Mohon tunggu...
Cantika Sindy Aliya Putri
Cantika Sindy Aliya Putri Mohon Tunggu... Lainnya - Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Halo, semuanya!. Terima kasih sudah mampir membaca. Saya Cantika, kerap dipanggil Tika merupakan pribadi yang gemar sekali membaca sekaligus menganalisis hal-hal baru yang ada di kehidupan. Hope y’all enjoy my article dan semoga bermanfaat!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

PR Mendesak Pemimpin Baru Indonesia: Fenomena Pekerja Anak di Tengah Peluang Bonus Demografi

28 Oktober 2024   17:37 Diperbarui: 12 November 2024   00:18 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Cantika Sindy Aliya Putri

Dari distribusi usia, mayoritas pekerja anak berada pada kelompok usia 5 hingga 12 tahun dengan jumlah mencapai 539 ribu anak. Sementara itu, kelompok usia 13 hingga 14 tahun berjumlah 162 ribu anak dan 305 ribu anak berada di kelompok usia 15 hingga 17 tahun. Ketika melihat dari aspek pendidikan, sebanyak 676 ribu pekerja anak masih terdaftar di sekolah, namun 318 ribu lainnya telah meninggalkan bangku pendidikan dan 11 ribu anak bahkan tidak atau belum pernah bersekolah sama sekali. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk meningkatkan akses pendidikan, kenyataannya masih banyak anak-anak yang terpaksa bekerja untuk membantu ekonomi keluarga mereka.

Dalam rentang tahun 2019 hingga 2023, persentase anak usia 10-17 tahun yang bekerja terus mengalami fluktuasi. Pada 2019, data mencatat bahwa 2,35% anak usia 10-17 tahun di Indonesia bekerja, dan angka ini meningkat tajam menjadi 3,25% pada 2020. Meski mengalami sedikit penurunan dalam beberapa tahun berikutnya, pada 2023 persentase tersebut masih mencapai 2,39%, yang menandakan bahwa masalah ini belum terselesaikan sepenuhnya. Tingginya angka tersebut memunculkan pertanyaan mengenai efektivitas upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi pekerja anak, serta tantangan-tantangan yang mungkin dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat dalam menekan angka ini secara signifikan

Jika dilihat dari jenis kelamin, persentase anak laki-laki yang bekerja terus-menerus lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan. Fakta ini mengindikasikan adanya ketimpangan gender yang kemungkinan berkaitan dengan jenis-jenis pekerjaan yang lebih sering diambil oleh anak laki-laki. Hal ini bisa mencerminkan pilihan pekerjaan atau tekanan ekonomi yang berbeda antar gender, serta kebiasaan sosial dan budaya tertentu yang memengaruhi keputusan keluarga terkait peran anak laki-laki dan perempuan dalam membantu perekonomian keluarga.

Pekerja Anak: Sulawesi Barat dalam Sorotan

Konsentrasi pekerja anak di Indonesia sangat terasa di beberapa wilayah, terutama di Sulawesi Barat, yang mencatat angka tertinggi pada tahun 2023. Di provinsi ini, fenomena pekerja anak sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial dan ekonomi. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa persentase pekerja anak di Sulawesi Barat mencapai 5,61%, dengan sekitar 5 dari 100 anak terpaksa terlibat dalam pekerjaan. Angka ini mencerminkan realitas pahit yang dihadapi banyak keluarga.

Tingginya angka pekerja anak sejalan dengan rendahnya produk domestik bruto (PDRB), yang tercatat sebesar Rp 35.426,01 miliar pada tahun 2023, menjadikannya berada di urutan ke-32 dari 34 provinsi. PDRB yang rendah ini berdampak langsung pada tingkat kesejahteraan masyarakat, di mana banyak keluarga bergantung pada pendapatan anak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain itu, pada bulan Maret 2023, Sulawesi Barat memiliki persentase penduduk miskin tertinggi ke-11 dari 34 provinsi, mencapai 11,49%. Ini menunjukkan adanya tekanan ekonomi yang signifikan di kalangan masyarakat.

Rata-rata lama sekolah di Sulawesi Barat berada di urutan ke-8 terendah, dengan angka 8,13 tahun, menandakan akses pendidikan yang masih terbatas. Hal ini berdampak pada peluang anak-anak untuk mengembangkan diri secara optimal. Persentase penduduk berusia 10 tahun ke atas yang tidak atau belum pernah bersekolah menunjukkan angka mengkhawatirkan, berkisar antara 4,95% hingga 5,35% selama periode 2019 hingga 2023. Keterbatasan dalam pendidikan ini menciptakan siklus di mana anak-anak terpaksa meninggalkan bangku sekolah dan bergabung ke dunia kerja, menghambat potensi mereka untuk berkontribusi secara produktif di masa depan.

Nilai Angka Partisipasi Sekolah (APS) untuk kelompok umur di Sulawesi Barat menunjukkan peningkatan yang konsisten, terutama pasca-pandemi COVID-19, di mana anak-anak yang sebelumnya tidak dapat mengakses pendidikan kini berusaha kembali ke sekolah. Namun, meskipun akses pendidikan meningkat, tetap ada anak-anak yang terjebak dalam pekerjaan, sering kali di sektor informal yang tidak terdaftar.

Di samping itu, faktor kesehatan juga berperan penting dalam situasi ini. Persentase rumah tangga yang tidak memiliki akses air bersih di Sulawesi Barat pada tahun 2021 tercatat sebesar 31%. Meskipun angka ini menurun sebesar 10,1% pada tahun 2022, pada tahun 2023 justru meningkat lagi menjadi 28,9%. Keterbatasan akses terhadap air bersih dapat memengaruhi kesehatan anak-anak, yang pada gilirannya berpotensi meningkatkan kerentanan mereka terhadap pekerja anak.

Daya beli masyarakat juga berkontribusi terhadap fenomena ini. Harga kalori rata-rata (ACP) telur di Sulawesi Barat menunjukkan peningkatan yang signifikan dari tahun 2019 hingga 2023. Pada tahun 2019, harga ACP telur tercatat sebesar Rp 3.300 per kalori, meningkat menjadi Rp 3.600 pada tahun 2020, Rp 4.000 pada tahun 2021, dan melonjak tajam menjadi Rp 19.300 pada tahun 2022, serta mencapai Rp 21.500 pada tahun 2023. Kenaikan harga ini dapat menambah beban ekonomi keluarga, memaksa anak-anak untuk bekerja demi membantu memenuhi kebutuhan pangan.

Faktor lain yang berkontribusi terhadap masalah ini adalah stigma sosial dan kurangnya kesadaran mengenai pentingnya pendidikan. Banyak orang tua masih beranggapan bahwa bekerja lebih penting daripada pendidikan, terutama dalam kondisi ekonomi yang sulit. Oleh karena itu, meskipun ada peningkatan dalam akses pendidikan, tidak ada jaminan bahwa anak-anak akan sepenuhnya dapat mengejar pendidikan mereka tanpa gangguan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun