Untuk dapat menanggapi berita bohong yang disertai dengan ujaran kebencian ini kita perlu mengetahui mengapa orang-orang dapat berperilaku demikian.Â
Secara dasar perilaku ini disebabkan oleh prasangka buruk yang muncul dari dalam diri serta ketidakpedulian akan prinsip golongangan masyarakat dengan nilai berbeda. Penyebab mengapa orang-orang berperilaku seperti itu dapat ditelaah melalui 3 pendekatan : pendekatan psikologi sosial, sosio-ekonomi, dan strucktural[10] sebagai berikut :Â
Tabel 1. Pendekatan Penyebab Perilaku Melakukan Ujaran Kebencian
Tindakan menghalang penyebarluaasan materi-materi hoaks dan ujaran kebencian dengan fakta oleh sebagian pahak justru dianggap kontraproduktif. Langkah ini dapat kontraproduktif karena orang-orang dengan paham radikal sulit menerima sudut pandang lain. Sehingga mereka cenderung/siap menunggu tanggapan kontra untuk 2x lipat menyerang melalui paham agresif itu.
 Menjadi Agen Kebenaran Dimulai Dari Kita
 Setelah kita pahami bersama, fenomena berita bohong ini terjadi secara structural di dalam ranah politik itu sendiri dan termobilisasi di masyarakat dengan penyebaran ujaran kebencian antar satu sama lain. Lantas pengaruh apakah yang dapat kita berikan untuk menjawab persoalan yang kompleks tersebut ?
 Dapat dimulai dengan reaksi kita yang dapat dengan lebih bijak menyikapi berita bohong dan ujaran kebencian tersebut. Kita tidak boleh terpancing oleh ritme kebencian yang dilakukan oleh pihak-phak itu, kita harus bisa berpikir bijak dalam menyikapinya. Berpikir ulang kembali, ketika kita memaparkan fakta yang logis dan rasional itu, apakah dapat bertujuan akhir baik. Atau pada akhirnya justru hanya untuk membalas kembali dan bertujuan untuk berdebat ? Daripada berperilaku seperti itu dan kontraproduktif, langkah yang bisa dilakukan adalah dengan menghadirkan narasi positif.
 Daripada melawan ujaran kebencian dengan berdebat untuk membuktikan argument yang lebih logis dan objektif, bawalah narasi yang tidak memiliki tujuan utama untuk menang. Narasi positif mengantarkan kita kepada penyampaian yang bersifat relasional, dan juga berbasiskan emosi. Narasi positif tidak beragumentasi, tetapi narasi itu sendiri telah menghadirkan argumentasi positif.Â
Karena jika hanya berkutat pada benar dan salah, orang yang salah pun dapat menutup pendengarannya karena orientasi yang dia miliki. Semisal kita dihadapkan dengan pihak yang intoleran dengan idiologi yang ia miliki. Tidak hanya memberitahu pandangan yang baik melalui sisi konstitusi kita/Pancasila, tetapi kita juga mengabarkan dampak yang akan terjadi jika pihak itu memaskakan idiologinya pada negara Indonesia yang beraneka ragam tanpa harus seragam ini.
 Masa depan Indonesia literally berada di dalam genggaman kita. Kita sama-sama menggenggam gadget yang saling terhubung melalui jejaring dunia maya oleh ratusan juta orang secara virtual. Kita memiliki peran krusial dalam menciptakan masa depan Indonesia yang toleran antar satu sama lain dan tetap bersatu, terutama menjelang pemilu presiden 2019 tahun depan.Â