Mohon tunggu...
Sofistika Carevy Ediwindra
Sofistika Carevy Ediwindra Mohon Tunggu... -

Seseorang tiada bermakna tanpa cita dan cinta. Wujudkan mereka dalam suatu aksi selaras dan sinergis dalam hidup

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Menafsiri Salah Pilih

18 Januari 2016   19:39 Diperbarui: 18 Januari 2016   19:54 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah Pilih merupakan sebuah novel karya Nur Sutan Iskandar diterbitkan kali pertama tahun 1928 oleh Balai Pustaka. Salah Pilih menjadi potret kehidupan di daerah Maninjau, Sumatera Barat, khususnya dalam perikehidupan seputar pernikahan. Bagaimana halnya jika menikah tanpa dasar untuk saling membangun dan menguatkan pernikahan? Bagaimana jika menikah dengan bayang-bayang semata soal penguasaan akan rumah dan harta? Bagaimana jika pernikahan bukan berbuah cinta, bukan tenang, tanpa hormat dan tanpa harga menghargai? Bagaimana jika menikah kita salah pilih?

Cerita dimulakan dengan penggambaran kondisi rumah gedang, rumah di mana para tokoh dipertuturkan.Terdapat tokoh utama dalam Salah Pilih yakni Asri, Asnah, Ibu Mariati (ibunda Asri), dan Saniah. Ibu Mariati tinggal bersama Asnah, anak angkat sesuku yang diasuhnya sejak bayi dan Sitti Maliah, adiknya. Ibu Mariati memiliki seorang anak lelaki yang sudah di ujung sekolahnya di Batavia, sekolah kedokteran, Asri namanya. Asnah merupakan gadis yang periang, lembut, sangat penyayang, lagi pandai mengurus rumah. Ia dicintai oleh seisi rumah gedang dan masyarakat di sekitarnya. Asri, anak kandung Ibu Mariati, ialah lelaki yang terpelajar, modern, baik hati, ramah dan berbakti. Baik Asri dan Asnah saling menyayangi laiknya kakak beradik. Namun, di sedalam lubuk hati Asnah yang meremaja, ia sejatinya memendam rasa sebagai wanita kepada pria terhadap diri Asri. Ia mencintai Asri. Akan tetapi tentu, hal itu ditutupnya rapat terlebih dari Asri, yang menganggapnya selama ini hanya sebagai saudari saja.

Ibu Mariati berada dalam keadaan yang berpenyakit tua dan kian parah dari hari ke hari. Dalam pikirnya, ia menginginkan anaknya untuk pulang dan menikah agar senantiasa dekat dengannya di hari tuanya. Keinginannya disampaikan pada sang anak semata wayang, Asri. Demi pahamnya Bu Mariati akan karakter Asri, dibebaskannyalah Asri untuk memilih sesiapa wanita yang menjadi pilihan hidupnya. Memilih dengan siapa menikah merupakan hal yang kurang umum di Maninjau manakala semua pemuda pemudi, orang tuanyalah yang memilihkan pasangan untuk anak. Asri dengan baktinya memahami keinginan hati sang Ibu. Disambutlah dengan sukarela permintaan untuk menikah tersebut. Asri seorang yang terbuka dan luas pemikirannya. Ia ingin menikahi sesiapa yang dipilihnya. Ia sendiri yang akan menghidupi istrinya kelak, bukan seperti adat di Maninjau yang mana lelaki ditanggung sepenuhnya oleh perempuan. Untuk hal pernikahan, perempuanlah yang melamar. Pus setelah menikah, lelaki tak perlu bekerja. Sedang sepenuhnya harta, kuasa dan keputusan ada pada wanita. Namun jikakan keduanya bercerai, maka sang lelaki tak ada dapat sehelai kain pun juga untuknya.

“Saniah, sebagai telah kukatakan kepadamu, engkau hendak kuperjodohkan. Dan niat itu sampai sudah, yakni engkau telah bertunangan dengan Asri, yang kebetulan telah diangkat jadi klerk di kantor Maninjau. Syukur! Akan tetapi, awas, Saniah! Pengajaranku kepadamu jangan kau lupakan. Bertunangan artinya mngadu basa-basi antara pihak si laki-laki dengan pihak si perempuan. Atau disebut juga dengan ‘mengadu ujung penjahit’. Awas, jangan engkau kalah dalam menjalankan jarummu!” kata Rangkayo Saleah, Ibunda Saniah pada Saniah.

Singkat cerita, Asri memilih Sainah. Di antara sekian gadis terpandang di Maninjau, Saniah yang dipandangnya sudah terpelajar, cantik, ningrat pula. Asri menaruh harapan besar pada Saniah agar dapat menyayangi ibunya, Asnah, Makcik Liah, dan orang-orang di sekitarnya. Asri juga sangat ingin agar Saniah istrinya berperangai seperti Asnah, adik yang selalu menjadi tempat Asri mencurahkan pikiran, keluh dan citanya, gadis yang ramah lagi penyayang dan pandai mengurus rumah.

Akan tetapi, malang didapat oleh Asri. Saniah yang semula nampak manis pada masa pertunangan, didapatkannya justru berkarakter sebaliknya. Saniah merupakan didikan ibundanya yang ningrat. Ia sangat meninggikan derajat kebangsawanannya dan memandang rendah orang lain. Tak pernah ia bertatap dengan masyarakat sekitar, pun dengan keluarga Asri ia mengambil jarak yang jauh. Saniah juga sangat membenci Asnah, dianggapnya Asnah menghalangi kekuasaannya di rumah gedang, rumah suaminya itu.

Nasi telah menjadi bubur. Asri yang terpikat dengan sikap kemalu-maluan Saniah saat masa pertunangan dan kunjungan keluarga, kini tak habis pikir. Sudah diupayakannya segala cara dari lembut hingga keras untuk mencoba mengubah istrinya. Nihil didapatnya.

Sementara itu, Asnah yang telah menelan pil pahit karena Asri, kakak angkat sekaligus lelaki yang dicintainya menikah, harus kembali menelan pahit yang lebih karena ia melihat Asri tak bahagia dan ceria seperti sebelumnya. Asnah meski dicaci dan dihina sedemikian rupa oleh Saniah, ia tetap menganggap Saniah sebagai kakak iparnya dan berlaku baik padanya. Ia pun tetap mencintai Asri dan terus memendamnya tanpa berniat merusak hubungan Asri dan istrinya. Asnah suatu ketika dilamar oleh Hasan Basri, teman Asri. Demi diketahuinya Asnah dilamar, Asri menjadi ketakutan dan berharap Asnah menolak Hasan Basri. Saat itu, Asri mulai mendapat pikiran bahwa dirinya takut kehilangan Asnah bukan hanya takutnya kakak kehilangan adik. Dalam hal lamaran ini, Asnah menolak Hasan Basri. Asnah masih kukuh pada dirinya bahwa ia tidak bisa mencintai dan membersamai orang lain. Ia tak ingin melukai orang yang kelak mencintai dan menjadi pasangannya namun tak dicintainya.

Dalam kondisi ini, Ibu Mariati semakin parah kesehatannya. Menjelang ajalnya, ia berpesan pada Asri untuk menikahi Asnah. Menikah untuk kedua kalinya atau mencerai Saniah terlebih dahulu. Meski Ibu Mariati paham benar bahwa Asri berprinsip tidak menikah lebih dari seorang istri. Namun, naluri keibuannya menuntunnya untuk memahami Asri dan Asnah. Asri sengsara dengan pernikahannya dengan Saniah. Sedang Asri dan Asnah sejatinya saling mencintai namun urung mengungkapkan. Hal ini karena dalam pandang masyarakat, orang sesuku tak boleh menikah, meski agama Islam membolehkannya.

Wafatlah Ibu Mariati, ibunda Asri. Dalam kondisi tersebut, Asri melupakan apa yang dipesankan ibunya. Ia menyibukkan diri dengan bekerja agar ia pun tak dipusingkan dengan tingkah Saniah yang kian membuatnya jengah. Asri sosok suami yang bertanggung jawab. Segala kebutuhan dan permintaan Saniah dipenuhinya; perhiasan, kain yang bagus, alat kecantikan, semuanya. Ia pun tak pernah sekalinya mengancam mentalak istrinya. Namun Saniah tak pernah berpuas hati. Setelah ia berhasil membuat Asnah pergi dari rumah gedang, ia tak jua berhenti merengek dan tak sadar untuk berbaik hati kepada suaminya. Ia bahkan sering pulang ke rumah orang tuanya tanpa izin suaminya dan membeberkan apa yang dirasanya menjadi kekurangan suaminya dan rumah gedang pada ibundanya.

Suatu hari, Saniah diminta ibundanya untuk ikut serta ke Medan. Tanpa sepengetahuan Asri, pergilah Saniah. Ia, ibundanya, pembantu lelaki dan seorang sopir menaiki otto menuju Medan. Tiba-tiba, otto melaju sangat kencang di turunan dan jatuh terperosok terjungkal ke sawah. Sopir dan pembantu Saniah selamat, hanya luka ringan. Naasnya, ibunda Saniah wafat di tempat. Saniah kritis kondisinya. Kabar tersebut sampai ke telinga Asri dan langsung ditujunya rumah sakit tempat Saniah berada. Tak lama sesampainya Asri, Saniah meninggal.

Asri terpukul atas meninggalnya istrinya meski orang-orang sekitar banyak yang menganggap lega atas kepergian Saniah dari sekitar mereka selamanya. Asri mengembalikan semua harta yang dimiliki Saniah ke keluarga Saniah. Tindakan Asri banyak dikecam warga dikarenakan hal tersebut tidak pernah terjadi di sana. Harta mendiang pasangan mestilah jatuh ke pasangan yang masih hidup. Asri bertolak dari hal tersebut. Dengan diberikannya harta peninggalan istrinya ke keluarga, diputuskannyalah hubungan pernikahan Asri dan Saniah.

Dalam masa berkabung, Asri banyak mendapat tawaran untuk menikah. Semua ditolaknya. Dalam masa perenungannya, ia semakin yakin bahwa dirinya harus menikahi Asnah untuk mendapat apa yang dicitakannya dalam pernikahan; ketenangan, dukungan, dan semangat dalam hidup. Islam tak melarang menikah dengan orang sesuku.

“Orang kita belum berdiri tegak dengan yakin di atas agama Islam, belum berpegang teguh pada ajaran agama Tuhan itu. Tandanya, Engku sendiri pun masih menguatkan tafsiran pepatah adat lama, yang telah usang atau lapuk. Padahal menurut pepatah adat sekarang, yaitu sejak agama dipelajari baik-baik, bukan syarak yang bersendi adat, melainkan adat itulah yang bersendikan kepada syarak dan syarak itu tetap bersendi Kitabullah,” ungkap Asri pada telangkai (utusan) yang meminta Asri menikah dengan anak gadisnya.

Asri memahami bahwa ia tak mungkin menikah di Maninjau. Asri pun menjemput Asnah di Kotabaru, tempat Asnah tinggal dengan Ibu Mariah, wanita yang kini merawat dan menjadi ibu angkat Asnah. Asri kemudian menikah dan bersama Asnah meniti hidup di tanah Jawa, jauh dari huru-hara di Maninjau, tempat kelahirannya.

Setahun setelah perjuangan Asri dan Asnah di Kota, mereka mendapatkan surat dari kampong halaman bahwa warga Maninjau mendesak Asri dan Asnah pulang. Mereka hendak menjadikan Asri sebagai kepala negeri (kepala desa) dan akan membersihkan nama keduanya. Demikianlah akhir kisah Salah Pilih. Asri dan Asnah kembali ke tanah kelahiran dengan kondisi terhormat dan menjadi pembelajaran bagi warga tentang perikehidupan dan adat.  

Melalui Salah Pilih kita belajar agar melandaskan hidup kita dengan seutuhnya agama Islam. Adat bukan menjadi landasan utama hidup, melainkan adat semestinya bersandar pada syariat Islam. Soal pernikahan, hendaknya memilih pasangan bukan dengan pandang akan keturunan dan kekayaan semata. Melainkan aspek agama, keluhuran budi, dan keselarasan pandang soal tujuan pernikahan. Bahwa pernikahan semestinya membawa ketenangan, kebaikan, dan berlandaskan pada agama yang luhur. Menafsiri Salah Pilih jua kita diajak untuk lebih bijak dalam hidup, lebih besar dan luas hati dan pikir dalam sikap serta bersih pandang dan laku.

 

http://sofistikacarevy.com/menafsiri-salah-pilih/

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun