Akan tetapi kelompok terindoktrinasi akan cenderung mengikuti apa kata Tuannya. Siapa Tuannya, itulah dia yang mengendalikan pikiran mereka.
Praktik ini biasanya dimulai dengan cara-cara offensif dan cuci otak (brain wash). Menanamkan rasa takut agar korban indoktrinasi bisa dikendalikan adalah strategi lanjutan yang paling efektif. Bayangkan jika budaya indoktrinasi ada di kampus.
Lantas bagaimanakah sebenarnya konteks kampus merdeka dengan indoktrinasi. Apakah kampus merdeka ingin menolak praktik indoktrinasi di lingkungan pendidikan tinggi?
Sebagaimana telah diketahui oleh banyak orang bahwa dunia kampus sarat dengan nilai-nilai ilmiah, mengajarkan demokratis, dan kebebasan berpikir. Hal ini tercermin pada kegiatan mimbar bebas yang diusung oleh perguruan tinggi dan sivitas akademika seperti tercantum dalam peraturan menteri pendidikan tinggi.
Sehingga segala bentuk praktik indoktrinasi sebetulnya sangat tidak tepat diterapkan pada institusi perguruan tinggi mana pun, terlebih di negara demokrasi seperti Indonesia.
Namun faktanya, saat ini masih banyak dosen dan para pimpinan di perguruan tinggi yang secara sadar menanamkan indoktrinasi bagi mahasiswa dan terhadap bawahan.
Penekanan indoktrinasi yang dilakukan terfokus pada aspek mematikan daya pikir kritis. Korban indoktrinasi diharamkan untuk mengkritik, menolak, dan apalagi membantah. Sehingga mereka seperti layaknya Kerbau yang dicocok hidungnya.
Pendekatan Indoktrinasi pun dijalankan dengan sistematis. Strategi yang sering digunakan sebagai alat untuk memperkuat indoktrinasi adalah berupa aturan yang sengaja disusun untuk kepentingan itu. Aturan disini bisa berbentuk tulisan maupun lisan. Seperti mengatasnamakan kebijakan ataupun perintah atasan.
Pendekatan lainnya adalah apa yang disebut dengan istilah "penjajahan struktural," Hal ini lazimnya berlaku di berbagai organisasi yang masih mengandalkan struktur sebagai sistem pengendalian manajemen. Dimana pimpinan paling tinggi berada pada top level dalam struktur, begitu seterusnya sampai ke bawah.
Bagi para manajer yang menganut paham strukturisme dalam organisasi, mereka percaya bahwa pimpinan puncak merupakan "dewa". Artinya hampir saja pimpinan tertinggi (begitu mereka menyebut dirinya) selalu menganggap dirinya paling benar dan tidak boleh disalahkan. Layaknya Dewa.
Di kelas, seorang dosen yang terbiasa dengan indoktrinasi dia akan menakut-nakuti mahasiswa dengan berbagai ancaman dan sikap otoriter.