Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menatap Kembali Kekelaman Dayah Tradisional dan Tantangan Santri Milenial Era 5.0

23 Oktober 2021   11:36 Diperbarui: 25 Oktober 2021   10:11 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah saat ziarah (ANTARA FOTO/ARDIANSYAH via KOMPAS.com)

Pemerintah Indonesia telah menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional (HSN). Meski tidak menjadi hari libur dalam kalender libur nasional, namun Hari Santri tersebut bernilai sangat penting karena merupakan sebuah pengakuan dan momentum.

Bukan tanpa alasan bila Pemerintah Jokowi melahirkan Hari Santri Nasional sebagaimana hari-hari besar lainnya, seperti Hari Sumpah Pemuda, Hari Kebangkitan Nasional, Hari Guru, dan sebagainya yang memiliki latar belakang, begitu pula HSN memiliki 'asbabul nuzul-nya'.

Menurut PBNU, 22 Oktober merupakan tanggal yang tepat untuk Hari Santri Nasional. Karena pada tanggal tersebut, perjuangan santri dalam merebut kemerdekaan tampak menonjol.

Konon Kiyai Hasyim Asy'ari mengumumkan fatwanya yang disebut sebagai Resolusi Jihad.

Resolusi Jihad yang lahir melalui musyawarah ratusan kiyai dari berbagai daerah tersebut merespons agresi Belanda kedua. Resolusi itu memuat seruan bahwa setiap Muslim wajib memerangi penjajah. 

Disebutkan dalam fatwanya itu, para pejuang yang gugur dalam peperangan melawan penjajah pun dianggap mati syahid. Jadi atas dasar semangat menjaga Resolusi Jihad itulah Hari Santri Nasional ditetapkan.

Sehingga semangat melawan penjajah itu pula yang ingin dirawat melalui Hari Santri. Entah masih relevan atau tidak dengan jaman sekarang, yang pasti Hari Santri Nasional tidak jelas manfaat dan dampak yang diharapkan itu apa?

Toh kalau kita lihat tidak ada kebijakan pemerintah yang bernilai luar biasa terhadap ribuan pesantren dan santrinya. Malahan keberadaan santri saat ini dicurigai dan dimarginalkan. Apalagi jika mereka mondok di dayah tradisional seperti di Aceh dan beberapa tempat di daerah lain.

Aceh bisa disebut sebagai negeri 1001 Dayah. Sebutan ini terkait langsung dengan histori kedayahan di Aceh. Selain keberadaan Dayah yang sudah berusia abad, juga sebarannya di seantero Aceh.

Meskipun jumlah dayah yang begitu banyak namun sangat sedikit yang dapat dikategorikan sebagai Dayah modern atau secara disebut pesantren. Bahkan di beberapa daerah sebutan Dayah dianggap berbeda dengan pesantren.

Ini menandakan bahwa Dayah di Aceh masih berciri khas lembaga pendidikan informal berbasis ajaran Islam, yang berbeda sekali dengan pendidikan umum yang mengajarkan ilmu pengetahuan barat.

Umumnya materi ajar di Dayah seputar kitab kuning atau Arab gundul yang membahas secara mendalam tentang ilmu agama. Mulai dari masalah tauhid, fiqih, muamalah, dan tasawuf. Didalamnya juga dirincikan tentang kepemimpinan dan sejarah Islam.

Kitab-kitab pegangan utama merupakan karangan ulama-ulama besar Islam. Dayah di Aceh sendiri lebih dominan bermazhab Syafi'i atau ahlussunah waljamaah. Kurikulum tersebut telah digunakan sejak ratusan tahun dan tidak ada penyimpangan pada amalannya.

Dayah di Aceh adalah pelopor pendidikan agama Islam di Indonesia bahkan di Asia Tenggara, yang berfokus untuk mencetak ulama dan pendidikan umat. Dayah Cot Kala merupakan Dayah pertama di Aceh bahkan di Asia Tenggara. 

Prof. Ali Hasyimi seorang Sejarawan Aceh, berpendapat bahwa Dayah masuk ke Aceh sejak awal berdirinya Kerajaan Islam Pereulak pada Muharram 225 H/840 M. Hal ini ia tuangkan dalam jurnal penelitian yang dilakukannya.

Sejak berdirinya Dayah Islam diberbagai penjuru Aceh yang saat ini sudah mencapai usia 1.181 tahun kokoh mempertahankan sistem pembelajaran secara tradisional yakni membaca, mensyarah, dan mengamalkan. Hampir tidak ada pengembangan ilmu secara lebih mendalam dan luas diluar kitab-kitab yang diajarkan di tersebut.

Secara kelembagaan, Dayah juga mengalami pasang surut. Perkembangan Dayah pernah mengalami kemunduran terutama pada masa kolonial atau penjajahan, baik masa Belanda maupun Jepang. Mereka melakukan berbagai cara untuk menghambat kemajuan pendidikan umat terutama pendidikan Islam.

Belanda sangat kuatir terhadap semangat ulama membela agama dan melawan penjajahan. Ulama sangat berperan menggerakkan perang jihad fisabilillah untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Oleh karena itu bermacam propaganda pun dilancarkan untuk melemahkan fungsi Dayah sebagai pusat pendidikan umat. Salah satu propaganda paling terkenal yang dilakukan pihak Belanda yaitu kehadiran Snouck Hurgronje yang berpura-pura menjadi ulama.

Masa kemunduran Dayah juga dialami pada masa paska kemerdekaan, tepatnya pada zaman orde baru. Ketika itu Aceh sedang dilanda konflik berdarah yang mengakibatkan Dayah menjadi lumpuh.

Saat konflik antara GAM dan TNI, Dayah menjadi sasaran untuk dilemahkan. Sama seperti kekuatiran Belanda, pihak pemerintah orde baru merasa takut jika kekuatan Dayah bangkit untuk melawan.

Selain banyak Dayah yang sengaja dibakar, dirusak, dan dimasukkan dalam daftar merah. Ulama, santri, dan guru pengajar juga mendapatkan perlakuan yang tidak senonoh. Ada yang dibunuh, dipukuli, dan diancam tembak ditempat.

Sehingga tidak sedikit Dayah yang terpaksa tutup dari aktivitas mengaji dan belajar agama. Santrinya pun tidak berani masuk ke Dayah sebab takut dicurigai sebagai pemberontak. Situasi buruk tersebut berdampak terhadap kemunduran Dayah.

Tetapi setelah 15 tahun berlalu, paska damai dengan penandatanganan MoU Helsinki pada tahun 2005 silam, kini perlahan-lahan kehidupan Dayah mulai bangkit. Semangat memajukan pendidikan Islam lewat lembaga Dayah bangkit lebih tinggi.

Kita bisa lihat beberapa Dayah besar di Aceh yang terus memolopori literasi agama Islam untuk mengisi pembangunan daerah. Ada Dayah Mudi Mesra, Dayah Unmul Ayman, Dayah Tanoeh Abee, Dayah Indrapuri, Dayah Krueng Kalee, Dayah Darussalam, Dayah Budi Lamno, dan dayah-dayah lainnya.

Semua Dayah-dayah tersebut saat ini memiliki kehidupan yang lebih cerah seiring meningkatnya minat orang tua dan santri untuk belajar agama di pondok. Setiap tahun jumlah anak-anak yang masuk ke dayah tumbuh hingga 20-30 persen.

Stigma negatif seolah tidak ada masa depan di dayah perlahan-lahan mulai terpinggirkan. Apalagi dengan adanya program Tahfidzul Qur'an dan lulusannya banyak terserap semakin membuat Dayah tambah bersinar, dan menguatkan daya tarik anak-anak muda untuk belajar ilmu agama.

Keberhasilan pendidikan Dayah tradisional mencapai target atau out put pembelajaran nya dilakukan dengan menerapkan strategi-strategi khusus. Dengan metode belajar secara tatap muka, metode hafalan, naratif, dan dengan waktu yang relatif panjang.

Dan yang lebih penting, santri atau "Aneuk Dayah" tidak diperkenankan membawa handphone (gadget) ke dalam lingkungan dayah selama menempuh pendidikan. Penggunaan alat-alat komunikasi berbasis internet diawasi sangat ketat oleh guru maupun pengurus dayah.

Disatu sisi kebijakan pelarangan menggunakan handphone saat sedang belajar di Dayah dirasakan sangat positif, terutama bila dilihat dari mudharat yang ditimbulkan, misal membal lalai, terpengaruh dengan hal-hal pornografi, game online, dan sebagainya.

Oleh karena itu hampir orang tua/wali santri yang mengamini pelarangan tersebut. Lagi pula di Dayah tradisional belum mengenal sistem belajar e-learning sebagaimana ditetapkan pada sekolah-sekolah umum.

Nah, itulah tantangan yang kini dihadapkan pada pendidikan Dayah tradisional. Antara tuntutan kemajuan teknologi digital yang bisa diintegrasikan dalam sistem belajar atau mempertahankan pola belajar lama yang sudah berlangsung ratusan abad tanpa sentuhan teknologi informasi.

Lantas bagaimanakah dayah menjawab perubahan zaman? Kehidupan generasi milenial di era digital yang menuntut sistem belajar di Dayah yang juga ikut berubah.

Dari amatan penulis di beberapa Dayah yang sebagian besar santrinya adalah milenial, pelarangan menggunakan handphone dilingkungan belajar masih berlangsung. Santri begitu juga guru tidak dibenarkan menggunakan alat tersebut dengan tujuan agar lebih fokus dalam belajar.

Namun di Aceh sistem pendidikan dayah sebetulnya sudah disetarakan dengan pendidikan umum. Artinya konsep belajarnya sudah pula menganut model pembelajaran modern dengan mengoptimalkan fungsi teknologi informasi.

Dayah dengan segenap pengalaman yang dimiliki dalam membangun peradaban ilmu agama, tentu saja tidak boleh berdiam diri untuk beradaptasi dengan lingkungan yang semakin berubah. Bukan pula ikut terbawa arus zaman, namun nilai-nilai kesalehan sosial sesuai kebutuhan zaman yang ditanamkan pada santri juga perlu diharmonisasikan.

Bagaimana pun, ketika masa studi santri telah selesai di Dayah, mereka akan kembali ke masyarakat. Mereka menjadi ujung tombak ditengah-tengah umat untuk menyelesaikan berbagai persoalan. Disinilah kompetensi mereka diuji dengan sesungguhnya.

Sementara era 5.0 telah membawa berbagai persoalan baru dalam kehidupan sosial masyarakat. Teknologi digital menciptakan perilaku salah kaprah dan hantaman degredasi moral dikalangan umat.

Sebaliknya, santri yang dulunya belajar di Dayah namun buta terhadap teknologi informasi, maka sebagai agen perubahan mereka akan mengalami bermacam hambatan untuk menyelesaikan masalah keumatan yang kian individualis dan miskin nilai spiritual.

Mengapa? Karena mereka tidak mengalami secara langsung dan kurang memiliki literasi teknologi informasi yang mumpuni. Malah yang dikuatirkan mereka akan menjadi bulan-bulanan ditengah lautan dunia digital akibat kurang belajar.

Penulis tidak mengatakan teknologi itu sebagai tuhan. Akan tetapi kehidupan manusia hari ini hampir seluruh aspek tidak dapat dipisahkan dengan Internet. Perangkat digital menjadi senjata untuk mempertahankan diri (at least), jika tidak mau digunakan sebagai alat untuk menyerang musuh.

Saya kira Anda paham dengan apa yang saya maksudkan tersebut. Ilmu agama sangat penting untuk mengarahkan kehidupan ke jalan yang lurus, namun menguasai teknologi informasi juga penting sebagai alat bantu untuk meluruskan sesuatu yang bengkok.

Sebab itulah, revolusi Dayah pada aspek industri 5.0 mutlak dilakukan. Dayah harus terintegrasi dengan layanan internet, terbiasa dengan budaya digital, menguasai teknologi informasi, dan siap mengisi konten (content creator) untuk berdakwah dan menyeru umat pada jalan yang benar (jihad fisabilillah).

Semoga ada manfaatnya. Allahu'alam. (*)

Hari Santri Nasional (Dokpri)
Hari Santri Nasional (Dokpri)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun