Entah anda merasakan atau tidak, akhir-akhir ini suasana interaksi dalam masyarakat Indonesia terkesan terkotak-kotakkan. Pemilu kepala daerah, legislatif, ataupun presiden, memang akan selalu memanaskan hubungan interaksi di dalam masyarakat. Kenyataan ini diperkeruh dengan maraknya berita-berita hoax yang beredar.Â
Berita hoax ini tidak hanya memberikan informasi yang keliru tetapi juga memiliki tendensi untuk memojokkan pihak tertentu melalui ujaran kebencian. Beberapa dari kita pasti pernah "berpapasan" dengan informasi/berita yang disebarkan oleh teman-teman kita di dunia maya. Informasi tersebut tidak jarang bermuatan hoax disertai ujaran kebencian terkait isu yang sedang berkembang.Â
Saya pernah melihat snapgram teman saya yang mempromosikan idiologi radikal yang pada akhirnya menyudutkan konstitusi kita Pancasila. Atau informasi ketika tindakan tokoh politik tertentu yang dikaitkan dengan tindakan penistaan agama.
Ketika dihadapkan dengan berita bohong yang dibumbui ujaran kebencian ini, ada beberapa orang yang memilih diam dan menganggap angin lalu. Tetapi saya tidak dapat diam saja ketika kebohongan tersebut menjadi bola panas dalam jejaring sosial di internet. Sontak saya membalas konten tersebut dengan fakta-fakta aktual dan penjelasan yang rasional.Â
Harapan akan terjadinya dialog konstruktif nyatanya tidak terjadi, perdebatan ini justru semakin dalam dengan saya yang lelah dan diaya yang lebih ber-api-api dengan pendapatnya. Saya menjadi bertanya-tanya, apakah tindakan proaktif saya sebagai netizen untuk membenarkan berita hoax dengan ujaran kebencian ini tidak berdampak ?
Narasi ini akan dimulai dari penjelasan munculnya berita bohong melalu fenomena disinformasi. Fenomena tersebut dimanfaatkan oleh beberapa pihak tertentu untuk mencapai tujuan golongannya. Penjelasan mengenai fenomena berita bohong tidak berhenti hanya di ranah elitis saja, tetapi juga terjadi dalam setiap pribadi masyarakat yang turut diselimuti tendensi melakukan ujaran kebencian dari berita-berita bohong tersebut.
Hoax : Banjir Informasi Tidak Berkualitas yang Terjadi Secara Sistematis
Hingga tahun 2017 ini lebih dari 50 persen atau 143 juta orang telah terhubung dengan jaringan internet[1]. Kehadiran internet memudahkan setiap orang untuk saling berinteraksi dengan menihilkan jarak ruang dan waktu. Pertukaran informasi yang terjadi di jagat maya kini sudah sangat mungkin memengaruhi dunia nyata.Â
Kehadiran internet dalam medium sosial media mempermudah setiap orang untuk memperoleh informasi yang setara dan terdesentralisasi. Kita tidak perlu lagi menunggu berita akan fenomena tertentu dari koran terbitan di tiap pagi, ataupun tidak perlu menunggu lama hasil berita yang dikeluarkan media berita daring yang besar. Setiap orang yang memiliki akun media sosial dapat melaksanakan jurnalisme warga (citizen journalism), setiap orang dapat menjadi narasumber akan informasi tertentu.Â
 Terlepas dari segala dampak baik yang diberikan, era banjir informasi ini juga memberikan sisi gekap yang perlu diawasi bersama. Nezar Patria, editor-in-chief harian Jakarta Post[2] beranggapan bahwa post-truth adalah kondisi ketika berita bohong/hoax dipakai untuk menyalakan bara emosi dan sentiment publik. Dengan adanya sirkulasi media yang begitu banyak dan deras, informasi palsu mengelaborasi suatu peristiwa yang terjadi sehingga mampu membuat informasi bohong itu menjadi nyata.
 Banjir informasi tersebut dapat berujung kepada munculnya sebuah fenomena baru yang bernama misinformasi ataupun disinformasi[3]. Misinformasi terjadi karena adanya kesalahan secara jujur yang terjadi dalam memproduksi suatu berita (tidak disengaja), sedangkan disinformasi berarti adanya usaha memprduksi informasi yang salah untuk menginterveni opini publik. Untuk fenomena disinformasi, kita perlu menalaah lebih dalam lagi karena dapat berdapmpak pssada disintegrasi sosial suatu negara.
 Adam B. Ellick, Director and Executive Producer of Opinion Video dari New York Times merilis laporan video mengenai trend berita bohong yang terjadi diantara Rusia-Amerika dan terus terjadi hingga kini[4]. Dikabarkan bahwa pada pemilu presiden Amerika tahun 2016, terdapat upaya massif dan terintgerasi dalam memproduksi berita bohong menjatuhkan calon presiden Hillary Clinton dalam skandal email bermuatan kontroversial. Upaya tersebut diduga dilakukan oleh intelejen Russia melalui 7 langkah  berikut yang dinamakan sebagai Active Measures[5] :Â
Gambar 1. Proses Active Measures Dalam Menyebarkan Beria Bohong
Ignatius Hariyanto dalam Media Ownership and Its Implication for Journalists and Journalism in Indonesia[6] berpendapat bahwa terdapat peningkatan kepemilikan media cetak yang berputar di tangan segelintir orang. Tentu kita tidak asing dengan media televisi bergambarkan burung dengan latar biru yang dimiliki oleh seorang tokoh politik dari partai tertentu. Ataupun media bernomor satu dengan latar belakang merah yang juga dimiliki tokoh politik dari suatu partai.Â
Muhammad Heychael, peneliti pusat studi media dan komunikasi Remotivi[7] mengatakan bahwa publik bisa merugi karena sangat mungkin mendapat informasi yang timpang. Hal ini disebabkan berkumpulnya pengusaha media di kubu petahana sehingga publik susah mendapat berita perspektif yang kritis.Â
Gun Gun Heryanto, Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute[8] beranggapan bahwa pemilu presiden tahun 2019 nanti akan tetap menggunakan strategi lama, namun dengan konten yang diperbaharui. Strategi lama yang dimaksud adalah dengan memanfaatkan sentiment-sentimen SARA yang berkembang di masyarakat untuk saling menyerang figure satu sama lain. Dikatakan bahwa masing-masing pihak memproduksi berita untuk memicu disinformasi untuk menimbulkan kesalahpahaman.Â
Berita tersebut dibungkus rapih melalui kritik terhadap program satu sama lain yang kemudian akan dilakukan upaya pembunuhan karakter. Semisal dengan melakukan name calling seperti antek PKI, anti-silam, sontoloyo, ataupun boyolali. Narasi-narasi sumbang tersebut kemudian disebarluaskan melalui media-media berita yang ada.Â
Tentu saja dapat melalui media besar seperti yang disebutkan di atas, atau dengan membuat basis masa media sosial untuk membuat gelombang hegemoni isu tersebut. Tidak berhenti di dalam ranah media daring saja, tokoh-tokoh politik, organisasi masyarakat yang mengklaim memiliki justifikasi moral pun turut bersuara lantang menyuarakan narasi sumbang itu (seperti kasus penistaan agama yang menjadi senjata popular untuk disebarluaskan). Lebih parahnya lagi adalah kedua belah pihak yang saling melempar berita tersebut saling menyembunyikan tangan dan menyangkal perbuatannya.Â
 Ujaran Kebencian Yang Bermuara di Pribadi Tiap Individu
Jika penjelasan sebelumnya lebih berfokus pada aspek hilir berita bohong tersebut diproduksi, maka selanjutnya akan dijelaskan aspek hulu kepada masyarakat yang menerima berita bohong tersebut.
Kemudahan dalam mengakses internet dapat menjadi boomerang bagi masyarakat jika tidak diikuti kebijaksanaan dan kecerdasan dalam mengelola informasi. Berita yang tidak memiliki kebenaran tersebut dapat dengan mudah terjangkit di masyarakat, karena tidak hanya dimobilisasi oleh berita bohong tetapi juga semakin di"goreng" dengan ujaran kebencian yang membakar perasaan. Selama 2017 setidaknya Polri telah menangani 3225 kasus ujaran kebencian[9], terdapat juga temuan bahwa ada 800 ribu situs penyebar hoax di Indonesia.Â
 Untuk dapat menanggapi berita bohong yang disertai dengan ujaran kebencian ini kita perlu mengetahui mengapa orang-orang dapat berperilaku demikian.Â
Secara dasar perilaku ini disebabkan oleh prasangka buruk yang muncul dari dalam diri serta ketidakpedulian akan prinsip golongangan masyarakat dengan nilai berbeda. Penyebab mengapa orang-orang berperilaku seperti itu dapat ditelaah melalui 3 pendekatan : pendekatan psikologi sosial, sosio-ekonomi, dan strucktural[10] sebagai berikut :Â
Tabel 1. Pendekatan Penyebab Perilaku Melakukan Ujaran Kebencian
Tindakan menghalang penyebarluaasan materi-materi hoaks dan ujaran kebencian dengan fakta oleh sebagian pahak justru dianggap kontraproduktif. Langkah ini dapat kontraproduktif karena orang-orang dengan paham radikal sulit menerima sudut pandang lain. Sehingga mereka cenderung/siap menunggu tanggapan kontra untuk 2x lipat menyerang melalui paham agresif itu.
 Menjadi Agen Kebenaran Dimulai Dari Kita
 Setelah kita pahami bersama, fenomena berita bohong ini terjadi secara structural di dalam ranah politik itu sendiri dan termobilisasi di masyarakat dengan penyebaran ujaran kebencian antar satu sama lain. Lantas pengaruh apakah yang dapat kita berikan untuk menjawab persoalan yang kompleks tersebut ?
 Dapat dimulai dengan reaksi kita yang dapat dengan lebih bijak menyikapi berita bohong dan ujaran kebencian tersebut. Kita tidak boleh terpancing oleh ritme kebencian yang dilakukan oleh pihak-phak itu, kita harus bisa berpikir bijak dalam menyikapinya. Berpikir ulang kembali, ketika kita memaparkan fakta yang logis dan rasional itu, apakah dapat bertujuan akhir baik. Atau pada akhirnya justru hanya untuk membalas kembali dan bertujuan untuk berdebat ? Daripada berperilaku seperti itu dan kontraproduktif, langkah yang bisa dilakukan adalah dengan menghadirkan narasi positif.
 Daripada melawan ujaran kebencian dengan berdebat untuk membuktikan argument yang lebih logis dan objektif, bawalah narasi yang tidak memiliki tujuan utama untuk menang. Narasi positif mengantarkan kita kepada penyampaian yang bersifat relasional, dan juga berbasiskan emosi. Narasi positif tidak beragumentasi, tetapi narasi itu sendiri telah menghadirkan argumentasi positif.Â
Karena jika hanya berkutat pada benar dan salah, orang yang salah pun dapat menutup pendengarannya karena orientasi yang dia miliki. Semisal kita dihadapkan dengan pihak yang intoleran dengan idiologi yang ia miliki. Tidak hanya memberitahu pandangan yang baik melalui sisi konstitusi kita/Pancasila, tetapi kita juga mengabarkan dampak yang akan terjadi jika pihak itu memaskakan idiologinya pada negara Indonesia yang beraneka ragam tanpa harus seragam ini.
 Masa depan Indonesia literally berada di dalam genggaman kita. Kita sama-sama menggenggam gadget yang saling terhubung melalui jejaring dunia maya oleh ratusan juta orang secara virtual. Kita memiliki peran krusial dalam menciptakan masa depan Indonesia yang toleran antar satu sama lain dan tetap bersatu, terutama menjelang pemilu presiden 2019 tahun depan.Â
Menjadi aktif, partisipatif, dan bijak dalam menanggapi kabar-kabar berita bohong dan ujaran kebencian tentu tidak akan terlalu memakan waktu kita bukan ? Ingat, genggaman demokrasi tersebut berada di tangan kita! Jangan sampai kita tidak menggerakan jejari kita dengan pikiran yang bijak karena taruhannya adalah bangsa kita.
-  [1] Kartini, Fatimah. Berapa Jumlah Pengguna Internet Indonesia?. Kompas. 21 November 2018. https://tekno.kompas.com/read/2018/02/22/16453177/berapa-jumlah-pengguna-internet-indonesia
-  [2] Brama, Aloysius, Meretas Post Truth. Geotimes. 21 November 2018. https://geotimes.co.id/submission/comniphore/meretas-post-truth/
-  [3] Don, F., 2009. A Conceptual Analysis of Disinformation. Illinois, iConference.
- Â [4] Ellick, B. Adam. Too Much Information About Disinformation.The New York Times. 21 November 2018Â https://www.nytimes.com/2018/11/18/reader-center/russian-disinformation-video.html?rref=collection%2Fbyline%2Fadam-b.-ellick
-  [5] The Institute of World Politics, 2012. Active Measures, Washingto, D.C: Spring.
-  [6] Adam, Aulida. 8 Konglomerat Media di Indonesia Via Jalur Media TV & Cetak. Tirto. 21 November 2018. https://tirto.id/8-konglomerat-media-di-indonesia-via-jalur-media-tv-amp-cetak-cEv7
-  [7] Apinino, Rio. Ramai-Ramai Pemilik Media Merapat ke Jokowi Buruk Untuk Demokrasi. Tirto. 21 November 2018. https://tirto.id/ramai-ramai-pemilik-media-merapat-ke-jokowi-buruk-untuk-demokrasi-cXMH
- Â [8] Heryanto, Gun. Dialektika Relasional Kampanye. Kompas. 21 November 2018. https://kompas.id/baca/opini/2018/10/16/dialektika-relasional-kampanye/
-  [9] Medistiara, Yulida. Selama 2017 Polri Tangani 3.325 Kasus Ujaran Kebencian. Detik. 21 November 2018. https://news.detik.com/berita/3790973/selama-2017-polri-tangani-3325-kasus-ujaran-kebencian
-  [10] Walters, M. A., Brown, R. & Wiedlitzka, S., 2016. Causes and Motivations of Hate Crime, Manchester: Equality and Human Rights Comission Research Team.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H