(Peringatan! Ini tulisan idealistik. Bagi kalian realis-pesimis yang allergi, jangan lanjutkan membaca karena kalian bisa sakit)Â
Waktu menunjukkan jam 4 sore dan telihat barisan depan saya itu begitu padat. Terlihat jelas di beberapa wajah yang cukup asing dengan panas, debu, keramaian, tapi bersemangat dan tetap kukuh mempertahankan barisan. Satu tujuan, satu komando dan satu arah.Â
Pulangnya mungkin beberapa dari kami tidak tahu apa yang bisa jadi masalah kami. Ada yang sudah mendapat surat peringatan kedua, dan satu surat peringatan lagi mungkin adalah ujung terakhir pertahanan.Â
Namun, jika demokrasi suara rakyat, bukankah denyut nadi dan keringat kami adalah juga? Kata-kata yang kami tuliskan dan aktualisasikan adalah realisasi dari pemikiran pagi hingga senja kami terhadap masa depan bangsa.Â
Muda? memang benar. Barisan kami adalah barisan berumur 19 hingga 23 tahun. Belum bekerja, dan orang tua kami juga bekerja sama seperti orang tua kalian, pengusaha, politisi, dosen, ilmuwan, kontraktor, aparat negara, dan mungkin beberapa kategori lain yang bisa kalian jabarkan sendiri.Â
Banyak yang menyalahartikan kami sebagai generasi yang cuek: kalau kami bukan anak senja, yang kerjanya clubbing ya kami anak kosan yang antara belajar atau berjam-jam belajar. Kalian bisa temukan kami di kios kopi terkeren atau yang berada di ujung-ujung jalan, belajar, bergaul, bercerita, tersenyum atau memakai earphone fokus dengan laptop atau tugas dan kerjaan yang sedang kami coba selesaikan.Â
Atau tulisan tentang demokrasi yang kami akan curahkan lewat tulisan, retorik berapi-api atas kertas kertas A4 dan A2 yang dibentangkan di antara opini kebangsaan lain. Beberapa dari kami juga sempat berpidato api-api.Â
Dulunya mungkin hanya beberapa saja orang yang mampu berpidato, dan biasanya mereka menjadi pemimpin bangsa seperti Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, George Washington, Napoleon, dan lain sebagainya. Tapi hari ini, melihat jumlah mereka banyak diatas podium, saya yakin banyak pemimpin muda akan kelak lahir.
Idealisme adalah motor kami di tengah dunia yang mulai realis dimana uang adalah penggerak kesejahteraan, pertemanan adalah sarana membangun jaringan demi masa depan dan mulai sarat ketulusan.Â
Seiring umur menua, banyak dari kami yang direkam sejarah mulai hanyut dibawa kesejahteraan keamanan, dinginnya ruangan berac, kopi seduhan mahal di pagi hari dan makan malam di gedung tertinggi ibukota.Â
Atau mungkin mulai melupakan kenaifan, berusaha sempurna dan terjebak dalam klise kalau sempurna adalah kesementaraan. Menertawakan masa kecil, yang bercita-cita menjadi astronot, dokter, hakim, pengacara, pilot sembari tersenyum sinis kalau semua itu hanya terbatas pada mimpi.Â