Mohon tunggu...
Healthy

Penyakit yang Menyebabkan Ibu Membunuh Anaknya Sendiri?

25 November 2017   00:16 Diperbarui: 25 November 2017   00:19 1052
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"It's not blood that makes you family. It's love."

 Halo, selamat berjumpa kembali dengan tulisan saya!

Pada kesempatan kali ini, saya akan membahas mengenai eritroblastosis fetalis, yang merupakan penyakit genetis yang bisa menyebabkan keguguran pada janin. Apakah penyakit ini bisa disembuhkan, atau tidak?

Eritroblastosis fetalis biasanya terjadi karena tubuh sang ibu yang sedang mengandung membentuk antibody yang akan menyerang sel darah merah (eritrosit) janin yang dikandungnya. Pembentukan antibody tersebut merupakan respon tubuh ibu karena janin dan ibu memiliki rhesus atau golongan darah yang berbeda.

Memangnya apa itu rhesus? Bagaimana bisa rhesus ibu dan janin berbeda?

Rhesus adalah penggolongan darah berdasarkan ada tidaknya antigen RhD. Rhesus positif artinya darah memiliki antigen RhD, sedangkan rhesus negatif berarti tidak memiliki antigen RhD. Perbedaan rhesus antara ibu dan janin dapat disebabkan oleh perbedaan rhesus ibu dan ayah, dan sang bayi memiliki rhesus yang sama dengan ayahnya.

Menurut berberapa riset yang saya temukan, perbedaan rhesus ibu dan ayah memiliki potensi yang jauh lebih besar bagi bayi untuk menderita eritroblastosis fetalis daripada ibu dan ayah yang memiliki rhesus yang sama. Janin dari orang tua yang memiliki rhesus sama memiliki potensi yang sangat kecil untuk menderita eritroblastosis fetalis, bahkan hampir tidak ada.

Di Indonesia sendiri, hanya 0,5% orang yang memiliki rhesus negatif. Sedangkan orang berkulit putih 15% dan orang berkulit hitam 5%. Sehingga kasus eritroblastosis fetalis di Indonesia sendiri tidak banyak.

Eritroblastosis fetalis terjadi jika ibu memiliki rhesus negatif dan janin memiliki rhesus positif. Perbedaan ini membuat tubuh sang ibu mendeteksi sesuatu yang asing, sehingga merangsang tubuh ibu untuk menghasilkan "prajurit" untuk memberantas benda asing yang dianggap "musuh" tersebut, yang merupakan sel darah buah hatinya sendiri. Hal ini menyebabkan pecahnya pembuluh darah janin. Pecahnya pembuluh darah menyebabkan janin kekurangan sel darah merah atau anemia, sehingga organ bayi akan berusaha menghasilkan eritrosit untuk menutupi kondisi tersebut. 

Organ penghasil eritrosit tersebut akan mengalami pembengkakan, eritrosit yang dihasilkan juga belum dewasa jadi masih belum bisa bekerja secara optimal, sedangkan eritrosit bayi akan terus diserang oleh antibody ibu. Hal ini tentunya menyebabkan terancamnya kesehatan bayi saat baru saja dilahirkan, dan dalam sebagian besar kasus, dapat merenggut nyawa janin saat masih di dalam kandungan.

Uniknya, eritroblastosis fetalis hanya dapat terjadi pada kehamilan kedua dan seterusnya. Mengapa? Pada saat kehamilan pertama, ibu belum memiliki antibody untuk menghadapi antigen RhD bayi. Hal itu disebabkan karena ibu baru akan memproduksi antibody saat melahirkan, karena pada saat itu darah janin masuk ke dalam sirkulasi darah ibu, sehingga tubuh ibu merespon dengan memproduksi antibody. Anak pertama tidak akan terpnengaruh karena sudah lahir. Kehamilan kedua sangat berbahaya bagi bayi yang memiliki rhesus berbeda dengan ibunya karena sang ibu sudah memproduksi antibody dari kelahiran anak pertama.

Tentunya semua orang tua mendambakan anak yang lahir dengan sehat dan memiliki keluarga yang bahagia. Tidak ada yang ingin buah hati mereka terkena penyakit, apalagi penyakit genetic. Tapi, sebagian besar penyakit genetic adalah penyakit yang tidak bisa disembuhkan walaupun dengan menggunakan teknologi modern yang digunakan dalam masa sekarang. Walaupun begitu, pencegahan dan upaya dalam meminimalisir tetap dapat dilakukan. Lalu, bagaimana cara mencegah eritroblastosis fetalis tersebut agar tidak terjadi?

Dalam memilih pasangan, harus diwaspadai apakah rhesus wanita dan pria tersebut sama atau berbeda. Jika wanita memiliki rhesus positif, tidak perlu mengkhawatirkan eritroblastosis fetalis. Tapi jika wanita memiliki rhesus negatif, maka perlu dilakukan pengecekan rhesus pria. Jika pria memiliki rhesus positif, maka ada kemungkinan sang calon bayi terkena eritroblastosis fetalis. Juga, harus sering dilakukan pengecekan antibody terhadap antigen RhD pada darah ibu secara berkala.

Bila memungkinkan, dapat pula dilakukan amniosintesis, yaitu pengambilan darah janin dari tali pusar (umbilical cord), sehingga golongan darah dan rhesus janin dapat diketahui. Apabila terdapat tanda bahaya, maka hendaknya bayi dilahirkan dengan lebih cepat, yaitu saat usia kandungan sekitar 32-34 minggu. Tapi, kelahiran dini atau yang biasa disebut dengan premature juga dapat berdampak negatif pada bayi karena tubuh bayi belum sepenuhnya berkembang. Sehingga, saat bayi sudah mulai tumbuh besar, sang anak akan lebih rentan terkena penyakit, mudah lelah, dan lain-lain.

Selain itu, juga dapat dilakukan pemeriksaan menggunakan ultrasonic yang berfungsi untuk melihat apakah bayi mengalami hidrops, yaitu masuknya cairan tubuh ke dalam organ-organ pada janin, seperti paru-paru, jantung, dan lain-lain. Hal ini dapat terjadi saat organ janin mulai terbentuk. Maka, saat organ janin telah terbentuk dengan sempurna, proses mengandung harus segera diselesaikan dengan proses kelahiran agar janin tidak lagi diserang oleh antibody ibu.

Ciri-ciri lain selain Hidrops pada bayi yang terkena eritroblastosis fetalis adalah pembengkakan pada hati atau limpa. Saat terkena eritroblastosis fetalis, bayi akan mengalami anemia karena eritrosit bayi mengalami hemolisis (pecah) karena diserang oleh antibody ibu. Organ bayi akan berusaha untuk menutupi kekurangan eritrosit yang terus pecah. Hal tersebut dapat menyebabkan pembengkakan pada organ penghasil eritrosit tersebut. Salah satu organ tersebut adalah hati. Pembengkakan pada hati dapat menyebabkan penyakit kuning pada bayi.

Selain mengamati gejala dan ciri-cirinya, tentu saja ada upaya untuk meminimalisir dan menangani bayi yang telah terkena eritroblastosis fetalis. Berdasarkan riset yang saya lakukan, ada tiga cara untuk menangani kasus ini. Cara-cara tersebut saya bagi menjadi dua, yaitu penanganan saat bayi masih dalam kandungan dan saat bayi sudah dilahirkan.

Salah satu penanganan saat bayi masih di dalam kandungan adalah pemberian obat suntik. Obat yang dapat digunakan adalah RhoGAM yang disuntikkan ke tubuh ibu sebanyak dua kali, yaitu pada saat usia kehamilan ke 27-28 minggu, dan 48-72 jam setelah melahirkan. Obat ini berguna untuk mencegah terjadinya reaksi pembentukan antibody terhadap antigen pada rhesus positif sang bayi. Obat ini cukup efektif dalam mengatasi kasus eritroblastosis fetalis di dunia.

Selain itu, transfusi darah juga dapat dilakukan untuk menggantikan darah bayi yang rusak. Transfusi darah disalurkan melalui rahim ibu ke tubuh sang bayi, dan diharapkan darah ini dapat menjaga kesehatan janin sampai saat kelahiran nanti. Berdasarkan tempat darah ditransfusikan, transfusi darah dibagi menjadi dua, yaitu intravascular transfusion (IVT) dan intraperitoneal transfusion (IPT).

Pada intravascular transfusion (IVT), darah ditransfuikan lewat pembuluh darah yang terdapat pada tali pusar menggunakan jarum. Sedangkan pada intraperitoneal transfusion (IPT), darah ditransfusikan melalui perut janin. Prosedur transfusi darah diawali dengan pemberian obat bius terhadap ibu yang mengandung dan gambar ultrasonic untuk melihat posisi janin dan plasenta.

Kemudian, bagian perut ibu dibersihkan menggunakan cairan antiseptik dan diberi obat bius lokal agar sang ibu tidak merasakan sakit dimana jarum transfusi darah akan disuntikkan. Obat-obatan lain yang digunakan adalah obat yang diberikan pada janin untuk menghentikan gerak janin secara sementara. Setelah itu, gambar ultrasonic akan digunakan untuk memastikan jarum menuju lokasi yang benar, yaitu pada perut janin atau pada tali pusar. Darah yang digunakan untuk transfusi umumnya adalah darah dengan rhesus negatif dan tipe O. Setelah transfusi selesai, sang ibu akan diberi antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi.

Transfusi darah ini menyebabkan kematian akibat eritroblastosis fetalis dapat berkurang. Sebelum ada penanganan, tingkat kematian korban eritroblastosis fetalis adalah 50 persen. Setelah ditemukan metode transfusi darah pada 1945, tingkat kematiannya menurun sampai ke angka 25 persen. Ditambah lagi dengan penemuan intravascular transfusion (IVT) dan instraperitoneal transfusion (IPT), tingkat kematian berkurang menjadi 16 persen. Luar biasa, bukan?

Setelah membahas mengenai penanganan saat bayi masih dalam kandungan, sekarang saya akan membahas mengenai penanganan saat bayi telah lahir.

Penanangan yang pertama adalah dengan menyuntikkan RhoGAM ke ibu sekitar 48-72 jam setelah melahirkan. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, obat ini berfungsi untuk mengurangi respon tubuh ibu dengan membuat antibody untuk melawan antigen anaknya sendiri. Dengan pemberian suntik RhoGAM ini, diharapkan antibody sang ibu terhadap rhesus anaknya kemudian tidak terlalu banyak, sehingga anak berikutnya tidak terkena eritroblastosis fetalis.

Sedangkan untuk sang bayi yang baru lahir, terkadang mereka masih membutuhkan alat Bantu pernafasan untuk membantu pernafasan mereka. Bayi juga diberi infus untuk menangani tekanan darah rendah dan kekurangan cairan. Ada juga sebagian bayi yang masih memerlukan transfusi darah dengan metode exchange transfusion. Darah bayi yang mengandung antibody RhD dan bilirubin digantikan dengan darah yang sehat. Pertukaran darah ini dilakukan sedikit demi sedikit agar tidak mengganggu sistem sirkulasi bayi secara langsung. Darah yang digunakan untuk transfusi adalah darah yang segar dan bersih, yang tentunya cocok dengan tubuh sang bayi itu sendiri.

Dari pembahasan saya diatas, dapat saya simpulkan bahwa eritroblastosis fetalis adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan, tapi dapat dilakukan pencegahan dan upaya untuk meminimalisir dampaknya.

Pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan pemeriksaan rhesus dan golongan darah sebelum memilih pasangan hidup. Hal ini untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya eritroblastosis fetalis. Jika kita sudah mengetahui terlebih dahulu, kita juga dapat mempersiapkan diri untuk prosedur-prosedur pencegahan berikutnya.

Selain itu, kita juga dapat mewaspadai gejala-gejala eritroblastosis dengan tes USG untuk melihat apakah bayi mengalami hidrops, atau dengan mengambil darah janin untuk memastikan golongan darah dan rhesus janin.

Upaya untuk menanggulangi dibagi menjadi dua, yaitu saat bayi di dalam kandungan dan saat bayi sudah dilahirkan.

Saat bayi di dalam kandungan, suntikan RhoGAM dapat diberikan kepada sang ibu untuk mencegah reaksi pembuatan antibody ibu yang dapat membahayakan nyawa sang anak. Transfusi darah ke janin juga dapat membantu memperbaiki sel darah yang rusak.

Saat bayi sudah dilahirkan, suntikan RhoGAM juga diberikan ke ibu sekitar 48-72 jam setelah melahirkan untuk mencegah pembentukan antibody terhadap antigen RhD, sehingga untuk kehamilan berikutnya tidak terlalu berbahaya. Pemberian alat bantu pernafasan, infus, dan pertukaran darah bayi dengan darah yang lebih sehat juga dilakukan untuk membantu bayi dalam proses penyembuhan dan untuk mengatasi kekurangan cairan dan tekanan darah rendah.

Demikian ulasan saya mengenai eritroblastosis fetalis. Semoga dapat berguna dan dapat menambah pengetahuan seputar kesehatan dan tubuh kita sendiri. Salam!

Daftar Pustaka

Diakses pada 15 November 2017

https://en.m.wikipedia.org

Diakses pada 19 November

tazolip.wordpress.com

Diakses pada 23 November

Klinikherbaldunia.com 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun