Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Sebuah Introspeksi] Mengapa Covid-19 Betah di Indonesia?

24 Agustus 2021   10:50 Diperbarui: 24 Agustus 2021   11:03 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Gambar Ilustrasi/Xin Hua/Kompas)

Pada fase awal kemunculannya, Corona Virus Disease 19 atau disingkat Covid-19 di Indonesia identik dengan virus Wuhan.

Banyak orang menyebutnya virus Wuhan.

Wuhan, sebuah distrik di China sebagai "rahim" yang melahirkan virus paling ditakuti saat ini terutama di Indonesia. Takuti karena bisa menjadi penyebab utama kematian.

Mengantisipasi Covid-19 yang berevolusi menjadi wabah/pandemi secara cepat karena pola penularannya melalui manusia, pemerintah melakukan berbagai langkah.

Kebijakan terbaru yang diterbitkan oleh pemerintah pusat hingga ke kab/kota yaitu penerapan PPKM Level 3 dan 4 untuk masing-masing daerah sesuai risiko yang dihadapi.

Penerapan PPKM sudah berlangsung selama 4-5 bulan meski berlaku secara sporadis tapi selalu terjadi perpanjangan. Seakan pandemi tidak pernah tuntas.

Akibatnya masyarakat pun sudah merasa sangat jenuh dan bosan dipaksa menghadapi PPKM. Walau pemerintah mengklaim PPKM berdampak positif dan signifikan terhadap penurunan penderita Covid-19.

Soal apakah benar atau tidak terhadap klaim tersebut berpulang ke masing-masing kita untuk menilainya. Namun pemerintah telah merilis data-data untuk mendukung hal itu.

Dibandingkan negara asalnya China, kehadiran Covid-19 di Indonesia cenderung lebih lama dan terkesan sangat betah. Sudah 2 tahun lamanya pemerintah disibukkan melayani sang covid, sampai-sampai dibentuk panitia khusus untuk memonitor keberadaan covid seantero nusantara.

Tidak hanya memberikan fokus, pemerintah juga mem-backup panitia Covid-19 itu dengan dana super jumbo. Tidak tanggung-tanggung ratusan triliun rupiah diguyurkan agar Covid-19 mau balik ke kampung halamannya Wuhan.

Tapi dasar tamu yang terlanjur cocok hidup di Indonesia, covid enggan pindah, bahkan cenderung memperluas daya jelajah hingga ke pelosok-pelosok. Kelihatannya Indonesia harus siap berdamai jika ada niat untuk mengusirnya.

Kata orang, kadung jatuh cinta terhadap Indonesia. Covid-19 happy berada di negeri yang mulai dikenali. Dan masalahnya rakyat Indonesia pun senang "memelihara" sang covid. Apa buktinya senang?

Bukti paling vulgar yaitu tidak disiplin pada protokol kesehatan yang dianjurkan. Enggan menggunakan masker kalau keluar rumah, dan suka bikin kerumunan massa. Padahal pemerintah sudah melarangnya.

Dan banyak lagi bukti yang lainnya, termasuk tidak mau melakukan vaksinasi, tidak menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh, tidak menjaga kebersihan diri dan lingkungan, dan malah semakin menjauhkan diri dari Allah SWT sebagai tempat kita meminta pertolongan.

Itu semua merupakan sikap buruk yang dimiliki masyarakat kita, karena itu membuat Covid-19 betah di Indonesia. Bagaimana dengan perilaku pemerintah? Kurang lebih sama meskipun hanya oknum.

Jadi kalau misalnya kita tidak mau merubah pola hidup kearah yang lebih higienis dan sehat, jangan berharap Covid-19 akan minggat meski PPKM diperpanjang ratusan kali.

Bukan justru lebih baik malah menimbulkan berbagai masalah baru, pat gulipat pendemi semakin subur makmur. Sementara rakyat mati kelaparan karena tidak bisa bekerja dan menjalankan usaha.

Terus sampai kapan akan seperti ini? Pak Luhut Binsar Panjaitan sendiri, sebagai "otak" panitia Covid-19 nasional tidak tahu kapan pandemi itu akan tamat. Beliau malah memberikan sinyal PPKM akan berlanjut selama pandemi Covid-19 masih ada.

So bagaimana sikap kita? Kembali ke komitmen warga untuk memandang bahwa Covid-19 memang riskan. Wabah ini telah melumat kekuatan ekonomi nasional, dan menghilangkan jutaan lapangan kerja.

Jadi sudah selayaknya warga dan utama pemerintah agar serius dan bertindak sesuai dengan yang diucapkan. Masyarakat dan pemerintah bersatu padu dan satu kata. Itulah prinsip sinergi dan kolaborasi (gotong royong).

Jangan sebaliknya, rakyat dilarang untuk beraktivitas diluar rumah, sementara para pejabat negara justru jalan-jalan ke luar negeri.

Pemerintah melarang membuat kerumunan tapi mereka sendiri melanggarnya. Politisi bilang bersama rakyat tapi dibiarkan hak-haknya dikebiri. Malah asik pertontonkan diri tanpa ada empati.

Tidak ada ketauladanan dan inkonsistensi antara lisan dan perbuatan yang dipraktikkan sebagian pejabat negara telah membuat langkah antisipasi Covid-19 semakin berliku-liku. Akibatnya lahirlah PPKM berjilid-jilid bak sinetron bersambung.

Ah sudahlah...

Terakhir sebagai rakyat yang baik, saya sudah mengikuti apa yang dianjurkan oleh pemerintah termasuk sudah melakukan vaksinasi Covid-19 dosis kedua.

Secara pribadi saya mendoakan dan berharap sangat agar pendemi ini segera selesai dan masyarakat bisa melakukan aktivitas seperti biasa tanpa ragu dan takut. Insya Allah. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun