Kebebasan berpikir dan berpendapat adalah komponen utama yang menguji daya kritis yang dimiliki sebagai komponen utama mahasiswa. Kebebasan berpikir ini seringkali dipandang sebagai bibit-bibit pemicu gerakan radikalisme. Seperti pada terjadinya kasus pemberangusan kebebasan berpendapat yang dilakukan ormas-ormas tidak bertanggung jawab seperti kasus pembubaran diskusi Marx di kampus ISBI.[1]
Isu mengenai radikalisme dalam kehidupan kemahasiswaan sudah lama mencuat semenjak 2011 dengan terbitnya artikel "Radikalisme Mengincar Kampus" oleh Ansyaad Mbai yang menjabat kepala BNPT kala itu.Â
Artikel tersebut memuat bahwa radikalisme menyusup ke lingkungan kampus dengan memanfaatkan ketidakpuasan mahasiswa terhadap kinerja pemerintah. Tindakan dan klaim seperti ini menurut pengamat Terorisme Harits Abu Ulya menilai : "tidak boleh hanya karena ada satu-dua orang oknum mahasiswa satu kampus terlibat aksi terror kemudian dibuat dasar untuk menggeneralisir untuk semua kampus".
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh pengamat terorisme lainnya. Al Chaidar. Menurutnya penyebaran radikalisme jangan sampai menciderai arti pola pikir kritis khas mahasiswa. Kampus merupakan tempat dimana kebebasan akademis perlu dihormati, apapun bisa dibahas sebagai bagian dari aktivias intelektual dan pengembangan kelimuan.Â
Kajian-kajian berbagai hal mengenai keislaman, kesosialismean, marzisme, feminism, globalisme, liberalism, dan LGBT pun adalah hal yang lumrah. Kajian tersebut dipahami dalam konteks berdialektika dalam koridor pemikiran smeata, tidak serta merta mahasiswa yang bersangkutan penganut paham/idiologi terkait[2].
Penjelasan berikutnya akan memaparkan lebih lanjut mengenai perbedaan antara aktivisme, radikalisme, dan terorisme. Karena ketiga hal ini seringkali tercampur aduk dan menjadi legitimasi tindakan represif terhadap golongan masyarakat tertentu. Pada akhir penjelasan akan dipaparkan juga mengenai kecenderungan tindakan represif yang sengaja dilakukan oleh pemerintah.
Aktivisme, Radikalisme, dan Terorisme
Untuk dapat mendefinisikan perbedaan antar ketiga hal ini, dapat dimulai dengan penjelasan partisipasi politik. Berdasarkan jurnal "On Radicalisme : A Study of Political Mehods in The Shadow Land Between Activism and Terrorism" oleh Sophie Sjoqvist, mengungkapkan bahwa pada awalnya partisipasi politik didefinisikan sebatas pada aktivitas yang dilakukan oleh individu-individu dalam masyarakat yang bertujuan untuk memengaruhi pemilihan anggota pemerintah dengan kata lain adalah pemilu.Â
Namun seiring dengan berkembangnya zaman definisi partisipasi politik semakin meluas sampai kepada gerakan boykot, demonstrasi, diskusi di ruang publik yang tergolong sebagai cara tidak konvensional.Â
Sehingga ketika kita berdiskusi mengenai suatu topik di media massa yang merupakan ruang publik virtual, kita sudah ikut berpartisipasi dalam hal politik. Cara-cara seperti ini merupakan bentuk aktivisme politik untuk tujuan-tujuan tertentu, contoh saja dengan adanya organisasi-organisasi yang didirakan oleh masyarakat sendiri/LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) seperti LBH (Lembaga Bantuan Hukum), JATAM (Jaringan Advokasi Tambang), bahkan pergerakan kemahasiswaan itu sendiri. Banyak dari gerakan aktivis berakhir dengan metode demonstrasi karena cara-cara konvensional untuk duduk bertemu dengan pihak berwenang dianggap tidak membuahkahn hasil.
Seringkali kita melihat di media massa bahwa demonstrasi diakhiri dengan kericuhan, sehingga seringkali aktivisme dianggap sebagai sesuatu yang illegal dan cenderung radikal.Â