Kalimat pertama yang sangat pantas diucapkan saat ini untuk Indonesia adalah tragis dan menyedihkan. Tragis karena dalam 3 tahun terakhir berbagai peristiwa besar terjadi di Indonesia dan selalu berujung pada bencana. Itulah mengapa saya sebagai rakyat biasa yang dilahirkan oleh orang tua saya di negeri ini sangat sedih melihat berbagai kehancuran melanda Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bencana sering datang dari alam, banjir menerjang berbagai daerah seolah-olah tiada pernah terhenti. Belum lagi air surut dari banjir di Jakarta, namun di Makassar air sedang menerjang rumah-rumah warga, jalan raya, dan tempat-tempat ibadah. Begitu terus silih berganti sepanjang tahun.
Bencana kebakaran hutan yang juga sering menyesakkan dada masyarakat karena kepulan asap tebal dari bukit-bukit lahan sawit milik perusahaan bermodal besar terbang kemana-mana bahkan sampai ke luar negeri tanpa bisa terhenti.
Bencana wabah penyakit juga sering menjadi momok dan masalah yang menakutkan bagi rakyat jelata. Endemi berbagai penyakit menular tersebar di daerah-daerah kumuh dan jauh dari pusat kota terkadang hingga luput dari pandangan penguasa.
Peristiwa pembunuhan pun seakan sudah menjadi hal yang biasa terjadi di Indonesia. Media setiap hari mengekspose berita manusia yang kehilangan nyawa. Korbannya pun tidak kenal usia. Dari orok yang baru keluar dari rahim ibunya lalu ditemukan dalam selokan sempit karena dibuang oleh orang tuanya hingga nenek tua renta yang tergorok lehernya karena ditebas golok sang perampok yang menginginkan hartanya.
Kisah suami istri yang cekcok gara-gara ekonomi rumah tangga dan berakhir dengan adegan mutilasi yang dilakukan orang terdekat mereka semakin sempurnanya jiwa sadis dan brutal orang-orang Indonesia. Belum lagi anak-anak yang dipaksa renggut mahkotanya oleh iblis pemuas syahwat angkara murka.
Semua catatan hitam dan buruk begitu rupa kini seakan telah menjadi suatu keharusan kita untuk membacanya tanpa mampu kita hentikan dan mencegahnya. Rakyat dipertontonkan sebuah drama tragedi kemanusiaan yang masuk lewat televisi-televisi dari rumah mereka menjadi tontonan yang sudah biasa.
Begitukah nilai manusia dizaman gila? Nyawa manusia tak ubah seperti nyawa seekor lalat yang ditepuk oleh dua tangan lalu mati dan dibuang begitu saja. Harga nyawa manusia bisa dibeli dengan nilai 1000 rupiah saja bahkan tidak ada nilai sama sekali. Kemudian saya mulai merenung, negeri apakah Indonesia saat ini?
Mudahnya mencabut nyawa manusia di negeri Pancasila yang dulunya begitu dilindungi dan berharga. Menunjukkan bahwa nilai-nilai ketuhanan dan Kemanusiaan telah sirna dari dalam dada manusia Indonesia, terlebih pada mereka yang diamanahkan memegang senjata dan penguasa.
Penegakan hukum sebagai akibat dari perilaku durjana kepada begal penghilangan paksa nyawa manusia pun tidak berjalan sebagaimana mestiny. Seyogyanya nyawa dibayar nyawa bukan nyawa dibayar denda lalu sang pencabut nyawa bebas nelangsa kemana-mana. Namun hal itu membikin saya kecewa.
Penculikan dan pembunuhan cukup hanya dengan sandi terorisme, dengan kata kunci yang diciptakan musuh Nabi Musa kalian gunakan untuk menyapu bersih para hamba dari sajadah mereka. Tidak ada pengadilan yang seadil-adilnya atas apa yang dituduhkan padanya.
Negara dan penguasa seakan boleh berbuat apa saja, memposisikan diri sebagai wakil tuhan termasuk dalam urusan cabut mencabut nyawa. Sang raja yang duduk di singgah sana istana tersenyum puas karena kehebatan para pengabdinya telah bekerja sesuai selera sang raja. Ia tidak berkata apa-apa, selain berlindung dibalik simbol kekuasaan atas nama rakyatnya.
Hari ini di depan Bawaslu Jakarta, ratusan ribu massa berkumpul ingin menyampaikan aspirasi mereka. Mereka menuntut sesuatu yang menjadi haknya. Menyuarakan jutaan suara rintih pedih rakyat yang tidak berani berkata-kata. Namun apa yang terjadi, penguasa melalui tangan besi dan mesin senjata diarahkan pada tubuh mereka, begitulah sang raja menjawab pertanyaan rakyatnya.
Tidak perlu menunggu lama untuk mencabut nyawa rakyat yang menyusahkan sang raja dan kekuasaanya. Dengan dalih melanggar titah raja dan tidak sejalan dengan keinginan penguasa, rakyat jelata itu pun dikirim ke alam lain dengan moncong senjata yang dibeli oleh uangnya sendiri.
Barangkali kata sandi terorisme akan terus dipakai untuk membersihkan istana dari aspirasi yang tidak sama. Tuduhan ada kelompok yang mendalangi kerusahan di gedung dekat istana akan menjadi pemanis untuk membasmi orang-orang yang mencoba tegaknya nilai-nilai Pancasila, tapi sayangnya mereka dikatakan pelaku kudeta.
Saya, kita adalah Pancasila kini tidak lagi bermakna dan sakral dalam jagad raya kehidupan bangsa dan bernegara. Motto itu kini dan jauh sebelumnya memang sudah tidak lagi berharga, jika pun dipaksa ucapkan, tidak lebih hanya sekedar untuk menyenangkan hati penguasa saja.
Itulah kesedihan saya, sejarah mencatat hari ini 6 orang mati tertembak bedil di subuh buta yang bertepatan dengan malam diturunkannya kitab suci yang mulia Al-Quran di depan mata sang raja. Namun ia tidak berkata sepatah kata apapun meskipun hanya sekedar untuk menghibur saja.
Saya pun ingin mengutip sebuah firman Allah Subhanahu Wata'aala bagaimana hukumnya membunuh manusia.
Dalam al-Qur'an dikatakan, "Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya" (QS: Al-Maidah: 32). Ayat ini adalah salah satu contoh kecaman Islam atas setiap pembunuhan yang dilakukan dengan semena-mena.
Membunuh satu orang manusia ditamsilkan dengan membunuh semua manusia. Karena setiap manusia pasti memiliki keluarga, keturunan, dan ia merupakan anggota dari masyarakat. Membunuh satu orang, secara tidak langsung akan menyakiti keluarga, keturunan, dan masyarakat yang hidup di sekelilingnya.
Maka dari itu, Islam menggolongkan pembunuhan sebagai dosa besar kedua setelah syirik (HR: al-Bukhari dan Muslim). Kelak pelaku pembunuhan akan mendapatkan balasan berupa neraka jahannam (QS: al-Nisa': 93).
Semoga kita yang masih hidup dapat mengambil pelajaran dari nasehat zaman. Banyak penguasa yang tangannya berlumuran darah karena kekuasaannya. Dan tidak sedikit hidup mereka kemudian berujung tragis, dan dihinakan oleh sang Raja Diraja sebagaimana ia telah sewenang-wenang terhadap rakyatnya dan masyarakat lemah.
Oleh sebab itu kembalilah ke jalan kebenaran, tunjukkan keadilan, insflah dari perbuatan curang yang dapat merugikan yang bukan saja merugikan diri sendiri tetapi dapat menghancurkan bangsa ini dan melemahkan negara tercinta. Tidak perlu terlalu keras, mati-matian mempertahankan kesalahan demi kesalahan dengan menciptakan banyak lagi kebohongan dan dusta.
Pandanglah rakyat sebagai manusia. Mereka sudah cukup lelah menjalani hidup ini jangan ditambah lagi dengan penderitaan baru. Berilah mereka tempat untuk menyampaikan kata hati, keinginan, kebenaran, dan bahkan berikan mereka perlindungan agar jalinan kasih dan komunikasi dapat terbangun dalam bingkai kasih sayang, bukan sebaliknya.
Bagi rakyat yang mau menyampaikan prakatanya, sampaikanlah dengan bijaksana dan kesatria. Berjuang pasti membutuhkan pengorbanan. Maka sadarlah bahwa menuntut keadilan, mengkritik penguasa, apalagi mengecam kekuasaanya berarti Anda sedang membangunkan Harimau tidur, dan sudah pasti ia tidak suka. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H