Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Referendum Sama dengan Makar?

31 Mei 2019   11:47 Diperbarui: 31 Mei 2019   12:25 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ryamizard Ryacudu, Menteri Pertahanan Republik Indonesia | okezone.com

Bagai bola salju, isu referendum jilid kedua terus bergulir di negeri tanah rencong. Tidak ada pihak manapun yang memaksa tapi publik di Aceh dengan penuh semangat membahas atau memperbincangkan isu referendum yang dilontarkan oleh mantan wakil gubernur Aceh Muzakir Manaf beberapa hari yang lalu.

Diskursus referendum menarik untuk kita bedah karena isu tersebut ditanggapi oleh beberapa pihak secara berlebihan bahkan dikatakan makar? Benarkah referendum sama dengan makar?

Referendum berasal dari kata refer, berarti mengembalikan. Sistem referendum berarti pelaksanaan pemerintahan didasarkan pada pengawasan secara langsung oleh rakyat, terutama terhadap kebijakan yang telah, sedang, atau akan dilaksanakan oleh badan legislatif atau eksekutif.

Menuru KBBI, referendum adalah penyerahan suatu masalah kepada orang banyak supaya mereka yang menentukannya (jadi, tidak diputuskan oleh rapat atau oleh parlemen); penyerahan suatu persoalan supaya diputuskan dengan pemungutan suara umum (semua anggota suatu perkumpulan atau segenap rakyat).

Secara teori makna referendum sama saja dengan jajak pendapat biasa. Jika Indonesia baru saja menyelesaikan pemilu, maka pemilu itu adalah bentuk praktik referendum. Sehingga dapat dikatakan referendum bukanlah perbuatan makar. Sebab semua proses dan hasilnya pun ditentukan oleh rakyat itu sendiri.

Sehingga sangat aneh bila pemerintah menanggapi reaksional terhadap wacana referendum bagi Aceh. Padahal pemerintahlah yang seharusnya memberikan informasi yang benar tentang referendum bukan menjawabnya dengan ancaman militer yang aneh-aneh.

Pemerintah melalui Menhan Ryamizard Ryacudu kembali membalas ide referendum Muzakir Manaf dengan mengatakan bahwa Aceh pernah menjadi daerah operasi militer (DOM) dengan sandi operasi jaring merah pada masa orde baru dan Presiden Megawati. Namun operasi militer itu menghasilkan pembunuhan ratusan ribu rakyat sipil yang tidak berdosa dan pelanggaran HAM berat.

Menhan seperti tidak mengerti bahwa referendum itu merupakan jajak pendapat yang lazim dilakukan oleh negara-negara demokrasi di dunia. Termasuk Indonesia telah mengambil jalan demokrasi sebagai sistim Pemerintahan, sehingga tidak ada alasan menolak referendum.

Jika pemerintah menjawab keinginan referendum sebagian daerah dan rakyat Indonesia dengan ancaman militer maka inilah pertanda bahwa rezim saat ini bukan rezim demokratis, walaupun tidak dikatakan feodal atau tiran namun langkah kekerasan bukanlah cara yang tepat jika pemerintah mau meredam isu tersebut.

Sebab dalam konstitusi Indonesia tidak ada larangan referendum meskipun juga tidak dibuka ruang secara terbuka dan bebas.  Artinya wacana referendum masih dalam kategori bukan istilah yang haram. Jadi tidak perlu mengkriminalisasi istilah referendum menjadi kata yang ilegal untuk diucapkan.

Referendum itu kata "suci" dalam perbendaharaan kata para pejuang demokrasi dan keadilan manapun di dunia.  Bagi mereka yang merasa tertindas dan dikesampingkan dalam proses demokrasi sebuah negara, maka jalan keluar yang paling elegan dan terbaik adalah dengan mengajukan referendum.

Bagi Muzakir Manaf dan pihak yang pro terhadap referendum tentu saja mereka memiliki dalil yang kuat mengapa meminta referendum dilakukan untuk Aceh. Dan dari pernyataan awal yang sangat bersahaja di depan Pangdam Iskandar Muda dan Kapolda Aceh dan beberapa pejabat penting lainnya Muzakir Manaf secara eksplisit menyatakan alasan tersebut.

Saya coba mengutip kembali cuplikan pernyataan Muzakir Manaf atau sering disapa Mualem "Alhamudlillah, kita melihat saat ini, negara kita di Indonesia tak jelas soal keadilan dan demokrasi. Indonesia diambang kehancuran dari sisi apa saja. Itu sebabnya, maaf Pak Pangdam, ke depan Aceh kita minta referendum saja," ujar Mualem.

Cukup jelas pesan dan latar belakang pemikiran seorang Mualem, hal itu terlihat pada kata kunci "keadilan" dan "demokrasi." yang pada dasarnya bagi Indonesia itulah kata kunci yang harus terwujud dalam praktik pemerintahan dan dalam perilaku penguasa. Bila kedua hal itu tercederai, maka Indonesia sudah kehilangan ruhnya sebagai negara kesatuan yang mengklaim dirinya berdemokrasi.

Oleh karena itu sejatinya pemerintah perlu melakukan introspeksi diri apabila saat ini dimana-mana daerah meminta referendum, bukan justru membalas dengan jawaban operasi militer dan ancaman penangkapan tokoh-tokoh yang dianggap berbeda pendapat. Dalam ruang demokrasi perbedaan paham sekalipun harus diakomodir bukan dibasmi seperti sistim negara komunis. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun