Saya, kala itu, juga ikut terbuai. Ucapan yang manis, tapi tidak dengan kenyataan yang ada, karena pada akhirnya saya tercengang mendengar banyak alumni dan senior yang menganggur untuk waktu yang lama padahal dahulu dipuja-puja semasa aktif di kampus.Â
Kultur sombong ini terwariskan dan menjadi tumbuh berkembang di kalangan mahasiswa. Sebagai contoh, pada awal tahun 2016 kemarin Webometrics menobatkan kampus saya sebagai salah satu kampus terbaik di Indonesia, berada dalam peringkat yang luar biasa. Seperti yang bisa anda tebak, seluruh media sosial tentang kampus yang dikelola oleh mahasiswa mengumumkan dengan heboh pencapaian ini.
Tapi ironis, mengingat metodologi penilaian yang dilakukan oleh Webometrics dititikberatkan pada jumlah konten dan kemudahan akses website suatu universitas, sementara saat saya sedang sibuk mengetik tulisan ini di meja kamar indekos saya, website fakultas saya sedang tidak bisa diakses sama sekali untuk kesekian kalinya sepanjang tahun ini. Belum lagi dengan produk-produk pakaian buatan mahasiswa yang tidak kalah sombongnya dengan ucapan dekan fakultas saya, salah satu kaus yang ramai dipakai saat itu bertuliskan "Born to be a great law enforcement", sementara pada masa semester empat saya mendapati teman satu angkatan yang tidak mengerti perbedaan antara Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ini yang saya maksud, kita sibuk menghadiahkan diri dengan fakta dan data sekunder yang begitu membahagiakan, sementara lupa (atau bahkan menolak) ketika kenyataan yang ada di lapangan berbicara sebaliknya.
Begitu kontras dan begitu nyata. Mahasiswa-mahasiswa bersikap tenang dan menganggap mereka telah menjadi civitas perguruan tinggi terbaik di negeri ini sehingga kantor-kantor yang berpusat di sekitaran Sudirman, Thamrin, dan Kuningan, Jakarta, akan dengan senang hati memperkerjakan mereka.
Mengapa kemudian kultur ini menjadi begitu berbahaya? Sederhana, karena kemauan dan kesadaran untuk belajar dan bersaing para mahasiswa semakin menurun akibat dongeng yang terus kita telan. Bahwa dengan berhasil masuk ke perguruan tinggi favorit sudah cukup untuk memberikan kita sebuah credentials di dunia kerja. Yang terjadi kemudian, kita tercengang dengan masa menganggur yang terlalu lama, kepercayaan diri jatuh terjun bebas menyesuaikan diri dengan gaji yang diterima. Karena kampus kita yang sombong telah mendidik kita untuk menjadi sombong.
Tiba waktunya bagi para pendidik serta birokrat perguruan tinggi, baik PTN maupun PTS, untuk berhenti memberikan dongeng yang terlalu indah dan muluk-muluk bagi mahasiswa-mahasiswanya. Saatnya telah tiba, walau sayang sedikit terlambat, untuk kita meninggalkan kalimat-kalimat utopis dan mulai memberanikan diri mendengarkan kalimat-kalimat yang jauh lebih realistis seperti "Belajarlah sebaik-baiknya bila ingin selamat di dunia yang sebenarnya" atau "Sadarlah, kalian bersaing dengan PTN-PTN terbaik yang jauh lebih berkualitas dari kampus kita".
Marilah kita bangun dan mulai memewahkan diri dengan prinsip-prinsip realistis (dan sedikit idealistis) dan melupakan bahwa kita pernah menjadi utopis, begitu dalam sekaligus terlalu tinggi.
Para mahasiswa perlu belajar lebih giat dan mulai menumbuhkan kultur untuk berkompetisi, karena di dunia ini tidak akan ada yang akan menghadiahkan kita suatu hal dengan begitu saja. Selalu ada yang harus kita capai, sebuah treshold yang harus kita lewati. Dengan demikian kita baru layak untuk berharap curriculum vitae yang telah begitu cantik kita persiapkan tidak masuk dengan sia-sia ke dalam black hole meja-meja human resource department di kantor-kantor impian.
Opini ini tidak berusaha menyinggung perasaan siapapun, hanya berusaha menyadarkan siapapun yang terbuka hatinya terhadap kritik.
Salam, Carlo Diori Tonio, mahasiswa semester offside, sedikit lagi jadi pengangguran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H