Gelar profesi dosen sekilas terdengar begitu mentereng dan terkesan elit. Dosen dalam kacamata awam kerap dipandang hidup makmur dan memiliki kedudukan tinggi dalam kelas sosial. Begitulah pandangan sebagian masyarakat.
Pandangan dan anggapan tersebut tentu saja tidak semuanya salah. Meskipun belum tentu secara otomatis benar. Sebab di negeri ini kedudukan dosen sebagai sebuah profesi masih perlu direformasi terutama karir dosen di perguruan tinggi swasta (PTS) yang tidak membaik dari sisi kesejahteraan.
Di beberapa tempat tidak sedikit dosen yang bekerja di PTS tanpa memperoleh gaji tetap walaupun seribu perak sedangkan mereka tercatat sebagai dosen tetap yayasan yang mengelola PTS tersebut.
Padahal saat diajukan menjadi dosen untuk mendapatkan nomor induk dosen jelas ada kontrak kerja yang didalamnya tersebut nominal gaji yang diberikan. Namun faktanya berkas tersebut hanya sebagai formalitas belaka.
Pada umumnya yayasan hanya menggaji dosen tetap yang diangkat sebagai karyawan. Sementara yang bukan karyawan meskipun status dosen tetap tidak mendapatkan hak nya (gaji tetap bulanan). Celakanya dosen tersebut justru dituntut untuk menunaikan seluruh kewajibannya dalam pelaksanaan tridharma perguruan tinggi.
Seorang dosen tetap harus mengajar, meneliti, dan melakukan pengabdian kepada masyarakat yang semuanya pasti membutuhkan biaya. Sedangkan kampus sama sekali tidak memfasilitasi pendanaan internal untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Bukankah ini tidak fair? Belum lagi soal kesejahteraan yang tidak ada perhatian.
Ironis memang persoalan kesejahteraan dosen di PTS. Saat ini banyak dosen PTS bekerja dengan beban yang tidak sesuai dengan gaji yang mereka terima. Pada sisi lain pihak yayasan yang mengelola PTS seperti melepaskan tanggung jawabnya, sepertinya hanya pihak dosen-lah yang sangat membutuhkan kampus.
Bahkan sudah bukan rahasia lagi ada dosen PTS hanya dimanfaatkan semata oleh pihak yayasan, seperti meminjam ijazah mereka untuk mengurus perizinan dan akreditasi kampus dan dosen tersebut tidak mendapatkan manfaat apa-apa.
Konon ada yang lebih menyedihkan lagi dosen PTS yang kekurangan mahasiswa, mengajarnya hanya dua SKS dan itupun hanya satu kelas dalam satu semester dengan bayaran 40.000 rupiah/SKS. Sudah tidak punya gaji tetap, honor mengajar nya kecil, terlambat bayar pula. Bahkan untuk semester tertentu tidak memiliki jam mengajar.
Sudah begitu, ada pula ancaman dan diskriminasi dari pimpinan lembaga atau pihak yayasan jika ada dosen yang kritis dan memprotes kebijakan mereka. Ada juga yang dipersulit administrasi pengurusan dokumen tertentu yang diperlukan sang dosen.
Alhasil, kondisi ini telah menimbulkan dampak yang besar terhadap psikologis dosen untuk bekerja secara profesional dan menghasilkan karya-karya terbaik mereka. Terjadi penurunan motivasi kerja yang pada akhirnya berpengaruh terhadap kualitas kampus.
Fenomena buruknya tingkat kesejahteraan dosen PTS seakan sudah menjadi aksioma, "jika ingin sejahtera jangan jadi dosen swasta". Persoalannya adalah bukan ingin kaya tetapi memiliki kecukupan saja sudah bagus.
Jujur! Apabila dibandingkan dengan dosen PNS di PTN, kesejahteraan mereka lebih baik dan terjamin. Apalagi jika sudah lulus sertifikasi dosen atau memiliki sertifikat pendidik. Pendapatan mereka bisa naik dua kali lipat.
Kendatipun dosen PTS juga mendapat kesempatan untuk memperoleh tunjangan sertifikasi dosen. Akan tetapi untuk bisa lulus tidak semudah membalikkan telapak tangan. Memerlukan kerja keras dan dana yang tidak sedikit untuk memenuhi seluruh kinerja yang dipersyaratkan.
Inilah konflik batin menjadi dosen di PTS yang tidak mampu membiayai dirinya sendiri. PTS yang belum mandiri dan pengelola nya menutup mata untuk kesejahteraan dosen.
Konflik batin yang penulis maksud adalah antara tuntutan kewajiban dengan hak yang diterima sangat tidak wajar dan bahkan terkesan cenderung tidak menghargai keberadaan dosen.
Terkadang ada semacam pemikiran yang muncul gampang mencari dosen pengganti. Dan itu memang benar, merekrut dosen baru yang fresh graduate memang sangat mudah. Sementara dosen lama silakan angkat koper.
Oleh karena itu sangat wajar pula jika ada pihak yang menyebut ribuan PTS di negeri ini dalam kondisi sakit. Tidak sehat secara keuangan, suka menekan dosen dan mahasiswa nya agar legowo menerima kondisi yang ada. Bisa dibayangkan tidak bagaimana suasana akademik di kampus seperti itu?
Barangkali solusi dari keadaan chaos ini adalah pemerintah yang bertanggung jawab terhadap pembinaan PTS agar mengambil sikap menyegerakan penggabungan beberapa PTS yang tidak sehat tersebut agar kapitasi perguruan tinggi jadi lebih kuat untuk membiayai operasional.
Beruntung bagi kawan-kawan dosen yang mungkin sekarang ini berada dilingkungan PTS yang memiliki manajemen yang baik, kesejahteraan yang sesuai standar, dan dukungan yayasan terhadap pengembangan SDM dosen hingga menjadi guru besar.
Semoga kedepan akan lahir banyak PTS yang mampu bersaing dengan PTN dalam aspek kualitas dengan menghasilkan lulusan yang berkompeten. Seiring dengan itu meningkat pula kesejahteraan dosen dan jenjang karir yang jelas tanpa ada ancaman-ancaman atau intimidasi dari yayasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H