Pemerintah Indonesia bukannya tanpa usaha dalam menghadapi isu ini. Pemerintah telah menyatakan komitmennya dalam menjaga mangrove ke dalam beberapa peraturan seperti Perpres mengenai Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove (SNPEM) tahun 2012, dan juga menyertakan karbon biru dalam inisiatif pembangunan rendah karbon yang tertuang dalam RPJMN Indonesia tahun 2020 -- 2024. Lebih lanjut lagi, saat ini pemerintah sudah membentuk Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) yang memiliki target untuk merestorasi 600.000 ha area mangrove[12].
Komitmen untuk menjaga mangrove sangatlah penting bagiIndonesia, mengingat 65% populasi Indonesia hidup dalam jangkauan 50 km dari garis pantai. Sebanyak 5.9 juta penduduk Indonesia terancam oleh banjir pesisir di masa depan jika tidak ada langkah signifikan yang diambil dalam merestorasi magnrove[13].Â
Degradasi penurunan kualitas lingkungan pesisir akibat ketiadaan mangrove sangat nyata terjadi pada pesisi utara Pulau Jawa (Jakarta, Semarang, Surabaya), Bali, dan Selatan Sulawesi. Aktivitas pembangunan perkotaan yang kian mengerus kehadiran mangrove menjadi penyebab utamanya[14].
Kita wajib berpikir kritis terhadap komitmen yang dinyatakan pemerintah dalam menjaga keberadaan mangrove saat ini. Sejarah mencatat bahwa Indonesia tidak memiliki jejak rekam yang baik dalam menjaga mangrove, bahkan ketika sudah ada peraturan yang ditetapkan.
Sejarah Penghilangan Mangrove oleh Indonesia[16]
1400 -- 1900: perubahan guna lahan mangrove sebenarnya sudah terjadi dari jaman dahulu semenjak zaman Kerajaan Hindu Majapahit. Saat itu, area-area mangrove banyak dirubah menjadi kawasan tambak ikan. Perubahan signifikan banyak terjadi di pesisir utara Jawa dan Sulawesi dengan luas konversi lahan hingga 50.000 ha.
Memasuki masa kolonial, banyak terjadi penebangan mangrove untuk dijadikan komoditi ekspor menuju Eropa, Amerika dan Singapura untuk perdagangan. Namun saat itu pemerintah colonial menyadari urgensi untuk melakukan pengendalian penebangan mangrove dengan mengeluarkan Peraturan Lingkungan No. 13062/465/BIR-1/7/1938 yang berbunyi:
- Area eksploitasi mangrove diutamakan pada hutan mangrove dengan kualitas kayu yang tinggi seperti rhizopora
- Area mangrove yang memiliki kualitas kayu yang tidak baik tidak cocok untuk dieksploitasi
- Penetapan area konservasi pada area hilir sungai dan garis pantai yang dekat dengan permukiman
Selain karena alasan lingkungan, pembatasan penebangan mangrove juga bertujuan untuk menjaga habitat nyamuk malaria agar tidak berpindah ke kawasan perkotaan. Terlepas dari upaya ini, penebangan mangrove tetap meningkat tanpa adanya tanda-tanda penurunan.
1949 -- 1970: Saat Indonesia sudah merdeka, proses alih fungsi mangrove kian meningkat. Hal ini dilatarbelakangi dengan Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1970 yang mendukung penebangan hutan mangrove sebagai area konsesi hutan. Perubahan bentuk pemerintah yang semakin tersentralisasi pada saat orde baru membuat perizinan eksploitasi mangrove semakin mudah terjadi.
1970 -- 1990: Hingga tahun 1978 pemerintah telah mengizinkan setidaknya 455.000 ha area mangrove untuk ditebang, area konsesi ini mayoritas berlokasi di Kalimantan dan Sumatera. Seiring dengan berjalannya waktu, pemerintah mulai menyadari akan pentingnya melakukan upaya konservasi mangrove dengan cara: 1) melarang eksploitasi mangrove pada area green belt pesisir, 2) pengembangan budidaya mangrove dengan penebangan selektif dan penamanan kembali, 3) sertifikasi izin industri. Terlepas dari adanya pengaturan ini, penebangan mangrove tetap intensif terjadi hingga 250.000 ha area nya hilang.
1980 -- 2003: Usaha konservasi mangrove semakin terancam dengan dinamika penangkapan udang yang tidak berkelanjutan. Saat itu nelayan secara intensif menggunakan cantrang untuk menangkap udang, hal ini berujung pada rusaknya biota laut terutama terumbu kerang tempat ikan berkembang biak. Pada tahun 1980 pemerintah akhirnya memutuskan pelarangan penggunaan cantrang dengan Peraturan Presiden No.39.