Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Referendum Sama dengan Makar?

31 Mei 2019   11:47 Diperbarui: 31 Mei 2019   12:25 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Referendum itu kata "suci" dalam perbendaharaan kata para pejuang demokrasi dan keadilan manapun di dunia.  Bagi mereka yang merasa tertindas dan dikesampingkan dalam proses demokrasi sebuah negara, maka jalan keluar yang paling elegan dan terbaik adalah dengan mengajukan referendum.

Bagi Muzakir Manaf dan pihak yang pro terhadap referendum tentu saja mereka memiliki dalil yang kuat mengapa meminta referendum dilakukan untuk Aceh. Dan dari pernyataan awal yang sangat bersahaja di depan Pangdam Iskandar Muda dan Kapolda Aceh dan beberapa pejabat penting lainnya Muzakir Manaf secara eksplisit menyatakan alasan tersebut.

Saya coba mengutip kembali cuplikan pernyataan Muzakir Manaf atau sering disapa Mualem "Alhamudlillah, kita melihat saat ini, negara kita di Indonesia tak jelas soal keadilan dan demokrasi. Indonesia diambang kehancuran dari sisi apa saja. Itu sebabnya, maaf Pak Pangdam, ke depan Aceh kita minta referendum saja," ujar Mualem.

Cukup jelas pesan dan latar belakang pemikiran seorang Mualem, hal itu terlihat pada kata kunci "keadilan" dan "demokrasi." yang pada dasarnya bagi Indonesia itulah kata kunci yang harus terwujud dalam praktik pemerintahan dan dalam perilaku penguasa. Bila kedua hal itu tercederai, maka Indonesia sudah kehilangan ruhnya sebagai negara kesatuan yang mengklaim dirinya berdemokrasi.

Oleh karena itu sejatinya pemerintah perlu melakukan introspeksi diri apabila saat ini dimana-mana daerah meminta referendum, bukan justru membalas dengan jawaban operasi militer dan ancaman penangkapan tokoh-tokoh yang dianggap berbeda pendapat. Dalam ruang demokrasi perbedaan paham sekalipun harus diakomodir bukan dibasmi seperti sistim negara komunis. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun