Mohon tunggu...
Carlos Nemesis
Carlos Nemesis Mohon Tunggu... Insinyur - live curious

Penggiat Tata Kota, tertarik dengan topik permukiman, transportasi dan juga topik kontemporer seperti perkembangan Industry 4.0 terhadap kota. Mahir dalam membuat artikel secara sistematis, padat, namun tetap menggugah. Jika ada yg berminat dibuatkan tulisan silahkan email ke : carlostondok@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Mangrove untuk Masa Depan: Menanti Komitmen Serius Pemerintah

27 Juli 2021   09:33 Diperbarui: 27 Juli 2021   12:48 1933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 5. Tambak udang yang dilanda banjir rob, Tegal, Jawa Tengah[17]

Bagi orang-orang yang tinggal di perkotaan, mangrove mungkin merupakan tanaman yang asing didengar ataupun dilihat secara langsung. Kehadirannya tidak bisa ditemui di taman ataupun hutan kota, karena mangrove hanya mampu tumbuh dan berkembang pada area pesisir. Tanpa disadari, mangrove memiliiki dampak yang sangat signifikan terhadap kelangsungan hidup manusia dan planet bumi secara keseluruhan. 

Namun, keberadaan mangrove hingga saat ini terus terancama oleh pembangunan manusia yang tidak berkelanjutan. Terkhususnya di Indonesia, dimana mangrove kian disingkirkan secara sengaja. Masa depan Indonesia dan dunia kini bergantung dari bagaimana kita bisa melindungi, mengembalikan dan mengembangkan mangrove.

Pentingnya Mangrove dalam Ekosistem

Mangrove mungkin tidak seterkenal tanaman-tanaman lain yang banyak dijumpai, namun kehadirannya memiliki peran krusial dalam keseimbangan ekosistem. Mangrove adalah tanaman/kawasan ekosistem hutan yang terdiri dari pepohonan yang dapat hidup dalam lingkungan berkadar garam tinggi[1]. Tanaman ini hanya dapat ditemui si sepanjang garis pantai negara yang terletak di kawasan tropis ataupun sub-tropis.

Gambar 1. Persebaran Mangrove dan Keanekaragam Spesies di Seluruh Dunia[2]
Gambar 1. Persebaran Mangrove dan Keanekaragam Spesies di Seluruh Dunia[2]
Mangrove memiliki banyak manfaat terhadap ekosistem, seperti: memberikan perlindungan terhadap abrasi kawasan pesisir karena gelombang laut yang menghempas daratan. Mangrove juga menjamin agar ekosistem pantai terjaga dengan baik dengan memberikan ruang hidup bagi biota laut untuk dapat berkembang biak. Lalu untuk fungsi terakhir yang sangat berdampak luas, mangrove mampu menyerap carbon yang dapat berkontribusi dalam mengatur suhu bumi tetap seimbang.

Gambar 2. Perbandingan Penyerapan Carbon Mangrove dengan Jenis Tanaman Lain[3]
Gambar 2. Perbandingan Penyerapan Carbon Mangrove dengan Jenis Tanaman Lain[3]
Jika dibandingkan dengan jenis tanaman lain dalam menyerap karbon, mangrove mampu menyerap emisi carbon 4x lebih tinggi dibandingkan dengan hutan tropis. Hal ini dikarenakan mangrove mampu menyimpan emisi carbon di dalam batangnya yang kemudian disimpan di dalam tanah sehingga tidak kembali ke udara[4]. Dampak baik terhadap lingkungan ini jika divaluasi, membuat mangrove memiliki nilai sebesar $194.000 per ha setiap tahunnya[5].

Sayangnya, dibalik semua manfaat yang bisa mangrove berikan kepada ekosistem, keberadan nya saat ini terancam oleh pembangunan manusia yang tidak seimbang. Dari tahun 1980 -- 2000 setidaknya 35% luasan mangrove telah hilang, dan menjadi jenis hutan dengan tingkat deforestasi tertinggi[6]. Tanpa adanya hutan mangrove, jumlah penduduk yang tertimpa banjir pesisir akan bertambah 18 juta penduduk (meningkat 39%) setiap tahunnya[7].

Kondisi Keberadaan Mangrove di Indonesia Saat ini

Gambar 3. Peta Persebaran Mangrove di Indonesia[8]
Gambar 3. Peta Persebaran Mangrove di Indonesia[8]

Indonesia merupakan negara yang memiliki luas hutan mangrove peringkat pertama di dunia sebesar 22.6% dan dengan keanekaragaman spesies tertinggi[9]. Tetapi bukannya menjadi negara yang mampu memberikan contoh baik dalam melakukan konservasi mangrove, Indonesia justru menjadi salah satu negara yang paling banyak menghilangkan mangrove. Luas awal lahan mangrove memiliki diperkirakan seluas 4.2 juta ha, tetapi sekarang hanya tersisa 2.4 juta ha saja[10]. Yang lebih memprihatinkan adalah hampir lebih dari setengahnya berada dalam kondisi yang rusak[11].

Pemerintah Indonesia bukannya tanpa usaha dalam menghadapi isu ini. Pemerintah telah menyatakan komitmennya dalam menjaga mangrove ke dalam beberapa peraturan seperti Perpres mengenai Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove (SNPEM) tahun 2012, dan juga menyertakan karbon biru dalam inisiatif pembangunan rendah karbon yang tertuang dalam RPJMN Indonesia tahun 2020 -- 2024. Lebih lanjut lagi, saat ini pemerintah sudah membentuk Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) yang memiliki target untuk merestorasi 600.000 ha area mangrove[12].

Komitmen untuk menjaga mangrove sangatlah penting bagiIndonesia, mengingat 65% populasi Indonesia hidup dalam jangkauan 50 km dari garis pantai. Sebanyak 5.9 juta penduduk Indonesia terancam oleh banjir pesisir di masa depan jika tidak ada langkah signifikan yang diambil dalam merestorasi magnrove[13]. 

Degradasi penurunan kualitas lingkungan pesisir akibat ketiadaan mangrove sangat nyata terjadi pada pesisi utara Pulau Jawa (Jakarta, Semarang, Surabaya), Bali, dan Selatan Sulawesi. Aktivitas pembangunan perkotaan yang kian mengerus kehadiran mangrove menjadi penyebab utamanya[14].

Gambar 4. Warga Donggala melakukan penanamab bibit bakau untuk mencegah banjir rob[15]
Gambar 4. Warga Donggala melakukan penanamab bibit bakau untuk mencegah banjir rob[15]
Kita wajib berpikir kritis terhadap komitmen yang dinyatakan pemerintah dalam menjaga keberadaan mangrove saat ini. Sejarah mencatat bahwa Indonesia tidak memiliki jejak rekam yang baik dalam menjaga mangrove, bahkan ketika sudah ada peraturan yang ditetapkan.

Sejarah Penghilangan Mangrove oleh Indonesia[16]

1400 -- 1900: perubahan guna lahan mangrove sebenarnya sudah terjadi dari jaman dahulu semenjak zaman Kerajaan Hindu Majapahit. Saat itu, area-area mangrove banyak dirubah menjadi kawasan tambak ikan. Perubahan signifikan banyak terjadi di pesisir utara Jawa dan Sulawesi dengan luas konversi lahan hingga 50.000 ha.

Memasuki masa kolonial, banyak terjadi penebangan mangrove untuk dijadikan komoditi ekspor menuju Eropa, Amerika dan Singapura untuk perdagangan. Namun saat itu pemerintah colonial menyadari urgensi untuk melakukan pengendalian penebangan mangrove dengan mengeluarkan Peraturan Lingkungan No. 13062/465/BIR-1/7/1938 yang berbunyi:

  • Area eksploitasi mangrove diutamakan pada hutan mangrove dengan kualitas kayu yang tinggi seperti rhizopora
  • Area mangrove yang memiliki kualitas kayu yang tidak baik tidak cocok untuk dieksploitasi
  • Penetapan area konservasi pada area hilir sungai dan garis pantai yang dekat dengan permukiman

Selain karena alasan lingkungan, pembatasan penebangan mangrove juga bertujuan untuk menjaga habitat nyamuk malaria agar tidak berpindah ke kawasan perkotaan. Terlepas dari upaya ini, penebangan mangrove tetap meningkat tanpa adanya tanda-tanda penurunan.

1949 -- 1970: Saat Indonesia sudah merdeka, proses alih fungsi mangrove kian meningkat. Hal ini dilatarbelakangi dengan Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1970 yang mendukung penebangan hutan mangrove sebagai area konsesi hutan. Perubahan bentuk pemerintah yang semakin tersentralisasi pada saat orde baru membuat perizinan eksploitasi mangrove semakin mudah terjadi.

1970 -- 1990: Hingga tahun 1978 pemerintah telah mengizinkan setidaknya 455.000 ha area mangrove untuk ditebang, area konsesi ini mayoritas berlokasi di Kalimantan dan Sumatera. Seiring dengan berjalannya waktu, pemerintah mulai menyadari akan pentingnya melakukan upaya konservasi mangrove dengan cara: 1) melarang eksploitasi mangrove pada area green belt pesisir, 2) pengembangan budidaya mangrove dengan penebangan selektif dan penamanan kembali, 3) sertifikasi izin industri. Terlepas dari adanya pengaturan ini, penebangan mangrove tetap intensif terjadi hingga 250.000 ha area nya hilang.

Gambar 5. Tambak udang yang dilanda banjir rob, Tegal, Jawa Tengah[17]
Gambar 5. Tambak udang yang dilanda banjir rob, Tegal, Jawa Tengah[17]
1980 -- 2003: Usaha konservasi mangrove semakin terancam dengan dinamika penangkapan udang yang tidak berkelanjutan. Saat itu nelayan secara intensif menggunakan cantrang untuk menangkap udang, hal ini berujung pada rusaknya biota laut terutama terumbu kerang tempat ikan berkembang biak. Pada tahun 1980 pemerintah akhirnya memutuskan pelarangan penggunaan cantrang dengan Peraturan Presiden No.39.

Namun, pelarangan ini justru menjadi alasan untuk melakukan pembukaan tambak udang pada area yang sebelumnya merupakan area hutan mangrove. Hal ini diperparah dengan langkah pemerintah untuk memberikan subsidi pengembangan tambak udang dengan program INTAM pada 12 provinsi di Sumatera, Jawa, Sulawesi dan Kalimantan. Alih fungsi mangrove terbesar terjadi saat ketidakpastiaan politik diantara tahun 1998 -- 2001 ketika 300.000 ha area mangrove ditebang di Kalimantan Timur.

Tantangan Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan

Gambar 6. Perkiraan hilangnya areal mangrove di Indonesia beserta dengan penyebabnya [16]
Gambar 6. Perkiraan hilangnya areal mangrove di Indonesia beserta dengan penyebabnya [16]
Perubahan guna lahan mangrove merupakan hal yang terjadi secara merata di seluruh wilayah Indonesia. Setidaknya terdapat 5 penyebab utama alih fungsi hutan mangrove: aquaculture (tambak udang), pengembangan kawasan pesisir, penebangan hutan, plantation (sawit dan agrikultur). Hilangnya kawasan mangrove secara signifikan terjadi di pulau Kalimantan dan Papua dengan tujuan pengembangan tambak udang. 

Sedangkan kehilangan karena pembangunan perkotaan di area pesisir banyak terjadi di Pulau Jawa. Hilangnya kawasan mangrove bukanlah sekedar keadaan yang terjadi jauh dari kehidupan manusia, justru dampaknya dapat dirasakan oleh warga perkotaan seperti di Kota Jakarta.

Gambar 7. Banjir rob menggenangi permukiman elite pantai mutiara, Jakarta Utara[18]
Gambar 7. Banjir rob menggenangi permukiman elite pantai mutiara, Jakarta Utara[18]
Pada tahun 2016 Jakarta Utara dilanda oleh banjir rob yang cukup parah yang terjadi dalam waktu yang cukup lama hingga satu minggu lamanya. Ketahanan ekologi di Jakarta Utara dirusak oleh pembangunan infrastruktur, mulai dari apartemen hingga pelabuhan, pembangunan ini dianggap menjadi alasan utama mengapa banjir rob dapat dengan mudah mengenangi kawasan pesisir Utara itu[19].

Gambar 8. Analisis spasial pesisir Jakarta Utara[20]
Gambar 8. Analisis spasial pesisir Jakarta Utara[20]
Kondisi keberadaan mangrove di Utara Jakarata saat ini berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Hanya tersisa 165 ha area yang diperuntukkan menjadi hutan mangrove dan area ini pun hanya berlokasi di Pantai Indah Kapuk saja[21]. 

Usaha pelestarian mangrove seperti di Pantai Indak Kapuk dan kawasan lainnya di Jakarta Utara masih terhadang oleh pembangunan intensif untuk kawasan permukiman dan juga pelabuhan. 

Minimnya mangrove, tidak hanya berdampak pada abrasi daerah pesisir, tetapi juga penurunan kualitas air tanah akibat intrusi air laut.  Dalam 10 tahun ke depan diprediksi intrusi air laut dapat mencemari air permukaan di Jakarta hingga 12 km dari garis pantai, sedangkan jika terdapat usaha menanam mangrove hal tersebut bisa diminimalisir hingga 3.64 km saja[22].

Pemerintah Indonesia kini dituntut untuk bisa serius dalam penanganan ancaman bencana dan dampak buruk dari semakin hilangnya kawasan mangrove. Manfaatnya yang sangat besar masih belum terefelksikan dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas mangrove di Indonesia. Implementasi peraturan yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah harus selalu tetap kita kawal dengan baik. 

Sejarah banyak memberikan pelajaran bahwa pemberlakuan peraturan tidak serta merta membuat kondisi pelestarian mangrove menjadi lebih baik. Baik dalam skala nasional maupun pemerintah daerah, kita semua bertanggung jawab untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan, sehingga mangrove benar-benar bisa menjadi penyelamat Indonesia, menuju masa depan yang lebih baik.

Referensi:

[1] Ilmugeografi. 2016. "12 Manfaat Hutan Mangrove bagi Lingkungan dan Kehidupan", diakses pada 26 Juli 2021, pukul 23.45

[2] National Oceanic and Atmospheric Adminstration. (2014). Oil Spills in Mangroves. Louisana: NDAA.

[3] Bra, Katlyn. 2021. "What Is Blue Carbon and Why Does It Matter", diakses pada 26 Juli 2021, pukul 23:50

[4] Hance, Jeremy. 2011. "Vanishing Mangroves are Carbon Sequestration Powerhouses", diakses pada 26 Juli 2021, pukul 23:52

[5] Erickson, Morgan. 2018. "New Study Finds Mangroves May Store Way More Carbon Than We Thought", diakses 26 Juli 2021, pukul 23:53

[6] Chapman, Samantha. 2018. "Mangroves Protect Coastlines, Store Carbon -- and Are Expanding With Climate Change", diakses pada 26 Juli 2021, pukul 23:56

[7] Beck, Michael. 2018. "The Mircale of Mangroves for Coastal Protection in Numbers", diakses pada 26 Juli 2021, pukul 23:58

[8] Hendrastuti. 2017. "Mangrove: The Next Truf Card Indonesia", diakses pada 27 Juli 2021, pukul 00:12

[9] Ayostina, Ines. 2019. "Mempromosikan Karbon Biru Indonesia untuk Mencapai Pembangunan Triple Win", diakses pada 26 Juli 2021, pukul 23:59

[10] Hance, Jeremy. 2010. "Half Indonesia's Mangroves Gone In Less Thant Thirty Years", diakses pada 27 Juli, pukul 00:01

[11] Siaran Pers KLHK. 2017. "Miliki 23% Ekosistem Mangrove Dunia, Indonesia Tuan Rumah Konferensi Internasional Mangrove 2017", diakses pada 27 Juli 2021, pukul 00:02

[12] Eka, Fidelis. 2021. "Indonesia Masukkan Mangrove dalam Program Rehabilitasi Lahan, Berikut Dua Masukan dari Ahli", diakses pada 27 Juli 2021, pukul 00:03

[13] USAID. 2017. "Climate Risk Profile: Indonesia", diakses pada 27 Juli 2021, pukul 00:04

[14] Dahuri, Rokhmin. 2006. "Pre and Post Tsunami Coastal Planning and Land Use Policies and Issues in Indonesia", diakses pada 27 Juli 2021, pukul 00:06

[15] Litha, Yoanes. 2020. "Sering Alami Banjir Rob, Warga Donggala Tanam Seribu Bibit Pohon Bakau", diakses 27 Juli 2021, pukul 00:16

[16] Ilman, M., Dargusch, P., Dart, P., & Onrizal. (2016). A Historical Analysis of The Driver of Loss and Degradation of Indoensia's Mangroves. Land Use Policy, 448-459

[17] Setiadi, Treseno. 2020. "Ratuasan Hektare Tambak di Tegal Diterjang Rob,Petani Udang Gagal Panen", diakses tanggal 27 Juli 2021, pukul 00:20

[18] Roy, Carlos. 2016. "Warga Pantai Mutiara Sudah Terbiasa Banjir Rob", diakses 27 Juli, pukul 00:27

[19] Anwar, Syamsul. 2016. "Kualitas Ekologi Menurun, Jakarta Dilanda Banjir Rob", diakseS pada 27 Juli 2021, pukul 00:29

[20] Hasil pengolahan penulis

[21] Hilmi, E., Kusmana, C., Suhendang, E., & Iskandar. (2017). Correlation Analysis Between Seawater Intrusion and Mangrove Greenbelt. Indonesia Journal of Forestry Research vol 4, 151-168.

[22] Idem

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun