Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Kabinet Rekonsiliasi Memang Menarik, Maukah Sandiaga Jadi Menterinya Jokowi?

17 Juni 2019   15:13 Diperbarui: 19 Juni 2019   09:12 1659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ANTARA/Puspa Perwitasari)

Jokowi optimis jika kubunya bakal menang di Mahkamah Kontitusi dan dirinya bersama Ma'ruf Amin akan ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang dilantik periode 2019-2024 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Rasa optimis dan keyakinan Jokowi itu dapat kita lihat melalui pernyataannya di media massa perihal susunan kabinet masa jabatan periode kedua sebagai Presiden RI. Meskipun berita tersebut belum tentu benar, namun hal tersebut sudah tersebar ke publik.

Bahkan Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW) Neta S Pane telah memiliki info akurat terkait figur yang bakal jadi menteri Presiden Joko 'Jokowi' Widodo di kabinet selanjutnya sebagaimana disiarkan oleh Tribunnews [dot] com edisi 17/6/2019.

Tidak hanya itu beredar pula kabar bahwa salah satu kursi menteri sudah dijatahkan ke cawapres 02 Sandiaga Salahuddin Uno. Artinya dipastikan bahwa kubu Prabowo-Sandi bukanlah pemenang pilpres 2019. Benarkah informasi ini A1 seperti kata Presidium Indonesian Police Watch, Neta S Pane?

Kata Neta, proyeksi Sandiaga menjadi menteri di kabinet Jokowi merupakan bagian dari proses rekonsiliasi antara kubu 01 dan 02. Andai hal itu benar dan Sandiaga Uno menerima tawaran jabatan menteri dari Jokowi, maka arah rekonsiliasi sedang menemukan jalannya. Namun diperkirakan situasi itu sulit terjadi.

Sandi sendiri tak mau menanggapi lebih jauh dan menegaskan tim 02 tetap solid. Ia kini lebih fokus pada proses penyelesaian hukum sengketa pemilu yang sedang dipersoalkan di MK. Lagi pula Prabowo Subianto pun sebelumnya sudah mengeluarkan pernyataan tidak akan mundur dan berhenti berjuang sampai darah terakhir.

Tekad kubu Prabowo-Sandi untuk membuka seterang-terangnya dugaan pemilu yang terstruktur, sistematis, dan massif melalui jalur hukum memang patut didukung dan diapresiasi. Karena cara yang ditempuh tersebut konstitusional dan terhormat. Terserah nanti hasil seperti apa. Namun Prabowo-Sandi telah menunjukkan jalan yang benar kepada rakyat Indonesia dan para pendukungnya.

Namun seperti kata pepatah, sepanjang-panjangnya jalan pasti ada ujungnya. Artinya siapapun yang nanti ditetapkan dan dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia maka rivalnya harus dengan legowo dan berbesar hati untuk menerimanya. Perseturuan harus dihentikan, dan tidak boleh diteruskan menjadi dendam politik yang tiada berkesudahan. Itulah ujung jalan yang pasti akan bertemu.

Begitu pula Jokowi sebagai petahana tidak perlu merasa tersudutkan mana kala ada kritikan tajam dari rakyat Indonesia yang diarahkan pada pemerintahannya. Rasanya demokrasi kita tidaklah sama dengan model demokrasi yang ada di negara-negara lain. Indonesia memiliki keunikan dalam berdemokrasi.

Demokrasi Indonesia bertolak belakang dengan demokrasi barat yang mengusung konsep politik Macchiavelli yang memberikan pengertian politik sebagai; kekuatan, balas membalas, kemenangan, topeng, dan kelemahan lawan. Semua itu menjurus kepada praktik politik halal ala Macchiavelli.

Kita menginginkan demokrasi yang damai, sejuk, berkeadilan, dan jujur. Bukan demokrasi yang menghalalkan segala cara untuk merebut maupun mempertahankan kekuasaan apalagi sampai menggunakan kekuatan militer untuk mencapai tujuannya.

Demokrasi yang soft hanya akan terwujud apabila para politisi dan pelaku demokrasi itu sendiri memegang teguh prinsip-prinsip yang telah saya sebutkan di atas. Perilaku curang, culas, dan manipulasi politik justru melahirkan demokrasi yang merusak nilai-nilai demokrasi Indonesia.

Saya rasa itulah pondasi penting bagaimana bangunan demokrasi akan terbangun. Sayangnya hari ini sebagian kelompok menyerukan jalan rekonsiliasi, namun mereka lupa bahwa rekonsiliasi bukanlah cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah politik apabila tidak saling mengakomodir visi politik para pihak.

Namun pertanyaannya bukankah visi politik antara Prabowo-Sandi dan Jokowi-Ma'ruf berbeda? Bahkan karena perbedaan visi politik itulah yang membuat munculnya gesekan-gesekan antar kedua kubu pendukung. Walaupun berbeda visi politik bukan berarti tidak memiliki tujuan yang sama dalam mengelola negara ini.

Lantas untuk mencapai sebuah rekonsiliasi ada hal-hal yang harus menjadi prasyarat. Prasyarat dibutuhkan untuk memulihkan sebuah hubungan menjadi normal kembali. Memulihkan hubungan berarti meniadakan konflik, mengesampingkan perbedaan yang berujung perselisihan. Posisi ini berarti mendudukkan pada posisi yang setara. Tapi benarkah kubu Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandi berkonflik?

Tapi okelah mari kita berpandangan bahwa di antara dua kontestan tidak ada konflik. Namun yang ada hanyalah sebuah kontestasi politik yang mungkin terjadi polarisasi sehingga membelah persatuan bangsa. Artinya imbasnya lebih besar dirasakan oleh rakyat bawah dalam mengartikulasikan politik pasangan calon yang mereka dukung.

Lalu dengan rekonsiliasi politik antara Jokowi-Prabowo diharapkan terjadi normalisasi hubungan sampai ke tingkat paling bawah level pendukung militan dan fanatik. Namun bagaimana rekonsiliasi itu bisa terwujud bila "kesetiaan" pendukungnya dikhianati?

Baik Jokowi maupun Prabowo Subianto keduanya perlu memiliki keinginan yang sama bila menghendaki rekonsiliasi. Adapun desakan berbagai pihak termasuk desakan dari Jusuf Kalla --memang bagus-- tapi tanpa dimulai oleh dorongan dari dalam diri kedua tokoh, partai pendukung, dan rakyat rencana rekonsiliasi akan prematur.

Apalagi dengan strategi menawarkan posisi dan jabatan secara terbuka dihadapan publik justru itu sebagai cara yang sangat buruk. Karena itu dapat mempermalukan pihak yang merasa kalah. Cara itu akan menjatuhkan martabat Jokowi ataupun Prabowo.

Belum lagi kita bicara sikap partai pengusung yang telah berjuang keras dan berdarah-darah selama ini untuk menenangkan calon mereka. Dengan mengerahkan segala sumber daya yang dimiliki. Apakah mereka akan menerima begitu saja bila kemudian berada dalam pemerintahan? Rasa pikir tidak mudah. Sebab jika itu mereka lakukan maka ditentang oleh para pendukungnya.

Sekarang mari kita tanyakan, seriuskah wacana rekonsiliasi ini mau diwujudkan? Atau sekadar bahasa politik untuk memukul daya juang lawan? Atau juga strategi mengulur-ngulur waktu sambil lihat-lihat perkembangan? Barangkali pula tidak perlu adanya rekonsiliasi karena memang tidak ada konflik. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun