Tingkat pengetahuan publik terhadap literasi, wakaf, infaq, dan sedeqah masih sangat rendah. Diperkirakan baru mencapai 50 persen. Meski ada peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya yang hanya 20 persen, namun dibandingkan jumlah penganut Islam di Indonesia, maka dapat dikatakan belum menggembirakan.
Walaupun pemahaman literasi wakaf, infak, sadaqah itu rendah tetapi pengamalannya tinggi. Walaupun tidak memahami, tapi mereka berbicara tentang inklusi keuangan syariah.Â
Literasi tentang wakaf secara menyeluruh itu bukan hanya sekedar menyadari tapi memahami pengetahuan yang menyeluruh melibatkan proses mekanisme aturan main, bicara tentang kemana dana itu digunakan. Artinya lebih rinci tentang itu mereka memiliki pemahaman sangat rendah.
Tetapi walaupun mereka tidak memahami tentang itu namun mereka sudah pernah mewakafkan harta. Pemahaman mereka mungkin hanya tahu bahwa kalau mewakafkan itu akan mendapatkan pahala. Mereka tidak tahu tentang persoalan uang itu dibawa kemana atau katakanlah ketika seseorang memberi infak dan sedekah, yang dia tahu yang penting saya mendapat pahala.Â
Persoalan ini orang nggak peduli, padahal sangat penting artinya ketika kita memberi sedekah dan infaq dan sebagainya sebenarnya kita punya tanggung jawab untuk mengetahui kemana zakat/infaq/shadaqah itu dibawa.
Kalau kita bicara ini ya bicara tentang fleksibilitas aturan, pengeluaran uang dari kas daerah yang bersumber dari ZIS (zakat, infak, sedeqah) juga harus mudah sebagaimana saat masuk ke kas daerah. Kita tidak mau seperti yang terjadi sekarang, ada orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya, mereka memerlukan uang yang segera tapi kita lihat ternyata ada dana tapi sulit untuk keluar karena harus menunggu ketuk palu dewan.Â
Sehingga begitu pentingnya peran tentang tata kelola zakat yang baik, misalnya kalau kita lihat kasus-kasus Baitul Mal Malaysia, di Provinsi Aceh ketika tanah zakat infaq shadaqah itu masuk ke dalam pembagian Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan masuknya mudah tapi keluarnya itu ya harus ada persetujuan dewan dan sebagainya.
Padahal kalau orang mau mati itu kan tidak menunggu palu dewan. Ini ya fleksibilitas artinya bicara tentang bagaimana yang membuat tata kelola yang baik sama dengan bicara bagaimana pelayanan yang tepat sasaran dan seterusnya dan ini menjadi tantangan berat kita.
Menurut Pakar Ekonomi Islam Universitas Syiah Kuala (USK), Prof Dr M.Shabri Abd. Majid, M.Ec, "kalau saya melihat belum ada kajian menyeluruh yang bicara tentang tingkat literasi wakaf ya, maka ia memiliki otoritas tentang kita ada badan wakaf Indonesia perlu ada laporan, ada kajian-kajian yang mendasar karena untuk memberdayakan atau orang akan mau berpartisipasi mendonasikan atau mewakafkan uang mereka dalam bentuk uang atau mewakafkan apapun atau kalau sudah memiliki kesadaran dan kecintaan untuk berdonasi".
Kita lihat artikel yang dipaparkan Prof Salina tadi ya (Webinar Empowering Islamic Philanthropy of Zakat, Waqf, and Voluntary Donations for Public Socio-Economic Prosperity), orang akan termotivasi untuk melakukan donasi itu sebenarnya berbicara tentang literasi pemahaman, kan orang tak sayang maka tidak akan muncul benih-benih kecintaan itu sendiri ya. Â
Tapi kalau sudah cinta pada kalau dia sudah cinta untuk melakukan donasi satu hari atau beberapa hari tidak memberi donasi rasanya hatinya itu terasa kosong. Itu artinya memang dia mulai dari literasi. Maka kalau orang mengatakan dari mata turun ke hati, justru ini dari literasi turun ke donasi.
Lantas terkait dengan apakah zakat manajemen ini sudah diterapkan atau termasuk ke dalam manajemen zakat modern?
Kalau bicara tentang prinsip-prinsip tata kelola zakat yang baik secara konseptual sudah diterapkan oleh Baitul Mal provinsi atau kabupaten kota yang ada. Ataupun mungkin di daerah-daerah lain di provinsi lain yang disebut badan amil zakat nasional. Manajemen artinya tata kelola itu sudah mengadopsi manajemen modern.
Memang berat ya tentang filantropi, itu bicara tentang kesukarelawan, bicara tentang sikap kedermawanan atau mau mengambil kepedulian secara ikhlas.
Akuntabilitas pengelolaan zakat oleh lembaga nazhir seperti Baitul Mal memang ada beberapa yang sudah diterapkan. Namun belum menginterpretasikan seluruh prinsip akuntabilitas itu sendiri.Â
Maka seluruhnya tetapi kalau bagian itu sudah mereka laksanakan. Akuntabilitas itu sudah mereka terapkan di pengelolaan zakat di Baitul Mal Aceh sendiri. Meski juga tumpang tindih dengan lembaga nazhir lainnya. Ini terkesan egosektoral sangat tinggi.
Prinsip-prinsip tata kelola zakat yang diadopsi di Baitul Mal dimana tata kelola zakat ini mampu menumbuhkan kepercayaan atau akan meningkatkan motivasi atau orang akan berpartisipasi untuk membayar zakat.
Karena masih banyak orang membayar zakat itu tidak melalui Baitul Mal, memang agama tidak mewajibkan harus dilalui Baitul Mal. Bisa juga mereka mau bayar sendiri tapi permasalahannya kalau mereka mau bayar sendiri-sendiri masyarakat yang berhak menerima zakat dia juga menerima dari tetangganya dan juga dari Baitul Mal.
Disini bisa memunculkan masalah dalam distribusi. Artinya akan ada orang yang menerima banyak sementara orang miskin melihat pola distribusi yang tidak adil. Ini soal fairness (keadilan).
Situasi ini harus segera diatasi dan perbaiki. Kendati sudah ada undang-undang yang mengatur tentang wakaf dan ZIS tetapi fungsi koordinasi tingkat nazhir antar institusi masih kacau dan belum cair. Sehingga munculnya egosentris lembaga. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H