Indonesia saat ini berada di ambang peluang besar, menghadapi fase bonus demografi yang menjanjikan. Dalam dekade-dekade mendatang, negara kita akan memiliki proporsi penduduk produktif yang tinggi, memberikan potensi untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Di tengah momentum ini, visi dan misi "Astacita" yang diusung oleh Presiden baru Indonesia Prabowo Subianto bersama Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, menggarisbawahi pentingnya pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas yang tercantum dalam misi nomor 4. Misi ini tidak hanya berfokus pada aspek pendidikan dan kesehatan, tetapi juga pada kesetaraan gender dan pemberdayaan pemuda serta penyandang disabilitas. Namun, di balik harapan ini, masih terdapat tantangan besar yang perlu diatasi, yaitu fenomena pekerja anak yang terus membayangi perjalanan menuju Indonesia Emas 2045.
Meskipun upaya untuk meningkatkan akses pendidikan telah dilakukan, kenyataannya masih banyak anak-anak yang terpaksa meninggalkan bangku sekolah untuk bekerja demi membantu perekonomian keluarga. Persoalan pekerja anak di Indonesia semakin mendesak untuk segera dituntaskan, terutama di tengah fase bonus demografi yang dihadapi negara kita. Dengan proporsi penduduk usia produktif yang meningkat, keberhasilan dalam mempersiapkan generasi muda untuk menjadi tenaga kerja yang produktif dan berkualitas tinggi dapat memberikan dorongan signifikan bagi pertumbuhan ekonomi. Namun, jika tantangan ini tidak diatasi, Indonesia berisiko menghadapi peningkatan angka ketergantungan penduduk setelah tahun 2041, yang dapat menghambat upaya pembangunan dan kesejahteraan nasional.
Situasi ini menuntut perhatian serius dari pemimpin baru bangsa. Dalam konteks misi mereka untuk memperkuat pembangunan sumber daya manusia, sangat penting bagi mereka untuk fokus pada pengurangan angka pekerja anak. Mengatasi pekerja anak bukan hanya sekadar tanggung jawab moral tetapi juga investasi jangka panjang untuk masa depan Indonesia. Isu ini bukan hanya masalah sosial tetapi juga ancaman terhadap visi besar Indonesia Emas 2045.
Pekerja Anak: Ancaman bagi Pembangunan Sumber Daya Manusia
Pekerja anak merujuk pada anak-anak yang terlibat dalam pekerjaan yang tidak sesuai dengan usia mereka yang dapat menghambat perkembangan fisik, mental, dan emosional. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pekerja anak didefinisikan berdasarkan kriteria tertentu: anak berusia 5 hingga 12 tahun yang bekerja tanpa mempertimbangkan jam kerja, anak berusia 13 hingga 14 tahun yang bekerja lebih dari 15 jam per minggu dan anak berusia 15 hingga 17 tahun yang bekerja lebih dari 40 jam per minggu. Kementerian Ketenagakerjaan membedakan antara pekerja anak dan anak yang bekerja. Pekerja anak merujuk pada anak-anak yang terlibat dalam pekerjaan yang membahayakan, mengganggu pendidikan, atau melanggar batas usia dan jam kerja yang diizinkan. Sementara itu, anak yang bekerja biasanya terlibat dalam pekerjaan ringan dan terkendali yang tidak mengganggu pendidikan atau kesehatan mereka, seperti membantu bisnis keluarga dengan batasan jam kerja yang jelas.
Dampak dari pekerja anak sangat serius, terutama terhadap pembangunan sumber daya manusia (SDM) di Indonesia. Ketika anak-anak dipaksa untuk bekerja, mereka cenderung meninggalkan pendidikan formal, yang pada gilirannya mengurangi keterampilan dan pengetahuan yang mereka butuhkan untuk berkontribusi secara produktif di masa depan. Hal ini menciptakan siklus kemiskinan yang sulit diputus, di mana generasi berikutnya juga mungkin terjebak dalam kondisi yang sama.
Selain itu, pekerja anak seringkali dihadapkan pada kondisi kerja yang tidak aman dan kurangnya perlindungan hukum, yang dapat berpotensi mengakibatkan masalah kesehatan jangka panjang. Ketidakmampuan untuk mengakses pendidikan berkualitas membuat mereka sulit bersaing di pasar tenaga kerja, sehingga merugikan perekonomian secara keseluruhan.
Potret Pekerja Anak Terkini
Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, merilis data jumlah pekerja anak pada tahun 2023 mencapai 1,01 juta anak yang mencakup 1,72% dari total anak usia 5 hingga 17 tahun. Meskipun terjadi penurunan sebesar 3,8% dibandingkan tahun 2022, yang mencatatkan 1,05 juta pekerja anak, jumlah ini masih menunjukkan masalah yang signifikan dalam pembangunan sumber daya manusia di Indonesia.
Dari distribusi usia, mayoritas pekerja anak berada pada kelompok usia 5 hingga 12 tahun dengan jumlah mencapai 539 ribu anak. Sementara itu, kelompok usia 13 hingga 14 tahun berjumlah 162 ribu anak dan 305 ribu anak berada di kelompok usia 15 hingga 17 tahun. Ketika melihat dari aspek pendidikan, sebanyak 676 ribu pekerja anak masih terdaftar di sekolah, namun 318 ribu lainnya telah meninggalkan bangku pendidikan dan 11 ribu anak bahkan tidak atau belum pernah bersekolah sama sekali. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk meningkatkan akses pendidikan, kenyataannya masih banyak anak-anak yang terpaksa bekerja untuk membantu ekonomi keluarga mereka.
Dalam rentang tahun 2019 hingga 2023, persentase anak usia 10-17 tahun yang bekerja terus mengalami fluktuasi. Pada 2019, data mencatat bahwa 2,35% anak usia 10-17 tahun di Indonesia bekerja, dan angka ini meningkat tajam menjadi 3,25% pada 2020. Meski mengalami sedikit penurunan dalam beberapa tahun berikutnya, pada 2023 persentase tersebut masih mencapai 2,39%, yang menandakan bahwa masalah ini belum terselesaikan sepenuhnya. Tingginya angka tersebut memunculkan pertanyaan mengenai efektivitas upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi pekerja anak, serta tantangan-tantangan yang mungkin dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat dalam menekan angka ini secara signifikan
Jika dilihat dari jenis kelamin, persentase anak laki-laki yang bekerja terus-menerus lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan. Fakta ini mengindikasikan adanya ketimpangan gender yang kemungkinan berkaitan dengan jenis-jenis pekerjaan yang lebih sering diambil oleh anak laki-laki. Hal ini bisa mencerminkan pilihan pekerjaan atau tekanan ekonomi yang berbeda antar gender, serta kebiasaan sosial dan budaya tertentu yang memengaruhi keputusan keluarga terkait peran anak laki-laki dan perempuan dalam membantu perekonomian keluarga.
Pekerja Anak: Sulawesi Barat dalam Sorotan
Konsentrasi pekerja anak di Indonesia sangat terasa di beberapa wilayah, terutama di Sulawesi Barat, yang mencatat angka tertinggi pada tahun 2023. Di provinsi ini, fenomena pekerja anak sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial dan ekonomi. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa persentase pekerja anak di Sulawesi Barat mencapai 5,61%, dengan sekitar 5 dari 100 anak terpaksa terlibat dalam pekerjaan. Angka ini mencerminkan realitas pahit yang dihadapi banyak keluarga.
Tingginya angka pekerja anak sejalan dengan rendahnya produk domestik bruto (PDRB), yang tercatat sebesar Rp 35.426,01 miliar pada tahun 2023, menjadikannya berada di urutan ke-32 dari 34 provinsi. PDRB yang rendah ini berdampak langsung pada tingkat kesejahteraan masyarakat, di mana banyak keluarga bergantung pada pendapatan anak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain itu, pada bulan Maret 2023, Sulawesi Barat memiliki persentase penduduk miskin tertinggi ke-11 dari 34 provinsi, mencapai 11,49%. Ini menunjukkan adanya tekanan ekonomi yang signifikan di kalangan masyarakat.
Rata-rata lama sekolah di Sulawesi Barat berada di urutan ke-8 terendah, dengan angka 8,13 tahun, menandakan akses pendidikan yang masih terbatas. Hal ini berdampak pada peluang anak-anak untuk mengembangkan diri secara optimal. Persentase penduduk berusia 10 tahun ke atas yang tidak atau belum pernah bersekolah menunjukkan angka mengkhawatirkan, berkisar antara 4,95% hingga 5,35% selama periode 2019 hingga 2023. Keterbatasan dalam pendidikan ini menciptakan siklus di mana anak-anak terpaksa meninggalkan bangku sekolah dan bergabung ke dunia kerja, menghambat potensi mereka untuk berkontribusi secara produktif di masa depan.
Nilai Angka Partisipasi Sekolah (APS) untuk kelompok umur di Sulawesi Barat menunjukkan peningkatan yang konsisten, terutama pasca-pandemi COVID-19, di mana anak-anak yang sebelumnya tidak dapat mengakses pendidikan kini berusaha kembali ke sekolah. Namun, meskipun akses pendidikan meningkat, tetap ada anak-anak yang terjebak dalam pekerjaan, sering kali di sektor informal yang tidak terdaftar.
Di samping itu, faktor kesehatan juga berperan penting dalam situasi ini. Persentase rumah tangga yang tidak memiliki akses air bersih di Sulawesi Barat pada tahun 2021 tercatat sebesar 31%. Meskipun angka ini menurun sebesar 10,1% pada tahun 2022, pada tahun 2023 justru meningkat lagi menjadi 28,9%. Keterbatasan akses terhadap air bersih dapat memengaruhi kesehatan anak-anak, yang pada gilirannya berpotensi meningkatkan kerentanan mereka terhadap pekerja anak.
Daya beli masyarakat juga berkontribusi terhadap fenomena ini. Harga kalori rata-rata (ACP) telur di Sulawesi Barat menunjukkan peningkatan yang signifikan dari tahun 2019 hingga 2023. Pada tahun 2019, harga ACP telur tercatat sebesar Rp 3.300 per kalori, meningkat menjadi Rp 3.600 pada tahun 2020, Rp 4.000 pada tahun 2021, dan melonjak tajam menjadi Rp 19.300 pada tahun 2022, serta mencapai Rp 21.500 pada tahun 2023. Kenaikan harga ini dapat menambah beban ekonomi keluarga, memaksa anak-anak untuk bekerja demi membantu memenuhi kebutuhan pangan.
Faktor lain yang berkontribusi terhadap masalah ini adalah stigma sosial dan kurangnya kesadaran mengenai pentingnya pendidikan. Banyak orang tua masih beranggapan bahwa bekerja lebih penting daripada pendidikan, terutama dalam kondisi ekonomi yang sulit. Oleh karena itu, meskipun ada peningkatan dalam akses pendidikan, tidak ada jaminan bahwa anak-anak akan sepenuhnya dapat mengejar pendidikan mereka tanpa gangguan.
Memutus Mata Rantai Pekerja Anak
Salah satu langkah fundamental yang dilakukan pemerintah adalah mengadopsi Konvensi ILO No. 138 tentang Usia Minimum untuk Bekerja dan Konvensi No. 182 mengenai Bentuk Pekerja Anak yang Terburuk. Dengan menerapkan standar internasional ini, pemerintah dapat memberikan perlindungan yang lebih baik bagi anak-anak dari eksploitasi kerja. Sebagai bagian dari upaya ini, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan No. 3 Tahun 2008, yang memberikan pedoman untuk perlindungan anak. Selain itu, Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2021 berfungsi sebagai tindakan afirmatif untuk memberikan layanan khusus bagi anak yang memerlukan perlindungan. Langkah-langkah ini harus diperkuat dan disinergikan agar memberikan dampak yang signifikan dalam mengurangi jumlah pekerja anak.
Upaya pemerintah tidak bisa dilakukan sendirian; kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk LSM, sektor swasta, dan komunitas lokal, sangat diperlukan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) telah aktif membangun kemitraan dengan berbagai organisasi termasuk Save The Children untuk merancang program yang lebih efektif. Misalnya, program Desa/Kelurahan Ramah Perempuan dan Peduli Anak (D/KRPPA) bertujuan menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan anak-anak. Melalui kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA), pemerintah berkomitmen untuk menguatkan infrastruktur sosial yang melindungi hak-hak anak. Kerjasama dengan Kemenko PMK, Bappenas, dan Kemenaker juga penting dalam memperkuat upaya ini.
Peningkatan kesadaran masyarakat juga menjadi langkah penting. Kampanye yang menyoroti dampak negatif pekerja anak dan pentingnya pendidikan harus digalakkan, terutama di kalangan orang tua dan komunitas. Memberikan informasi dan pelatihan mengenai nilai pendidikan dan alternatif pekerjaan yang layak dapat membantu mengubah pandangan masyarakat tentang pendidikan dan pekerjaan anak.
Tanggung Jawab Mendesak Pemimpin Baru Indonesia
Pemimpin baru Indonesia kini dihadapkan pada misi krusial: memutus mata rantai pekerja anak yang sudah mengakar dalam masyarakat. Dalam upaya ini, mereka dituntut untuk tidak hanya melanjutkan kebijakan yang ada, tetapi juga mengintegrasikannya dengan pendekatan yang lebih inovatif untuk mencapai hasil yang lebih signifikan. Kunci sukses terletak pada kolaborasi yang erat antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan sektor swasta dalam menciptakan program yang efektif dan berkelanjutan.
Dengan meningkatkan kerjasama lintas sektor, pemimpin baru dapat mendorong kesadaran masyarakat tentang dampak negatif pekerja anak. Edukasi dan kampanye yang menekankan pentingnya pendidikan serta pengembangan potensi anak harus menjadi prioritas. Jika langkah-langkah ini dijalankan secara terpadu, Indonesia dapat membuka jalan bagi anak-anak untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman, jauh dari jeratan dunia kerja yang merugikan.
Tindakan segera untuk mengatasi fenomena pekerja anak di Indonesia sangatlah penting demi masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang. Dengan potensi besar dari fase bonus demografi, pemimpin baru harus berkomitmen untuk memutus mata rantai eksploitasi ini agar anak-anak dapat berkembang tanpa tekanan untuk bekerja. Melalui kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, serta peningkatan kesadaran akan pentingnya pendidikan, diharapkan kita dapat menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan pengembangan anak.
Harapan besar tersimpan pada langkah-langkah yang diambil saat ini, yang tidak hanya akan memberikan manfaat langsung bagi anak-anak, tetapi juga akan mendukung Indonesia dalam meraih visi Emas 2045. Dengan generasi muda yang berkualitas dan bebas dari eksploitasi, kita dapat mewujudkan masa depan yang lebih cerah, berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan nasional. Indonesia memiliki kesempatan emas untuk membangun fondasi yang kuat bagi kemajuan bangsa, asalkan kita semua berkomitmen untuk melindungi hak-hak anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H