Mohon tunggu...
Carlos Nemesis
Carlos Nemesis Mohon Tunggu... Insinyur - live curious

Penggiat Tata Kota, tertarik dengan topik permukiman, transportasi dan juga topik kontemporer seperti perkembangan Industry 4.0 terhadap kota. Mahir dalam membuat artikel secara sistematis, padat, namun tetap menggugah. Jika ada yg berminat dibuatkan tulisan silahkan email ke : carlostondok@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama FEATURED

Kenapa Sih Pesepeda Begitu?

21 September 2020   08:31 Diperbarui: 3 Juni 2022   06:52 2746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kemenhub saat sosialisasi aturan keselamatan pesepeda di jalan pada tanggal 18 September 2020. Sumber: Youtube Kementerian Perhubungan RI

Akhir-akhir ini ramai pemberitaan di media sosial yang mengabarkan tentang perilaku pesepeda yang melanggar ketentuan berlalu lintas. Ambil satu contoh, ketika gerombolan pesepeda masuk ke jalan tol dan bersepeda melawan lalu lintas. 

Sontak kejadian yang melanggar hukum ini menjadi perhatian masyarakat, para gerombolan pesepeda ini pun akhirnya sudah diadili oleh pihak yang berwenang. 

Memang perilaku pesepeda ini salah dan melanggar ketentuan yang berlaku dan layak diadili. Namun di balik pemberitaan ini terdapat nada-nada sumbang yang men"generalisir" pesepeda sebagai oknum yang tidak bertanggung jawab.

Dari pemberitaan-pemberitaan yang saya amati, ketika terjadi pelanggaran oleh pesepeda semua sepakat mengecap pesepeda sebagai orang yang immoral dan juga arogan. Bahkan di salah satu televisi, salah satu pembawa acara meragukan apakah sebaiknya pesepeda diberikan ruang untuk berkendara di jalan perkotaan karena perilakunya yang tidak beradab ini.[1]

Komentar dari warganet pun hampir semuanya sepakat bahwa pesepeda hanya bisa melanggar peraturan lalu lintas, apalagi katanya pesepeda sangat galak kalau di klakson sehingga pengendara mobil yang harus lebih waras memilih untuk mengalah.[2]

Senada dengan hal itu, wacana untuk menetapkan peraturan kepada pesepeda yang melanggar lalu lintas datang dari Polda Metro Jaya. Dikatakan bahwa pesepeda dapat dikenakan tilang jika berkendara di luar jalur yang disediakan. Sehingga jika terjadi kecelakaan di jalur sepeda, maka yang bersalah adalah pesepedanya itu sendiri.[3]

Perilaku melanggar lalu lintas oleh pesepeda memang sudah seharusnya tidak dilakukan, namun bukan berarti kita bisa begitu saja mengkambingkhitamkan segala jenis pelanggaran lalu lintas kepada pesepeda saja.

Kita harus mampu menyelami lebih dalam mengapa perilaku seperti ini bisa terjadi, tidak hanya berhenti pada pengaturan-pengaturan berperilaku melalui sanksi dan hukuman saja.

Pada tulisan ini saya akan coba membuka pandangan mengenai alasan mengapa pesepeda "melanggar" ketentuan berlalu lintas bahwa alasan yang dipilih merupakan rasional dari keterbatasan yang ada. Serta bagaimana persoalan ini tidak hanya seputar himbauan tetapi juga persoalan keberpihakkan pembangunan kota.

Semua Pengguna Jalan adalah Kriminal

Sumber: oto.detik.com
Sumber: oto.detik.com
Tidak lengkap rasanya membicarakan tindakan melanggar lalu lintas tanpa membicarakan pengguna jalan lainnya (motor dan mobil). 

Berapa banyak dari anda yang seharusnya pelan-pelan saat rambu berwarna kuning tetapi malah melaju kendaraan lebih kencang sehingga bisa melewati persimpangan? Semoga saja tidak pernah, namun sepertinya sangat jarang. 

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di  kota New York, setidaknya 37% pengendara bermotor (mobil dan motor) menerobos lampu merah dengan melaju kendaraan nya lebih kencang.[4]

Bahkan ditemukan dari 2700 jam lamanya observasi pada persimpang jalan, ditemukan rata-rata 3 pengendara melanggar lampu merah setiap jamnya. 

Dari perilaku pengendara bermotor yang melanggar kemudian dilakukan pengambilan data responden, ditemukan 93% pengendara menganggap melanggar lampu merah adalah perbuatan yang berbahaya. Namun yang lebih mengejutkan adalah: 30% dari responden yang menganggap perilaku itu berbahya juga secara bersamaan telah melanggar lalu lintas selama 30 hari terkahir.

Lalu bagaimana dengan kondisinya di Indonesia? Menurut data Kepolisian, di Indonesia, rata-rata 3 orang meninggal setiap jam akibat kecelakaan jalan, 61% kecelakaan disebabkan oleh karakter pengemudi [5], salah satunya ketika menerobos lampu lalu lintas di persimpangan.[6]

Tidak hanya pelanggaran di persimpangan, ternyata secara tidak mengejutkan pengendara bermotor juga banyak melanggar aturan kecepatan di jalan-jalan biasa. Di Amerika, sebanyak 77% pengendara melanggar ketentuan batasan kecepatan di jalan lokal dan arteri. 

Di Indonesia sendiri ketentuan mengenai Batasan kecepatan sudah diatur dalam Permenhub No. PM 111 tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Batas Kecepatan. 

Jika anda berada dalam kawasan perkotaan maka kecepatan maksimum 50 km/jam, dan 30 km/jam untuk kawasan permukiman. Ketentuan ini sepertinya masih sangat sedikit dipatuhi oleh pengendaraa kendaraan bermotor, terkhususnya di Jakarta. 

Hal ini dapat dilihat dari tingginya tingkat kecelakaan pejalan kaki oleh pengendara bermotor seperti gambar di bawah ini:  

Sumber: olahan data Arif Risaldi dari IAP Talks 5
Sumber: olahan data Arif Risaldi dari IAP Talks 5
Peta di atas adalah peta persebaran kecelakaan pejalan kaki yang tertabrak kendaraan bermotor. Lokasi kecelakaan tersebar mulai dari ruas jalan sampai persimpangan jalan. 

Data di atas menunjukkan adanya korelasi yang kuat dari dampak perilaku pengendara bermotor yang tidak mematuhi peraturan lalu lintas yang berdampak besar kepada keselamatan pejalan kaki.

Mengapa Pesepeda Melanggar?

Lalu bagaimana dengan pesepeda? Bukankah perilaku mereka yang melanggar lampu merah juga menjadi penyebab kecelakaan itu sendiri terjadi? Sebelum menjawab itu kita perlu paham terlebih dahulu alasan dibalik perilaku tersebut.

Pesepeda tidak sembarangan menerobos lampu merah, mereka baru akan melanggar jika mereka sudah mengamati situasi sekitar dan merasa aman. Jadi sebelum melanggar biasanya mereka akan celingak celinguk ke kiri dulu baru akan menyebrang. 

Alasan lainnya adalah pesepeda merasa tidak aman harus menunggu bersama dengan pengendara bermotor, dan harus tergesa-gesa mengayuh karena klakson kendaraan yang ada di belakangnya. Yang terakhir adalah untuk alasan menghemat energi, sehingga tidak perlu turun dari sepeda dan mengayuh dari nol lagi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap pesepeda dari berbagai negara di belahan benua ditemukan bahwa perilaku pesepeda yang melanggar di persimpangan dapat dibagi menjadi 4 kategori utama:

sumber: (Marshall, Piatkowski, & Johnson, 2017) [4]
sumber: (Marshall, Piatkowski, & Johnson, 2017) [4]
Pembagian ini dibagi berdasarkan derajat risiko akibat perilaku melanggar, warna biru muda menggambarkan perilaku yang patuh terhadap ketentuan lalu lintas sedangkan semakin ke kanan dan berwarna merah menunjukkan perilaku yang membahayakan. 

Kategori Law Abiders berarti pesepeda berhenti dan menunggu lampu hijau, Minor Infringement berarti pesepeda berhenti lalu melanjutkan jika tidak ada kendaraan, Major Infractions berarti pesepeda memelankan sepeda (tidak berhenti) dan melanjutkan jika tidak ada kendaraan, dan Reckless Endangerment berarti pesepeda melanjutkan tanpa memelankan sepeda sama sekali.

Didapatkan sebanyak 79% pesepeda lebih memilih untuk berhenti lalu melaju jika tidak ada kendaraan, hanya sekita 0.6% pesepeda yang memutuskan untuk melaju tanpa memelankan kendaraan sama sekali. 

Apa yang bisa kita pelajari dari temuan data ini? Bahwa dalam "melanggar" ketentuan berlalu lintas, pesepeda baru akan melanggar dengan pertimbangan rasional sebelum melanjutkan perjalanan.

Bukan berarti alasan ini menjadi justifikasi bagi pesepeda dalam melanggar ketentuan berlalu lintas, namun ini bisa menjadi modal awal kita untuk mengerti bahwa pesepeda juga tetap bertanggung jawab akan perilakunya sendiri. 

Lebih lanjut lagi, akan dijelaskan bahwa perilaku ini ternyata didorong oleh bentuk ruang jalan yang selama ini hanya mengutamakan kepentingan kendaraan bermotor.

Anak Tiri Infrastruktur Perkotaan
sumber: hasil olahan Urban Deign: is there a distinctive view from bicycle? Ann Forsyth (2018)
sumber: hasil olahan Urban Deign: is there a distinctive view from bicycle? Ann Forsyth (2018)

Mengendarai sepeda tidak bisa disamakan dengan mengendarai kendaraan bermotor, bersepeda tidak hanya seputar mengantarkan orang dari titik A ke titik B, tetapi lebih dari itu.

Pesepeda tidak memiliki kecepatan secepat kendaraan bermotor tetapi juga tidak lebih lambat dari pejalan kaki. Bersepeda juga menjadi moda yang bisa digunakan oleh siapapun karena kecepatan yang relatif rendah, mulai dari anak-anak yang ke sekolah hingga lansia yang berpergian ke pasar. 

Dari alasan sederhana inilah mengapa pesepeda butuh ruangnya sendiri untuk terlindung dari kendaraan bermotor dan tidak mengganggu pejalan kaki.

Lalu apakah ruang-ruang jalan kita sudah mengakomodir kebutuhan pesepeda? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan mengamati proporsi ruang yang diberikan untuk masing-masing jenis pengendara.

sumber: Mikael Calville-Andersen, The Arrogance of Space (medium.com)
sumber: Mikael Calville-Andersen, The Arrogance of Space (medium.com)
Gambar di atas merupakan simpang yang ada di Cape Town, Afrika Selatan. Dapat kita amati bahwa persimpangan tersebut hanya mengutamakan ruang bagi kendaraan bermotor, sedikit sekali ruang yang memang diperuntukkan bagi pejalan kaki dan pesepeda. 

Jika pesepeda berada dalam situasi tersebut maka tidak heran kekhawatiran tertabrak akan sangat tinggi karena tidak mendapatkan perlindungan.

Hal serupa juga bisa kita terapkan pada jalan-jalan yang ada di kota kita masing-masing. Coba amati berapa banyak ruang yang dialokasikan untuk pejalan kaki dan pesepeda jika dibandingkan dengan kendaraan bermotor. 

Kalau mau dibandingkan dengan negara yang sudah memprioritaskan ruangnya secara lebih adil, kita bisa berkaca ke kota Tokyo, Jepang.

sumber: olahan Mikael Calville-Andersen, The Arrogance of Space (medium.com)
sumber: olahan Mikael Calville-Andersen, The Arrogance of Space (medium.com)
Salah satu simpang yang terkenal adalah persimpangan di Shibuya, pada persimpangan ini kita bisa menyebrang jalan diagonal secara langsung. 

Tidak perlu menunggu lampu merah selama dua kali, lampu merah diset merah untuk semua simpang sehingga pejalan kaki bisa menyebrang lebih singkat. Ini adalah contoh baik ketika ruang memang lebih diprioritaskan untuk kenyamanan manusia dibandingkan kendaraan.

Sudah Diatur Sejak Lama

Kita sudah banyak berbicara tentang keadilan ruang, sebenarnya konsep keadilan ini sudah diatur dalam perundang-undangan dalam UU No. 29 tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan. 

Dalam pasal 25 ditentukan bahwa setiap jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum wajib dilengkapi dengan: fasilitas untuk Sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang cacat.

sumber: UU No. 22 tahun 2009
sumber: UU No. 22 tahun 2009
Lebih lanjut lagi setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di jalan wajib mengutamakan Pejalan Kak dan pesepeda (pasal 106). Jika pengemudi Kendaraan Bermotor lalai dan tidak mengutamakan keselamatan Pejalan Kaki atau pesepeda mereka dapat dipidana kurungan paling lama dua bulan atau denda paling banyak Rp. 500.000.

Infrastruktur Masih Minim

Sumber: tirto.id
Sumber: tirto.id
Lalu bagaimana sebenarnya kondisi ketersediaan infrastruktur pesepeda di Indonesia? Kita coba ambil contoh di DKI Jakarta, salah satu infrastruktur sepeda yang paling dasar adalah jalur sepeda. 

Jalur sepeda ini biasanya baru bisa disediakan pada jalan-jalan yang cukup lebar dengan kelas jalan arteri ataupun kolektor. 

Di Jakarta panjang jalan arteri dan kolektor mencapai 1927 km[7]. Sedangkan hingga saat ini panjang jalur sepeda yang terbangun barulah sepanjang 97 km, atau baru 5% dari kebutuhan penyediaan! Jalur sepeda itu pun hampir semuanya baru berbentuk permarkaan jalan dan belum terproteksi secara khusus sehingga masih sering diserobot oleh kendaraan bermotor.

Kondisi ini terbilang menyedihkan, karena saat ini pesepeda diminta patuh berlalu lintas tetapi infrastruktur di jalannya saja belum ada, mulai dari persimpangan hingga di setiap ruas jalan. Kita tidak bisa semata-mata menyalahkan perilaku pesepeda yang dikatakan melanggar jika kebutuhan dasarnya saja belum ada.

Kesadaran oleh Pemerintah

Lalu apakah pemerintah tidak melakukan apapun melihat kondisi penyediaan infrastruktur pesepeda yang masih sangat minim ini? Saya memiliki optimisme sendiri kepada pemerintah. 

Banyak orang-orang yang bilang bahwa trend bersepeda akhir-akhir ini hanya akan menjadi "trend" yang bersifat sementara, namun saya berani bilang yang sebaliknya. Mulai dari pemerintah daerah sampai pemerintah pusat menyambut masifnya orang yang bersepeda ini dengan cukup baik.  

Sumber: ayobandung.com
Sumber: ayobandung.com
Di Jakarta Pemprov DKI membuat jalur sepeda terproteksi sementara untuk mendorong gerakan bersepeda menuju kantor di pagi dan sore hari. Di Surabaya, pemerintah kota nya menyediakan layanan penyewaan sepeda sehingga bisa lebih banyak warga Surabaya yang tidak punya sepeda bisa bersepeda. 

Di Bandung, dari pemerintah kota membuat pemarkaan jalur sepeda pada jalan utama di Jalan Dago sehingga pengendara bisa lebih berhati-hati kalau ada pesepeda.

Di Kota Kediri, pemerintah setempat akan memasukkan jalur sepeda dalam kegiatan RASS (Rute Aman Selamat Sekolah) yang terintegrasi dengan angkutan umum. Serta di kota-kota luar Jawa seperti Jambi, Pekanbaru, Provinsi Nusa Tenggara Barat dan tempat lainnya semua akan menyediakan peraturan daerah untuk memastikan keselamatan pesepeda.

Kemenhub saat sosialisasi aturan keselamatan pesepeda di jalan pada tanggal 18 September 2020. Sumber: Youtube Kementerian Perhubungan RI
Kemenhub saat sosialisasi aturan keselamatan pesepeda di jalan pada tanggal 18 September 2020. Sumber: Youtube Kementerian Perhubungan RI
Berita menggembirakan juga datang dari Kementrian Perhubungan, melalui Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 59 Tahun 2020 tentang Keselamatan Pesepeda di Jalan. 

Jika anda benar-benar membaca peraturan ini, bukan hanya membaca dari clickbait yang menakut-nakuti dengan mengatakan larangan saja, maka peraturan ini dapat dikatakan cukup revolusioner. 

Peraturan ini tidak hanya mengatur bagaimana pesepeda berperilaku di jalan, tetapi juga mencantumkan kewajiban penyediaan jalur sepeda di jalan-jalan perkotaan. Disini, pemerintah daerah juga wajib untuk menyediakaan jalur sepeda sesuai kewenangannya seperti yang sudah diatur pada pasal 16.

Pada peraturan ini juga sudah terdapat kesadaran bahwa sepeda adalah moda pendukung transportasi umum. Sehingga pada pasal 15 dikatakan agar penyediaan jalur sepeda terintegrasi dengan angkutan umum pada mil pertama dan mil terakhir.

Lanjutkan momentum

Momentum perubahan menuju kebiasaan baru yang lebih baik melalui bersepeda ini terlalu sayang untuk dibiarkan berlalu begitu saja. Pemerintah sudah mulai ikut mengayomi kebutuhan pesepeda, kita dari masyarakat juga bisa turut berpartisipasi dalam tren baik ini, tidak perlu kita membenci tren jika memang menuju perubahan yang lebih baik. 

Pesepeda juga bisa mulai membiasakan dirinya dalam berlalu lintas di jalanan kota, pemerintah juga bisa menjalankan kewajibannya untuk memenuhi hak-hak dasar pesepeda dalam penyediaan infrastruktur.

Pada akhirnya, saat ini pesepeda hanyalah pengendara yang berusaha berkendara secara selamat di jalan yang kotanya lebih memprioritaskan kendaraan bermotor. Semoga hal ini bisa berubah dan jalan tidak hanya dimiliki kendaraan bermotor saja tetapi pesepeda. (dan juga pejalan kaki tentunya).

Referensi:

[1] KompasTV. "Soal Sepeda Masuk Tol, Ketua B2W: Kedepankan Adab".2020. dimuat di KompasTV

[2] Syahrian, Aldiro. "Viral Pesepeda Terobos Lampur Merah, Netizen : Banyak Pesepeda Arogan Sekarang!". 2020. pikiran-rakyat.com

[3] Tim det OTO. "Catat! Polisi Bisa Tilang Pesepeda yang Langgar Jalur Sepeda di Sudirman-Thamrin". 2020. oto.detik.com

[4] Marshall, W. E., Piatkowski, D., & Johnson, A. (2017). Scofflaw bicycling: Illegal but rational. The Journal of Transport and Land Use, 805-836.

[5] Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Perhubungan bersama Tim Komunikasi Pemerintah Kemkominfo. "Rata-rata Tiga Orang Meninggal Setiap Jam Akibat Kecelakaan Jalan". 2018. kominfo.go.id

[6] Herman. "Ini 10 Penyebab Utama Kecelakaan Lalu Lintas". 2017. beritasatu.com

[7] Jakarta Open Data. "Data Jalan Arteri Jakarta".2014. data.jakarta.go.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun