Bonus demografi merupakan suatu fenomena di mana suatu regional memiliki rasio penduduk dengan usia produktif (15-64 tahun) yang lebih tinggi dibandingkan penduduk non-produktif. Bonus demografi ditandai dengan tingkat fertilitas yang rendah serta dibarengi tingkat mortalitas yang tinggi. Selama masa puncaknya, yaitu tahun 2020-2035, Indonesia sepatutnya dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk meningkatkan stabilitas negara melalui pemanfaatan sumber daya. Namun, mengingat acuhnya negeri dalam menyelesaikan isu negara yang beragam, yakinkah Indonesia dapat memanfaatkan momentum ini dengan sedemikian rupa?
Negara-negara di Asia Timur dan Singapura merupakan contoh yang sukses dalam optimalisasi momentum ini, dengan langkah yang diambil adalah investasi besar-besaran dalam sumber daya manusia (SDM). Dengan kata lain, luaran dari bonus demografi hanya dapat berbuah dengan baik apabila negara tersebut dapat memaksimalkan kualitas manusianya. Mengingat faktor keberhasilan tersebut, sulit bagi Indonesia itu sendiri untuk menyelesaikan isu negara lalu memanfaatkan bonus demografi ini dalam waktu singkat. Banyak sekali prasyarat yang harus dipenuhi dalam meningkatkan kualitas SDM secara signifikan.
Kurikulum Pendidikan yang Mengayomi Pengembangan SDM
Pendidikan dianggap sebagai salah satu alat terpenting dalam mendongkrak kualitas generasi muda. Maka, pendidikan yang membangun adalah metode yang dapat diterima dan diterapkan dengan baik oleh para stakeholder, seperti tenaga pengajar dan pelajar. Namun, perombakan kurikulum --- dalam rangka penyempurnaan sistem pendidikan --- sebanyak 3 kali berturut-turut dalam satu dekade justru tidak membantu untuk meningkatkan kualitas sumber daya itu sendiri. Bahkan, dalam PISA 2022, skor siswa-siswi Indonesia dalam segi matematika, literasi, dan sains masih jauh di bawah rata-rata, dengan peringkat 69 dari 80 negara.Â
A. Yandri (2023) dalam laman Direktorat Guru Pendidikan Dasar menyatakan bahwa perubahan dalam kurikulum perlu untuk dilakukan secara berkala dalam memperbaiki mutu pendidikan generasi muda, diikuti dengan kondusifnya keberlangsungan pendidikan itu sendiri. Namun, kenyataannya prinsip ini akan sulit untuk diterapkan sesuai harapan karena sejatinya hasil dari suatu perubahan baru akan terlihat setelah proses adaptasi. Apabila sistem pendidikan hanya terus mengedepankan program baru, maka pelaku pendidikan akan fokus untuk beradaptasi dan sulit untuk memenuhi ekspektasi dari program kerja yang dituju.
Kualitas Tenaga Kerja di IndonesiaÂ
Selain pendidikan, tenaga kerja juga menjadi penentu utama dalam pemanfaatan bonus demografi. Tenaga kerja berperan cukup signifikan dalam penimbangan produktivitas kerja di suatu negara, serta sebagai faktor utama dalam meningkatkan perekonomian negara. Namun, penelitian Maulana (2023) menunjukkan ketidakstabilan produktivitas tenaga kerja yang condong pada  penurunan dalam beberapa dekade terakhir, yang dikhawatirkan akan terus berlanjut apabila tidak ada upaya penanggulangan lebih lanjut.
Mengingat prominen dari teknologi dalam periode tersebut, maka sumber daya manusia juga harus beradaptasi agar dapat mengikuti pasar yang dibutuhkan dalam tenaga kerja. Sayangnya, Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) di tahun 2021 menyatakan mayoritas penduduk usia produktif bekerja di sektor agraris (baca: petani) dan hanya menamatkan pendidikan di sekolah dasar, bahkan tidak sempat menyelesaikan pendidikannya. Penduduk yang rentan tersebut dikhawatirkan tidak memiliki pengetahuan yang memadai untuk mengikuti perkembangan teknologi, terlebih jika tidak ada fasilitas lebih lanjut untuk mengejar ketertinggalan ini.
Kesetaraan Gender dalam Bidang Ketenagakerjaan
Secara tidak langsung, partisipasi perempuan dalam dunia kerja menjadi penting untuk pemberdayaan gender di masa depan serta meningkatkan angkatan kerja. Hal ini mencakup kesetaraan kesempatan yang didapatkan oleh wanita dengan pria, seperti persentase antara jumlah pria dan wanita di suatu instansi, hak-hak wanita dalam bekerja, dan lain sebagainya. Di negara-negara yang sukses memanfaatkan bonus demografi, seperti negara Asia Timur, partisipasi wanita sebagai tenaga kerja mencapai angka 60% per tahun 2022, sedangkan Indonesia masih berada di kisaran 50%.
Tantangan yang dihadapi saat ini sangat menentukan hasil dari bonus demografi kita. Untuk itu, perlunya metode-metode yang dapat memitigasi dampak buruk yang muncul untuk memaksimalkan potensi di masa depan. Dalam hal ini, tidak ada yang berupaya secara sepihak, dalam artian pemerintah dan rakyat harus bekerja sama dalam mengupayakan implikasi yang terbaik.
Peningkatan Sumber Daya Manusia yang 'Melek' Perkembangan
Mengatasi permasalahan pada sumber daya manusia tentu membutuhkan pendidikan yang memadai. Namun, hal ini tentu akan sulit untuk diimplementasikan pada sebagian besar penduduk bonus demografi yang sudah memasuki usia bekerja, apalagi dengan keadaan birokrasi pendidikan yang masih belum bisa inklusif terhadap semua kalangan. Oleh karena itu, perlunya solusi yang lebih fokus pada hasil dalam jangka pendek, yaitu sosialisasi dan pelatihan yang berorientasi pada keahlian masyarakat. Untuk menyempurnakan sosialisasi, hal ini juga dapat diikuti dengan inovasi teknologi yang memadai di sektor-sektor (common) di Indonesia, seperti bidang agraris dan industri.Â
Penyediaan Ragam Lapangan Kerja
Keragaman lapangan kerja yang terbentuk melalui perkembangan zaman sangatlah penting sebagai penentu jumlah kontribusi masyarakat dalam pembangunan ekonomi. Dalam hal ini, pemerintah berperan besar dalam mengembangkan dan mendukung program lapangan kerja yang ada, seperti kemudahan akses untuk UMKM, serta program pelatihan yang diciptakan untuk meningkatkan keterampilan pekerja. Ragam lapangan kerja juga akan lebih komplit dengan adanya peraturan pemerintah yang berpihak dengan baik kepada para pekerja ataupun perintis usaha, dengan kata lain tidak menyulitkan dalam hal akses maupun iklim kerja.
Pemberdayaan Perempuan sebagai Tenaga Kerja
Partisipasi perempuan masih belum menunjukkan angka yang memuaskan per periode sekarang. Meski sudah banyak perempuan yang mulai berkecimpung di dunia pekerjaan, hal ini masih dianggap "tidak biasa" mengingat disparitas yang ada antara laki-laki dan perempuan. Seringkali, lingkup yang dikuasai oleh wanita juga berupa sektor pekerjaan informal dan masih kesulitan untuk menguasai di bidang spesialis, diiringi dengan diskriminasi terhadap kemampuan wanita itu sendiri. Untuk meningkatkan partisipasi wanita pula, tidak cukup apabila hanya menyediakan kuota lebih. Regulasi mengenai kesejahteraan dan hak-hak yang seharusnya didapatkan wanita, seperti cuti haid dan cuti melahirkan yang layak, adalah prasyarat agar wanita dapat merasa aman dan nyaman dalam berpartisipasi.Â
Upaya ini dapat dilaksanakan dengan harapan mengurangi permasalahan yang tengah ada. Adapun solusi jangka panjang juga harus dilakukan agar dapat mempersiapkan era mendatang dengan lebih baik. Harapannya agar Indonesia dapat memanfaatkan bonus demografi yang singkat ini dengan cukup baik, sebagai suatu momentum yang menentukan keberlangsungan negeri ke depannya.Â
Penulis: Carin Ongwinata (Mahasiswi S1 Psikologi Universitas Airlangga)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H