Kita menginginkan demokrasi yang damai, sejuk, berkeadilan, dan jujur. Bukan demokrasi yang menghalalkan segala cara untuk merebut maupun mempertahankan kekuasaan apalagi sampai menggunakan kekuatan militer untuk mencapai tujuannya.
Demokrasi yang soft hanya akan terwujud apabila para politisi dan pelaku demokrasi itu sendiri memegang teguh prinsip-prinsip yang telah saya sebutkan di atas. Perilaku curang, culas, dan manipulasi politik justru melahirkan demokrasi yang merusak nilai-nilai demokrasi Indonesia.
Saya rasa itulah pondasi penting bagaimana bangunan demokrasi akan terbangun. Sayangnya hari ini sebagian kelompok menyerukan jalan rekonsiliasi, namun mereka lupa bahwa rekonsiliasi bukanlah cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah politik apabila tidak saling mengakomodir visi politik para pihak.
Namun pertanyaannya bukankah visi politik antara Prabowo-Sandi dan Jokowi-Ma'ruf berbeda? Bahkan karena perbedaan visi politik itulah yang membuat munculnya gesekan-gesekan antar kedua kubu pendukung. Walaupun berbeda visi politik bukan berarti tidak memiliki tujuan yang sama dalam mengelola negara ini.
Lantas untuk mencapai sebuah rekonsiliasi ada hal-hal yang harus menjadi prasyarat. Prasyarat dibutuhkan untuk memulihkan sebuah hubungan menjadi normal kembali. Memulihkan hubungan berarti meniadakan konflik, mengesampingkan perbedaan yang berujung perselisihan. Posisi ini berarti mendudukkan pada posisi yang setara. Tapi benarkah kubu Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandi berkonflik?
Tapi okelah mari kita berpandangan bahwa di antara dua kontestan tidak ada konflik. Namun yang ada hanyalah sebuah kontestasi politik yang mungkin terjadi polarisasi sehingga membelah persatuan bangsa. Artinya imbasnya lebih besar dirasakan oleh rakyat bawah dalam mengartikulasikan politik pasangan calon yang mereka dukung.
Lalu dengan rekonsiliasi politik antara Jokowi-Prabowo diharapkan terjadi normalisasi hubungan sampai ke tingkat paling bawah level pendukung militan dan fanatik. Namun bagaimana rekonsiliasi itu bisa terwujud bila "kesetiaan" pendukungnya dikhianati?
Baik Jokowi maupun Prabowo Subianto keduanya perlu memiliki keinginan yang sama bila menghendaki rekonsiliasi. Adapun desakan berbagai pihak termasuk desakan dari Jusuf Kalla --memang bagus-- tapi tanpa dimulai oleh dorongan dari dalam diri kedua tokoh, partai pendukung, dan rakyat rencana rekonsiliasi akan prematur.
Apalagi dengan strategi menawarkan posisi dan jabatan secara terbuka dihadapan publik justru itu sebagai cara yang sangat buruk. Karena itu dapat mempermalukan pihak yang merasa kalah. Cara itu akan menjatuhkan martabat Jokowi ataupun Prabowo.
Belum lagi kita bicara sikap partai pengusung yang telah berjuang keras dan berdarah-darah selama ini untuk menenangkan calon mereka. Dengan mengerahkan segala sumber daya yang dimiliki. Apakah mereka akan menerima begitu saja bila kemudian berada dalam pemerintahan? Rasa pikir tidak mudah. Sebab jika itu mereka lakukan maka ditentang oleh para pendukungnya.
Sekarang mari kita tanyakan, seriuskah wacana rekonsiliasi ini mau diwujudkan? Atau sekadar bahasa politik untuk memukul daya juang lawan? Atau juga strategi mengulur-ngulur waktu sambil lihat-lihat perkembangan? Barangkali pula tidak perlu adanya rekonsiliasi karena memang tidak ada konflik. (*)