Sehingga tidak sedikit Dayah yang terpaksa tutup dari aktivitas mengaji dan belajar agama. Santrinya pun tidak berani masuk ke Dayah sebab takut dicurigai sebagai pemberontak. Situasi buruk tersebut berdampak terhadap kemunduran Dayah.
Tetapi setelah 15 tahun berlalu, paska damai dengan penandatanganan MoU Helsinki pada tahun 2005 silam, kini perlahan-lahan kehidupan Dayah mulai bangkit. Semangat memajukan pendidikan Islam lewat lembaga Dayah bangkit lebih tinggi.
Kita bisa lihat beberapa Dayah besar di Aceh yang terus memolopori literasi agama Islam untuk mengisi pembangunan daerah. Ada Dayah Mudi Mesra, Dayah Unmul Ayman, Dayah Tanoeh Abee, Dayah Indrapuri, Dayah Krueng Kalee, Dayah Darussalam, Dayah Budi Lamno, dan dayah-dayah lainnya.
Semua Dayah-dayah tersebut saat ini memiliki kehidupan yang lebih cerah seiring meningkatnya minat orang tua dan santri untuk belajar agama di pondok. Setiap tahun jumlah anak-anak yang masuk ke dayah tumbuh hingga 20-30 persen.
Stigma negatif seolah tidak ada masa depan di dayah perlahan-lahan mulai terpinggirkan. Apalagi dengan adanya program Tahfidzul Qur'an dan lulusannya banyak terserap semakin membuat Dayah tambah bersinar, dan menguatkan daya tarik anak-anak muda untuk belajar ilmu agama.
Keberhasilan pendidikan Dayah tradisional mencapai target atau out put pembelajaran nya dilakukan dengan menerapkan strategi-strategi khusus. Dengan metode belajar secara tatap muka, metode hafalan, naratif, dan dengan waktu yang relatif panjang.
Dan yang lebih penting, santri atau "Aneuk Dayah" tidak diperkenankan membawa handphone (gadget) ke dalam lingkungan dayah selama menempuh pendidikan. Penggunaan alat-alat komunikasi berbasis internet diawasi sangat ketat oleh guru maupun pengurus dayah.
Disatu sisi kebijakan pelarangan menggunakan handphone saat sedang belajar di Dayah dirasakan sangat positif, terutama bila dilihat dari mudharat yang ditimbulkan, misal membal lalai, terpengaruh dengan hal-hal pornografi, game online, dan sebagainya.
Oleh karena itu hampir orang tua/wali santri yang mengamini pelarangan tersebut. Lagi pula di Dayah tradisional belum mengenal sistem belajar e-learning sebagaimana ditetapkan pada sekolah-sekolah umum.
Nah, itulah tantangan yang kini dihadapkan pada pendidikan Dayah tradisional. Antara tuntutan kemajuan teknologi digital yang bisa diintegrasikan dalam sistem belajar atau mempertahankan pola belajar lama yang sudah berlangsung ratusan abad tanpa sentuhan teknologi informasi.
Lantas bagaimanakah dayah menjawab perubahan zaman? Kehidupan generasi milenial di era digital yang menuntut sistem belajar di Dayah yang juga ikut berubah.