Malam itu saya sedang duduk di sudut stasiun Pasar Senen, Jakarta, menunggu giliran untuk masuk ke dalam peron dan naik ke dalam kereta. Seorang diri memerhatikan sekeliling berharap ada yang sudi untuk mengajak saya berbicara, siapapun, supir taksi, porter stasiun, atau bungkus-bungkus sampah di jalanan.
Namun kerumunan sedang sibuk dengan malam dan jadwal mereka masing-masing. Hampir bosan hingga akhirnya saya menyaksikan seorang ibu sedang berdiri memeluk anak lelakinya, lama dalam diam, erat. Saya masih sibuk memerhatikan mereka saat akhirnya ibu dan anak tersebut saling melepaskan pelukannya, sang ibu mencium kening anaknya, anak itu mengusap air mata bak adegan perpisahan di film drama.
Tebakan pertama saya, anak itu pasti mahasiswa baru yang dilepas oleh orangtuanya ke perantauan. Dalam pengamatan itu, saya tidak melibatkan emosi mengingat empat tahun yang lalu saat dilepas oleh kedua orangtua, saya justru berjalan dengan bahagia sembari mengangkat kardus dan tas di Stasiun Gambir, Jakarta. Saya tak merasakan apa yang dirasakan anak lelaki itu.
Hari ini, lima hari kemudian, wilayah sekitar kampus saya mulai ramai dengan wajah para mahasiswa baru yang diantar oleh keluarganya. Wajah mereka begitu kontras dengan chubby cheeks yang belum memudar menandakan mereka masih berusia remaja, pakaian mereka begitu berbeda, tidak mengenakan jaket beridentitaskan himpunan atau organisasi. Semester baru telah dimulai, selamat menyandang status mahasiswa. Mungkin anak lelaki di Stasiun Pasar Senen itu salah satu dari mereka, mungkin juga tebakan saya salah.
Ucapan Manis Universitas yang UtopisÂ
Dan mungkin juga di balik prinsip itu masih terdapat sebuah prinsip lainnya. Yaitu ketakutan dan kesadaran bahwa lepasnya status "mahasiswa" akan berbarengan dengan tersematkannya status "sarjana" dan "pengangguran". Setidaknya bagi sebagian orang, sebagian besar, besar sekali.
Berdasarkan data yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik, pada tahun 2013 terdapat 434.185 penganguran terdidik lulusan universitas, bukannya membaik, angka tersebut justru meningkat menjadi 495.143 pengganguran pada tahun 2014. Seperti membayangkan seluruh penduduk Republic of Malta (sebuah negara seluas 31.600 hektare dengan 445.246 jiwa penduduk) tidak memiliki pekerjaan.
Haruskah kita tercengang atau justru mewajarkan kenyataan tersebut sebagaimana kita selalu mencari alasan dan pembenaran atas segala hal? Lalu siapa yang patut bertanggungjawab? Saya akan melepaskan opini ini dari analisa ekonomi dan sistem pendidikan, dan mencoba berfokus terhadap kultur utopia dan kesombongan perguruan tinggi.
Universitas tidak pernah lelah menjejali para mahasiswa baru dengan angan dan gambaran dunia kuliah serta kerja yang utopis. Bahwa kita mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) / Perguruan Tinggi Swasta (PTS) berkualitas, disegani di Indonesia dan diperhitungkan di dunia. Saya ingat betul bagaimana semasa ospek dahulu dekan fakultas di PTN tempat saya berkuliah berbicara dengan lantang dalam gaya humorisnya "Kalian telah dikutuk menjadi orang kaya", "Kalian dilahirkan untuk menjadi penegak hukum", dan bahkan "Selamat datang putra-putri terbaik bangsa".
Mahasiswa baru mana yang (setelah berbulan-bulan berlelah-lelah untuk mempersiapkan diri masuk perguruan tinggi favorit) mampu menahan gejolak rasa percaya dirinya ketika seorang profesor yang begitu dihormati di lingkungan kampusnya berbicara demikian, seolah-olah masa depannya sudah dijamin oleh nama besar perguruan tinggi mereka (Sayangnya dekan saya kini menjabat sebagai rektor universitas, artinya akan semakin banyak mahasiswa baru yang harus mendengar retorikanya).
Saya, kala itu, juga ikut terbuai. Ucapan yang manis, tapi tidak dengan kenyataan yang ada, karena pada akhirnya saya tercengang mendengar banyak alumni dan senior yang menganggur untuk waktu yang lama padahal dahulu dipuja-puja semasa aktif di kampus.Â
Kultur sombong ini terwariskan dan menjadi tumbuh berkembang di kalangan mahasiswa. Sebagai contoh, pada awal tahun 2016 kemarin Webometrics menobatkan kampus saya sebagai salah satu kampus terbaik di Indonesia, berada dalam peringkat yang luar biasa. Seperti yang bisa anda tebak, seluruh media sosial tentang kampus yang dikelola oleh mahasiswa mengumumkan dengan heboh pencapaian ini.
Tapi ironis, mengingat metodologi penilaian yang dilakukan oleh Webometrics dititikberatkan pada jumlah konten dan kemudahan akses website suatu universitas, sementara saat saya sedang sibuk mengetik tulisan ini di meja kamar indekos saya, website fakultas saya sedang tidak bisa diakses sama sekali untuk kesekian kalinya sepanjang tahun ini. Belum lagi dengan produk-produk pakaian buatan mahasiswa yang tidak kalah sombongnya dengan ucapan dekan fakultas saya, salah satu kaus yang ramai dipakai saat itu bertuliskan "Born to be a great law enforcement", sementara pada masa semester empat saya mendapati teman satu angkatan yang tidak mengerti perbedaan antara Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ini yang saya maksud, kita sibuk menghadiahkan diri dengan fakta dan data sekunder yang begitu membahagiakan, sementara lupa (atau bahkan menolak) ketika kenyataan yang ada di lapangan berbicara sebaliknya.
Begitu kontras dan begitu nyata. Mahasiswa-mahasiswa bersikap tenang dan menganggap mereka telah menjadi civitas perguruan tinggi terbaik di negeri ini sehingga kantor-kantor yang berpusat di sekitaran Sudirman, Thamrin, dan Kuningan, Jakarta, akan dengan senang hati memperkerjakan mereka.
Mengapa kemudian kultur ini menjadi begitu berbahaya? Sederhana, karena kemauan dan kesadaran untuk belajar dan bersaing para mahasiswa semakin menurun akibat dongeng yang terus kita telan. Bahwa dengan berhasil masuk ke perguruan tinggi favorit sudah cukup untuk memberikan kita sebuah credentials di dunia kerja. Yang terjadi kemudian, kita tercengang dengan masa menganggur yang terlalu lama, kepercayaan diri jatuh terjun bebas menyesuaikan diri dengan gaji yang diterima. Karena kampus kita yang sombong telah mendidik kita untuk menjadi sombong.
Tiba waktunya bagi para pendidik serta birokrat perguruan tinggi, baik PTN maupun PTS, untuk berhenti memberikan dongeng yang terlalu indah dan muluk-muluk bagi mahasiswa-mahasiswanya. Saatnya telah tiba, walau sayang sedikit terlambat, untuk kita meninggalkan kalimat-kalimat utopis dan mulai memberanikan diri mendengarkan kalimat-kalimat yang jauh lebih realistis seperti "Belajarlah sebaik-baiknya bila ingin selamat di dunia yang sebenarnya" atau "Sadarlah, kalian bersaing dengan PTN-PTN terbaik yang jauh lebih berkualitas dari kampus kita".
Marilah kita bangun dan mulai memewahkan diri dengan prinsip-prinsip realistis (dan sedikit idealistis) dan melupakan bahwa kita pernah menjadi utopis, begitu dalam sekaligus terlalu tinggi.
Para mahasiswa perlu belajar lebih giat dan mulai menumbuhkan kultur untuk berkompetisi, karena di dunia ini tidak akan ada yang akan menghadiahkan kita suatu hal dengan begitu saja. Selalu ada yang harus kita capai, sebuah treshold yang harus kita lewati. Dengan demikian kita baru layak untuk berharap curriculum vitae yang telah begitu cantik kita persiapkan tidak masuk dengan sia-sia ke dalam black hole meja-meja human resource department di kantor-kantor impian.
Opini ini tidak berusaha menyinggung perasaan siapapun, hanya berusaha menyadarkan siapapun yang terbuka hatinya terhadap kritik.
Salam, Carlo Diori Tonio, mahasiswa semester offside, sedikit lagi jadi pengangguran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H