Abstract
The role of Islamic Public Financial Institutions that manages Zakat, Infaq and Shodaqoh (ZIS) and Waqfin the welfare of the Indonesian people not optimal, whereas the potential ZIS and Waqfis possible execution.
This article discuss about the role of Waqf in the empowerment of Micro, Small and Medium Entreprises (MSMEs). MSMEs can become a power in poverty alleviation, job creation and a force in improving the family income. Waqf Management Institutions can empower MSMEs through micro-financing and business assistance. Strategic stepsto do are to provide capital investment and working capital, providing training and skills improvement, business consulting, improving product quality, market, business networking, and technology.
Keywords : Zakat, Infaq and Shodaqoh (ZIS), Waqf, MSMEs, Micro Finance
Pendahuluan
Terdapat beberapa model instrumen keuangan Islam guna menjamin kesejahteraan yang dikelola oleh Lembaga Keuangan Publik Islam. Di antara sistem keuangan Islam ada yang bersifat wajib (harus dilaksanakan) seperti zakat ada pula yang bersifat anjuran seperti infak, sedekah, dan wakaf. Beberapa sistem keuangan Islam tersebut dewasa ini tengah digalakkan masyarakat muslim di berbagai belahan dunia. Tetapi Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar, untuk pendistribusian zakat, infak, sedekah dan wakaf belum terlaksana sesuai yang diharapkan. Padahal Indonesia telah memilikt. (Republika, 2003)
Selain itu, menurut hasil penelitian Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah dan Ford Foundation, potensi dana ZIS (Zakat, Infak, Sedekah) dan wakaf umat Islam Indonesia yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat mencapai Rp 19,3 triliun, dalam bentuk barang Rp 5,1 triliun dan uang Rp 14,2 triliun. Jumlah dana sebesar itu, sepertiganya masih berasal dari zakat fitrah (Rp 6,2 triliun) dan sisan. (Azra, 2003).
Dari kondisi tersebut menunjukkan bahwa sistem keuangan Islam dalam hal ini pengelolaan dana publik oleh Lembaga Keuangan Publik Islam yang di dalamnya ada Filantropi Islam secara umum terdiri dari institusi zakat, infak dan sedekah (ZIS) dan wakaf, belum mampu secara optimal berperan sebagai sumber dana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, padahal potensi dana ZIS dan wakaf sangat memungkinkan pelaksanaannya (Yulianti, 2008)
Sistem kesejahteraan sosial yang berakar dalam tradisi Islam (the Islamic welfare effort) merupakan bagian dari agenda yang ikut mewarnai interaksi antara Islam dan negara di Indonesia. Proses akomodasi negara terhadap sistem kesejahteraan sosial Islam mulai menguat pada akhir pemerintahan Orde Baru dengan pemberlakuan UU No. 38/1999 tentang pengelolaan zakat. Undang-undang ini menjadi dasar hukum yang menempatkan sistem kesejahteraan sosial Islam sebagai bagian penting dari kebijakan dan sistem kesejahteraan sosial di Indonesia.
Gerakan muslim Indonesia untuk memasukkan sistem kesejahteraan sosial Islam ke dalam sistem kesejahteraan nasional memiliki ciri khas dibandingkan dengan negara-negara muslim lain. Jika di negara-negara seperti Pakistan, Sudan, Saudi Arabia dan Malaysia imajinasi tentang sistem ekonomi Islam sangat berpengaruh, maka gejala serupa tidak dijumpai di Indonesia. Alih-alih ekonomi Islam, cita-cita menerapkan Islam sebagai ideologi negara merupakan dasar untuk menempatkan pengelolaan dana zakat di bawah tanggung jawab inheren negara. Tidak heran jika di Indonesia sistem kesejahteraan sosial Islam, khususnya berkaitan dengan zakat, kerap kali menjadi satu isu sentral dalam ketegangan politik antara Islam dan negara (Yulianti, 2008)
Berdasar hasil penelitian PBB UIN dan the Ford Foundation (2003) ditemukan beberapa fakta yang menarik. Di antaranya, bahwa masyarakat muslim Indonesia memiliki tingkat kedermawanan yang tinggi dan dilandasi oleh motivasi spiritual. Sedangkan h. Dari hasil studi kasus ini secara umum ditemukan bahwa otoritas agama masih sangat kuat melegitimasi wacana dan praktik pembayaran ZIS dan wakaf. Artinya masyarakat muslim di Indonesia sangat kuat dipengaruhi motif dan tujuan keagamaan yang dipahami dalam kerangka ketertundukan kepada doktrin-doktrin keagamaan menurut tafsir klasik dalam ajaran berderma. Yaitu, berderma adalah ibadah dan cara mendekatkan diri kepada Allah swt melalui aktivitas-aktivitas bantuan karitatif kepada orang-orang miskin. Salah satu akar persoalannya ada pada formalisme zakat.
Artinya, zakat hanya dianggap sebagai kewajiban normatif, tanpa memperhatikan efeknya bagi pemberdayaan ekonomi umat. Akibatnya, semangat keadilan ekonomi dalam implementasi zakat menjadi hilang. Orientasi zakat tidak diarahkan pada pemberdayaan ekonomi masyarakat, tapi lebih karena ia merupakan kewajiban dari Tuhan. Bahkan, tidak sedikit muzakki yang mengeluarkan zakat disertai maksud untuk menyucikan harta atau supaya hartanya bertambah (berkah). Ini artinya, muzakki membayarkan zakat untuk kepentingan subyektivitasnya sendiri. Memang tidak salah, tapi secara tidak langsung, substansi dari perintah zakat serta efeknya bagi perekonomian masyarakat menjadi terabaikan.
Meskipun demikian terdapat suatu persepsi yang positif mengenai konsep keadilan sosial untuk mewujudkan kesejahteraan, namun secara umum paradigma keadilan sosial ini belum terintegrasi ke dalam konsep maupun praktik keagamaan dalampembayaran ZIS dan wakafdi Indonesia. Yang perlu dilakukan adalah proses sosialisasi bahwa motivasi sosial semestinya lebih ditekankan dengan berlandaskan pada motivasi spiritual. Sementara mobilisasi dana ZIS dan wakaf melalui Lembaga Keuangan Publik Islam atau organisasi ZIS terbentur dengan fakta bahwa masyarakat masih menjunjung tinggi prinsip secrecy (kerahasiaan) dalam menyumbang, dan juga masih meragukan trust dari Lembaga Keuangan Publik Islam atau organisasi ZIS yang ada. Sedangkan, distribusi ZIS masih berorientasi pada aspek karitas atau sosial yang tidak bisa dikembangkan untuk kegiatan produktif dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat. Dengan kata lain, distribusi dana di Lembaga Keuangan Publik Islam untuk tujuan mewujudkan kesejahteraan masyarakat belum berperan secara optimal atau masih sangat lemah.
Model pendistribusian dana yang tidak menyertakan pemetaan ekonomi dan sosial juga menjadi cermin hilangnya spirit keadilan sosial ekonomi dalam zakat. Tidak sedikit muzakki yang langsung memberikan zakat kepada faqir dan miskin tanpa memperhatikan apakah dana zakat tersebut mampu meningkatkan level kesejahteraan mereka atau tidak. Muzakki mungkin hanya berpikir tentang hukum, bahwa cukup baginya mengeluarkan zakat, sehingga kewajibannya sebagai muslim gugur. Di sinilah pentingnya amil dalam proses penyaluran zakat. Lembaga amil yang profesional sangat diperlukan agar proses pengumpulan dana (fundraising) serta pendistribusiannya dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Salah satu membuatnya efektif dan efisien adalah dengan melakukan pemetaan sosial dan ekonomi. Susahnya, kadang-kadang menganggap amil hanya sekedar sebagai pos pengumpul zakat, tanpa tuntutan kerja optimal untuk usaha fundraising dan pola pendistribusian dana yang profesional.
Berkaitan dengan penguatan posisi amil ini, peningkatan profesionalisme lembaga-lembaga zakat adalah factor kunci. Profesionalisme ini meliputi upaya proaktif dalam fundraising dengan dua tujuan: meningkatkan pendapatan dana zakat dan meningkatkan jumlah orang sadar zakat. Termasuk profesionalisme lembaga zakat adalah mengoptimalkan pengelolaan dana zakat untuk pemberdayaan ekonomi dan peningkatan sektor riil. Karena itu, lembaga zakat perlu memiliki pemetaan sosial ekonomi yang baik, sehinga dana zakat tepat sasaran. Selain itu, model penyaluran dana zakat yang produktif harus lebih menjadi orientasi lembaga-lembaga zakat, daripada pola-pola distribusi dana konsumtif.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, zakat akan lebih bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan dan produktivitas masyarakat luas. Sudah saatnya pengelolaan dana zakat mengikuti misi profetik yang diemban Nabi, yaitu misi keadilan distribusi ekonomi dan meminimalkan konsentrasi harta hanya pada kelompok elit tertentu. Barangkali negara masih belum mampu membebaskan diri dari kungkungan monster-monster ekonomi global. Namun dengan ajaran Muhammad, umat Islam dapat mengilhami pemerintah di negeri ini bagaimana cara berdiri di atas kaki sendiri dan melepaskan ekonomi Indonesia dari neoimperialisme negara-negara kapitalis. Salah satunya melalui manajemen zakat professional agar tercapai kesejahteraan masyarakat (Muhtada, 2007)
Sehubungan dengan hal tersebut,apabila dicari dalam literatur ekonomi, ternyata terminologi “kesejahteraan” memiliki banyak pengertian. Definisi “kesejahteraan” dalam sistem ekonomi kapitalis-konvensional merupakan konsep materialis murni yang menafikan keterkaitan ruhaniah. Konsep “kesejahteraan” yang memasukkan tujuan kemanusiaan dan keruhaniaan, tentu akan berakibat pada keharusan mendiskusikan secara ilmu ekonomi apa hakekat tujuan kesejahteraan tersebut dan bagaimana merealisasikannya. Tujuan-tujuan konsep kesejahteraan dalam kedua visi tersebut tidak hanya mencakup soal kesejahteraan ekonomi dalam arti materi semata, tetapi juga mencakup permasalahan persaudaraan manusia dan keadilan sosial-ekonomi, kesucian kehidupan, kehormatan individu, kehormatan harta, kedamaian jiwa dan kebahagiaan, serta keharmonisan kehidupan keluarga dan masyarakat.
Konsep kesejahteraan lahir bathin dapat dikatakan telah direalisasikan apabila unsur-unsur berikut telah terpenuhi, yaitu kebutuhan dasar bagi semua masyarakat terpenuhi, tingkat perbedaan sosial-ekonomi tidak terlalu mencolok, full employment (tidak adanya pengangguran usia produktif), keadilan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan, stabilitas ekonomi dicapai tanpa beban hutang luar negeri yang berat, tingkat inflasi tidak tinggi, penyusutan sumber daya ekonomi yang tidak dapat diperbaharui tidak tinggi, dan kerusakan ekosistem yang dapat membahayakan kehidupan tidak terjadi.
Di samping hal-hal di atas, harus terpenuhi pula hal-hal sebagai berikut, yakni telah terwujudnya tingkat solidaritas keluarga dan sosial yang tinggi terhadap tanggung jawab bersama antara masyarakat dan pemerintah terhadap anak-anak, usia lanjut, orang sakit, orang-orang lemah, fakir miskin, keluarga bermasalah, janda-janda, penanggulangan kenakalan remaja, kriminalitas, dan kekacauan sosial serta pertikaian menyangkut SARA.
Untuk mencapai konsep kesejahteraan tersebut, setiap orang baik sebagaianggota masyarakat atau dunia usaha, maupun sebagai bagian dari organisasipemerintahan diharuskan mengorbankan kepentingan pribadi demi memenuhikemaslahatan sosial di lingkungan keluarga, dalam dunia usaha, hidup bermasyarakat, atau di dalam bidang pemerintahan. Selama maksimalisasi kekayaan dan konsumsi adalah satu-satunya tujuan, maka pen.
Meski berpeluang memainkan peran lebih besar di masa depan, namun secara umum kita belum benar-benar yakin akan kemampuan Lembaga Keuangan Publik Islam dalam merespon problematika sosial secara efektif karena kapasitas yang masih terbatas dibandingkan dengan problematika sosial yang maha kompleks. Dari sekian lembaga, ditemukan sejumlah hal yang menjadi kelemahan mendasar seperti rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan lemahnya kapasitas organisasi dan manajerial. Belum melembaganya mekanisme pertanggungjawaban publik yang standar juga menjadi fenomena umum Lembaga Keuangan Publik Islam.
Keterbatasan ini berdasar pada kenyataan bahwa Lembaga Keuangan Publik Islam belum memiliki tradisi kelembagaan yang kuat. Kultur Lembaga Keuangan Publik Islam sebaliknya lebih mengandalkan relasi inter-personal dan kapasitas individual. Padahal substansi peran Lembaga Keuangan Publik Islam untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat lebih berorientasi pada penguatan institusi dan sistem. Dalam konsep Lembaga Keuangan Publik Islam untuk kesejahteraan, sumberdaya yang dikumpulkan ditujukan untuk menopang kegiatan yang mengarah kepada perubahan sosial. Dan perubahan tersebut hanya dapat dilakukan dengan strategi pengorganisasian masyarakat, advokasi dan pendidikan publik yang baik. Karenanya kultur Lembaga Keuangan Publik Islam yang personal tidak dapat diandalkan untuk melakukan tugas-tugas tersebut.
Konstruk Lembaga Keuangan Publik Islam yang demikian itu terbentuk akibat kuatnya pengaruh doktrin. Dalam Islam, doktrin memberi ruang seluas-luasnya bagi kebebasan individual dalam mempraktikkan berderma. Sejak masa awal Islam, zakat, infak dan sedekah (ZIS) dibayarkan langsung oleh muzaki kepada mustahik, sebagian lainnya dihimpun oleh pengurus masjid dan tokoh agama. Pola berderma semacam ini relevan dengan struktur sosial ketika pola itu cukup kredibel di mata umat. Pasalnya, dalam Islam akuntabilitas personal mendapat resonansi sangat kuat dalam doktrin. Realitas ini mungkin dapat menjawab pertanyaan mengapa kedermawanan Islam tidak tampil dalam format kelembagaan yang kuat. Sehingga perlu dorespon Lembaga Keuangan Publik Islam yang kuat secara sistemik.
Lembaga Keuangan Publik Islam yang di dalamnya ada Filantropi Islam secara umum terdiri dari institusi zakat, infak dan sedekah (ZIS) dan wakaf. Dalam ajaran Islam, ZIS mengandung pengertian yang sama dan acap digunakan secara bergantian, atau dapat dipertukarkan, untuk maksud yang sama, yaitu berderma. Dalam ayat 60, surat al-Taubah, yang sering dirujuk sebagai ayat berderma, tidak mengintrodusir istilah zakat, tetapi shadaqah. Namun, pada tataran diskursus penggunaan istilah Zakat, Infak dan Sedekah mengandung makna yang spesifik dan berbeda. Zakat sering diartikan sebagai membelanjakan (mengeluarkan) harta yang sifatnya wajib dan salah satu rukun Islam serta berdasarkan perhitungan yang tertentu. Infak acap merujuk kepada pemberian yang bukan zakat, yang kadangkala jumlahnya lebih besar dari zakat. Biasanya dimaksudkan untuk kepentingan fii sabilillah, dalam arti sarana, misalnya, bantuan untuk masjid, madrasah, pondok Pesantren, rumah sakit. Pendek kata, bantuan yang dikeluarkan untuk lembaga keumatan umat tersebut masuk kategori infak. Sedangkan, sedekah biasanya derma yang kecil-kecil jumlahnya yang diserahkan kepada orang miskin, pengemis, pengamen dll. Berbeda dengan zakat, baik infak maupun sedekah keduanya adalah sunnah.
Dalam konteks Indonesia, zakat pada awalnya acap dibayarkan langsung oleh muzaki kepada mustahik, dan juga dihimpun melalui tokoh agama maupun masjid. Pola berderma semacam ini tradisional sifatnya, meskipun cukup kredibel di mata umat. Namun sejak abad ke 20, KH Ahmad Dahlan, perintis Muhammadiyah, mengusulkan dibentuknya lembaga amil zakat, yaitu lembaga perantara (intermediary institusion) yang menerima atau menggalang zakat dari para muzaki dan menyalurkan mustahik seperti ditunjukkan dalam surat al-Taubah: 60. Dengan kata lain, sesungguhnya pengelolaan Lembaga Keuangan Publik Islam melalui organisasi yang moderen belum lama dilakukan. Artinya Lembaga Keuangan Publik Islam maupun organisasi filantropi Islam adalah fenomena moderen, meskipun praktek berderma telah berurat akar dalam setiap etnik dan budaya masyarakat Indonesia. Praktek berderma yang hidup tersebut umumnya diterapkan secara tercerai berai (decentralized),tidak terkoordinir secara nasional,ada yang tidak transparan dan untuk maksud yang berbeda-beda serta umumnya kuat dimotivasi oleh ajaran agama.
Sementara itu, jika mereferensi kepada hadis Nabi yang otentik, maka terminologi wakaf berbeda halnya dengan zakat atau sedekah. Akan tetapi, wakaf dapat dikategorikan sebagai infak. Dengan kata lain, konsep infak mencakup wakaf. Terminologi wakaf sendiri tidak secara eksplisit disitir di dalam al-Qur’an. Wakaf lahir dari pandangan Nabi saw ketika merespon pertanyaan Umar bin Khattab yang bermaksud menginfakkan sebidang tanah di Khaibar. Nabi bersabda, “Bila engkau suka kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan hasilnya”. Sejarah meriwayatkan bahwa tanah wakaf Umar itu dipergunakan untuk fakir miskin, pemerdekaan budak, orang terlantar dll. Sebagian Ulama memandang syari’at wakaf pertama kali dilaksanakan oleh Umar bin Khattab. Artinya wakaf mengindikasikan pemanfaatan hasil tanahnya, namun kekekalannya tetap terpelihara.
Sebagai salah satu institusi filantropi Islam, wakaf di dunia Muslim telah memainkan peran yang signifikan dalam pemberdayaan sosial ekonomi umat. Misalnya, di Mesir, Yordania, Saudi Arabia dan Bangladesh dengan manajemen yang profesional, maka manfaat wakaf telah dirasakan oleh pihak yang memerlukannya. Sebaliknya, di Indonesia wakaf belum mampu memainkan peran seperti beberapa negara Muslim yang disebut tadi. Secara spesifik, wakaf, sebagai satu institusi filantropi Islam telah dipraktekkan sejak abad ke-15, ketika komunitas Muslim khususnya di Jawa mulai mendirikan masjid dan pesantren sebagai institusi pendidikan keagamaan. Menurut Ridwan, orientasi wakaf sebagai satu tindakan kemasyarakatan (sosial) harus diperkuat, karena trend umum di Indonesia wakaf diperuntukkan untuk tempat ibadah (75%), sedangkan wakaf untuk tujuan kemasyarakatan sangat minim, termasuk juga wakaf untuk institusi pendidikan seperti pesantren, madrasah dan perguruan tinggi (universitas).
Secara umum, ada beberapa tantangan Lembaga Keuangan Publik Islam untuk kesejahteraan di Indonesia. Pertama, organisasi-organisasi pengelola zakat (BAZIS dan LAZIS) belum menunjukkan akuntabilitas dan transparansi yang memadai. Kedua, rekonseptualisasi fikih Lembaga Keuangan Publik Islam maupun filantropi yang moderen, misalnya mengenai pemahaman konseptual asnaf delapan, cash wakaf (wakaf tunai) atau wakaf produktif. Selain itu, diandaikan adanya satu pendekatan “pembangunan” yang lebih menitikberatkan pada investasi di bidang infrastruktur untuk menuai keuntungan jangka panjang ketimbang sekedar mengatasi masalah-masalah jangka pendek.
Pembahasan Optimalisasi Peran Wakaf Dalam Pemberdayaan UMKM
Untuk memenuhi kebutuhan kelompok Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) produktif, lembaga pengelola wakaf uang dapat melakukan pemberdayaan dengan memberikan bantuan modal investasi maupun modal kerja pada anggota pada khususnya yang sebagian besar merupakan anggota kelompok produktif. Peran lembaga nazhir wakaf lainnya dalam pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) antara lain memberikan pelatihan, konsultasi usaha, peningkatan ketrampilan, maupun peningkatan kualitas produk. Untuk mengurangi beban pemerintah dan rakyat, model wakaf uang sangat tepat dalam bentuk melancarkan ketersumbatan fungsi financial intermediary. Terjadinya arus lancar (cash flow) penyaluran dana ke seluruh anggota masyarakat termasuk kelompok usaha UMKM. Melalui wakaf uang akan terjadi proses distribusi manfaat bagi masyarakat secara lebih luas (Rozalinda, 2013)
Al-Jamal (2007) dalam hal ini menegaskan, peranan wakaf dalam memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat dapat dilihat dari beberapa segi, yakni 1) Melalui simpanan wakaf yang ditujukan untuk melayani proyek-proyek pembangunan, akan tercapai kekuatan finansial baru yang menyokong perekonomian negara. Aset-aset wakaf itu adalah kebutuhan financial yang tetap eksis dan selalu membantu ekonomi negara. 2) Membantu pendirian infra struktur. 3) Memberikan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan dan mengurangi pengangguran. 4) Berpartisipasi dalam menambah gerakan bisnis di masyarakat. Oleh karena itu, harta wakaf bisa diekploitasi dalam skala besar sehingga bisa diberikan subsidi, penyediaan kesempatan kerja, dan penyediaan lembaga-lembaga pelatihan kewirausahaan
Masyita (2005) menyatakan bahwa dana wakaf uang dapat diinvestasikan dan disalurkan untuk memberdayakan masyarakat kecil melalui mikro finance dan pendampingan usaha. Bantuan keuangan mikro ini didampingi oleh sarjana pendamping yang akan memberikan konsultasi kepada penerima kredit mikro agar dapat pengetahuan cara berusaha dan berbisnis dengan baik. Dengan pemberian modal dan bantuan manajemen perlahan-lahan masyarakat miskin dapat terangkat derajatnya melalui usaha mikro yang pada akhirnya mampu hidup layak dan sejahtera. Perencanaan dan pengembangan program kredit mikro yang tepat akan memperkuat nilai-nilai kekeluargaan.
Kegiatan-kegiatan dalam rangka peningkatan kapasitas dan kualitas UMKM di bidang ekonomi dapat dilakukan. dengan menekankan pada 5 aspek, yaitu:
- Pengembangan kapasitas dan karakter. Dalam program ini dilakukan kegiatan-kegiatan pelatihan wirausaha secara komprehensif, mulai dari motivasi berusaha, manajemen usaha, dan hal lainnya seputar kewirausahaan untuk UMKM.
- Konsultasi dan pendampingan. Setelah pelatihan, para wanita kemudian mendapatkan konsultasi dan pendampingan usaha untuk bisa menguatkan dan meng-upgrade kapasitas serta kualitas usahanya di masa depan.
- Organisasi. Sebagai individu ataupun kelompok usaha, UMKM sangat membutuhkan penguatan di bidang organisasi bisnisnya. Di tahapan ini diharapkan para wanita yang berwirausaha mampu menjalankan bisnisnya dengan aturan yang berlaku dan memiliki visi yang jelas.
- Pasar. UMKM mendapatkan pengetahuan mengenai upaya membuka dan membangun pasar untuk produk-produk yang telah dimiliki.
- Jejaring. Diharapkan UMKM dan kelompok usaha UMKM mampu menemukan, membuat, dan menguatkan jaringan sosial untuk usahanya.
Strategi pemberdayaan ekonomi bagi UMKM yang tidak memiliki kapasitas produktif, tidak mempunyai keahlian (skill) dan modal sehingga mereka belum memiliki usaha, dapat ditempuh melalui langkah-langkah sebagai berikut:
- Pelatihan usaha bertujuan untuk memberikan wawasan yang luas tentang kewirausahaan secara aktual dan komprehensif sehingga mampu memunculkan motivasi dan spirit berwirausaha.
- Pemagangan. Setelah memiliki pemahaman dan motivasi kewirausahaan, maka dibutuhkan keterampilan. Itu bisa diperoleh melalui kegiatan magang di dunia usaha yang akan diterjuninya.
- Penyusunan proposal. Menyusun proposal secara realistis berdasarkan pengalaman empiris perlu dimiliki untuk mengindari penyimpangan sehingga bisa meminimalisir kerugian.
- Permodalan sangat penting untuk memulai dan mengembangkan usaha. Dalam hal ini harus dicari lembaga keuangan yang dapat meminjami uang dengan bunga/bagi hasil seringan mungkin. Jangan sampai keuntungan yang diperoleh habis untuk membayar utang.
- Pendampingan, berfungsi sebagai pengarah dalam melaksanakan kegiatan usahanya sehingga mampu menguasai dan mengembangkan usahanya dengan mantap.
- Membangun jaringan bisnis. Tahapan ini sangat berguna untuk memperluas pasar sehingga produk-produknya dapat dipasarkan ke daerah-daerah lain. Dengan jaringan ini akan melahirkan net-working bisnis umat Islam yang tangguh.
Demikianlah langkah-langkah pemberdayaan ekonomi UMKM yang belum memiliki usaha permanen, benar-benar dimulai dari titik nol. Ini berbeda dengan model pemberdayaan ekonomi bagi UMKM yang telah memiliki kapasitas distributif, telah memiliki usaha. Strategi pemberdayaan ekonomi UMKM yang telah memiliki rintisan usaha, dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
- Membantu akses permodalan, diawali dari pembimbingan penyusunan proposal yang memadai sehingga mampu meyakinkan pihak lembaga keuangan untuk mengucurkan dananya.
- Menertibkan administrasi keuangan. Masalah administrasi adalah titik lemah para pelaku usaha kecil dan menengah; tidak ada catatan transaksi jual-beli, campur aduk keuangan usaha dengan rumah tangga dan lain-lain. Harus ada bimbingan untuk menertibkan administrasi keuangan sehingga bisa diaudit sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi modern.
- Memperbaiki manajemen usaha. Meski usahanya masih kecil, jumlah karyawan sedikit, dan jangkauan pemasaran masih lokal, namun harus dikelola dengan manajemen yang sehat.
- Memperluas pemasaran. Pemasaran menjadi kendala yang serius bagi usaha kecil dan menengah dalam melempar produk-produknya ke masyarakat, karena tidak tersedia dana iklan. Oleh karena itu ethos kerja harus senantiasa dipompa, informasi tentang peluang-peluang pasar baru harus disediakan, dan pengembangan jejaring sesama usaha kecil dan menengah.
- Teknis produksi, maksudnya kualitas produk harus dijaga terus-menerus seirama dengan tuntutan pasar. Kualitas produk harus benar-benar dijaga meskipun sudah laku di pasar.
- Teknologi, baik teknologi produksi maupun teknologi informasi harus dimanfaatkan secara optimal sehingga dapat menstimulasi peningkatan kualitas produksi.
Program pemberdayaan ekonomi UMKM sebagaimana dijelaskan di atas, tidak dilakukan dalam ruang sosial-ekonomi-politik yang hampa. Lembaga nazhir wakaf uang di samping menguasai langkah-langkah pemberdayaan ekonomi UMKM, juga dituntut kemampuannya dalam membaca realitas sosial budaya-ekonomi-politik yang melatari umat Islam. Untuk meningkatkan peran ekonomi UMKM sekaligus peningkatan status UMKM perlu tindakan strategis yakni: