarkan. Tidak hanya untuk mendengarkan latar belakang namun mendengarkan pandangan, cerita, dan perasaan mereka juga menjadi hal yang penting untuk kita terapkan. 

Proses coming out (mengungkapkan orientasi seksual kepada orang lain) bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan, seseorang perlu melewati banyak sekali perasaan untuk mengungkapkan dan menerima orientasi seksualnya sendiri. 

Menurut kisah Yulianus Rettoblaut yang akrab disapa Mami Yuli seorang Ketua Forum Komunikasi Waria Indonesia, coming out bukan hal yang gampang. Mami Yuli berkali-kali mengalami sikap diskriminatif seiring ia menjadi dirinya, mulai dari penolakan orang tua sampai penolakan lingkungan akibat menjadi transpuan (Kirnandita, 2019). 

Peristiwa tersebut menunjukan betapa sulitnya seorang kaum LGBT dalam menempuh perjalanannya, dalam posisi seperti ini tentunya orang-orang seperti Mami Yuli akan senang jika ada yang mendengarkan keluh kesahnya. Sebagai individu mendengarkan seseorang bukanlah hal yang susah untuk dilakukan, sehingga dengan menimbulkan sikap ini kita dapat meringankan beban pikiran ataupun perasaan kaum LGBT.

  • "Bodo amat!"

Dalam proses pembuatan artikel ini, saya sambil melakukan mini survey melalui salah satu platform sosial media dengan melakukan open question "Bagaimana Cara Kalian Menyikapi Fenomena LGBT di Indonesia?". 

Mini survey ini memperoleh 25 respon, dan mayoritas respon memiliki inti yang sama yaitu 'bodo amat', 'terserah mereka'. 'santai saja', dan 'biasa saja'. Dapat dikatakan mayoritas respon mini survey tidak menjadikan orientasi seksual seseorang menjadi suatu masalah.

 Para responder juga menjelaskan alasan dari masing-masing respon yang diberikan, seperti bersikap 'bodo amat' selama tidak merugikan mereka, respon 'terserah' diteruskan dengan menghargai keputusan yang diambil, respon 'santai saja' didukung dengan alasan fenomena ini sama saja dengan fenomena lainnya (misalkan penganut agama yang berbeda), respon 'biasa saja' dengan harapan tidak adanya dampak negatif yang timbul akibat fenomena LGBT ini (misalkan cancel culture, boikot, dll). 

Dapat disimpulkan bahwa kita tidak perlu menjadikan segala hal sebagai masalah, dengan begitu kita juga telah meringankan beban pikiran kita sendiri. Sikap 'bodo amat' menjadi sikap yang cukup efektif dalam mewujudkan hal ini, tidak segala hal perlu kita pedulikan terutama jika hal itu ingin dijadikan suatu masalah.

Masih banyak lagi sikap-sikap yang dapat dilakukan oleh individu dalam menyikapi fenomena LGBT di Indonesia dengan baik. Sikap-sikap diatas saya ambil dari mini survey yang saya lakukan di salah satu platform sosial media. Perlu diingat juga sikap-sikap diatas bersikap netral, tidak memihak kepada pro atau kontra. 

Memang LGBT merupakan hal yang sangat bertentangan, namun cara orang lain menyikapi fenomena ini pun juga menjadi keprihatinan tersendiri jika tidak dilakukan dengan benar (misalkan diskriminasi dan kekerasan). Setiap individu memiliki haknya masing-masing, sehingga apapun pilihan kalian dalam fenomena ini valid namun perlu disikapi dengan baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun