Ada yang tersisa dari debat capres pilpres 2019 jilid keempat yang baru saja usai dilaksanakan oleh KPU di Hotel  Shangrila Jakarta, Sabtu (28/3) lalu. Hal yang tersisa itu sesuatu yang subtansial untuk dibahas dalam konteks pilpres, kekuaasan, dan pemerintahan.
Kebetulan tema malam debat itu berkenaan dengan pemerintahan, pertahanan keamanan, dan hubungan luar negeri. Saya rasa pokok bahasan pada debat menjelang hari pencoblosan sangat krusial dan mendasar untuk dipahami dan kuasai oleh kedua capres yang ada.
Mengapa mendasar? Karena siapapun yang terpilih menjadi the next president di republik ini ia berkewajiban menjalankan roda pemerintahan secara baik, efektif, dan efesien. Adapun pemilu hanyalah satu bagian terpenting lainnya dalam proses konsesi pemegang mandat kekuasan rakyat yang setelah terpilih maka ia harus menjadi pelayan rakyat.
Menarik tawaran Jokowi (capres 01) yang mem-branding inovasi pelayanan pemerintahannya jika menang periode kedua nantinya dengan akronim DILAN atau apa yang dimaksud oleh paslon 01 sebagai digital melayani. Artinya Jokowi akan memberikan pelayanan yang bersifat efektif, efesien, dan cepat dengan mengoptimalkan teknologi digital.
Konsep tersebut kemudian diterjemahkan dalam berbagai macam produk layanan yang diciptakan. Misalnya program beasiswa bagi mahasiswa melalui produk Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP Kuliah), atau program subsidi sembako murah dengan produk kartu Sembako murah, dan sebagainya.
Strategi pembangunan pelayanan publik yang ingin dikembangkan oleh Jokowi tentu sangat tepat dengan kondisi kekinian. Meskipun tingkat pemerataan teknologi informasi di Indonesia belum menjangkau seluruh daerah, seperti akses internet yang belum sampai ke desa-desa, bahkan listrik pun masih ada rakyat yang belum menikmati.
Tentu saja apa yang saya gambarkan di atas ada faktanya. Walaupun demikian kita harus melihat hal itu sebagai tantangan. Namun maksud yang ingin saya sampaikan adalah niat pelayanan digital tidak akan berjalan jika infrastruktur digitalisasi belum beres atau tersedia secara cukup dan baik.
Kembali ke Dilan, penggunaan Internet dan pengembangan layanan digital dalam memenuhi kebutuhan masyarakat tentu perlu disambut baik. Tetapi sebaik apapun sistem yang diciptakan kunci utamanya adalah manusia atau orang yang menjalankannya. Sumber daya manusia sebagai alat yang sangat penting bagi terlaksananya seluruh program pemerintah.
Dalam debat capres keempat kemarin Jokowi menyinggung bahwa jika dirinya bersama Ma'aruf Amin diberikan kepercayaan kembali oleh rakyat Indonesia, ia berjanji akan menciptakan satu pemerintahan yang bersih dengan pelayanan yang efektif dan efesien. Efektif dalam menjalankan program-program pro rakyat dan efesien dengan struktur yang ramping.
Inovasi yang ditawarkan Jokowi pun sudah ia sebutkan. Misalnya pemanfaatan Internet of Thing (IoT) untuk pelayanan berbasis online. Jokowi akan menerbitkan berbagai macam kartu yang di klaim sebagai salah satu bentuk reformasi dalam bidang pelayanan. Dengan kartu-kartu tersebut rakyat akan mendapatkan pelayanan yang cepat, murah, dan mudah.
Tetapi jika dipikir-pikir lebih jauh, apa kaitannya antara kartu dengan pelayanan yang cepat? Jika di suatu daerah ternyata ketersediaan jaringan internet sangat buruk di mana bukan hanya jangkauan yang terbatas juga lemotnya bukan main. Konon internet di Indonesia paling lemot di Asia Tenggara.
Lagi pula wacana E-goverment, E-Procurement, E-Budgeting, dan E-Planning sudah sering dikatakan. Seiingat saya sudah sejak Jokowi mencalonkan diri sebagai Cagub DKI bersama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok hal itu menjadi janji kampanye mereka.
Dari sebanyak model pemerintahan berbasis elektronik yang diwacanakan tidak semuanya terwujud, hingga kini E-goverment yang digadang-gadang itu tidak jelas bagaimana wujudnya. Mungkin untuk DKI Jakarta secara parsial beberapa aplikasi elektronik mulai dipakai dalam pemerintahan. Namun hal itu belum dapat dikatakan sudah E-goverment.
Lalu bagaimana di tingkat pemerintah pusat? Saya rasa apa yang dikampanyekan oleh Jokowi mengenai E-goverment masih sama dengan materi tahun 2014 lalu. Walaupun sudah menjadi presiden tapi untuk implimentasi E-goverment belum mampu diwujudkan. Barangkali ada hambatan yang mungkin kita tidak tahu.
Untuk model tata pemerintahan elektronik atau E-goverment saya rasa belum berhasil dilakukan oleh Jokowi meskipun masa kekuasaannya hampir berakhir. Adapun bermacam aplikasi daring yang digunakan oleh K/L sudah ada sejak pemerintahan sebelumnya atau bukan hal yang baru.
Terlepas dari kegagalan Jokowi-JK mewujudkan janji kampanye terkait tata pemerintahan berbasis elektronik. Namun wacana tersebut tentu sangat tepat, apalagi menghadapi era revolusi industri 4.0 dan zaman milenium. Indonesia membutuhkan sebuah strategi tata pemerintahan yang dapat menghentikan kebocoran uang negara karena berbagai penyimpangan aparatur.
Pelayanan yang selama ini dilakukan secara langsung human to human (antar manusia) kerap menjadi hubungan yang mengarah kepada kolusi, korupsi, dan nepotisme. Petugas pelayanan mempersulit masyarakat untuk menciptakan peluang mendapatkan keuntungan finansial bahkan tak jarang terjadi pungutan liar.
Itu yang saya sebut sebagai E-Governance. Indonesia bukan hanya memerlukan tata pemerintahan yang baik tapi juga membutuhkan tata kelola pemerintahan yang baik. Tata kelola yang baik hanya akan dicapai melalui pemanfaatan seluruh sumber daya yang unggul, berkualitas, dan berdaya guna.
Sumber daya yang dimaksud adalah seluruh sistem yang terlibat dalam proses pembentukan kebijakan, pengambilan keputusan, kepemimpinan, anggaran, nilai-nilai unggul seperti (kejujuran, kedisiplinan, budaya kerja), regulasi, politik, penegakan hukum, dan infrastruktur pendukung utama lainnya.
Sayangnya semenjak Jokowi-JK berkuasa tata kelola pemerintahan yang baik terlihat sangat rapuh dan jauh dari prinsip-prinsip transparansi. Misalnya dalam hal rekrutmen pejabat tinggi negara. Kecuali pada awal-awal pembentukan kabinet kerja, saat itu terlihat ada upaya Jokowi untuk menciptakan pemerintahan yang bersih (clean goverment) melalui pengangkatan menteri secara selektif.
Namun setelah satu tahun pertama masa kepemimpinannya, pemerintahan Jokowi justru semakin gaduh. Selain tidak baik dalam koordinasi antar K/L sehingga memunculkan ego sektoral yang berlebihan, juga terjadi tumpang tindih kebijakan. Sehingga seringkali rakyat melihat terjadinya silang pendapat antara para menteri yang kemudian membingungkan publik.
Nah lalu bagaimana mengatasi carut marut tata kelola pemerintahan dengan menggunakan E-Governance? Yaitu dengan penerapan teknologi informasi dan komunikasi untuk memberikan layanan pemerintah, pertukaran informasi, transaksi komunikasi, integrasi berbagai sistem yang dibangun.
Sekali lagi hal itu bisa dicapai apabila dalam penentuan kebijakan oleh pemegang kekuasaan memiliki leadership yang kuat, tegas, transparan, dan tidak korup. Korup artinya bersekongkol atau berafiliasi dengan kekuatan tertentu (politik) yang cenderung kolutif dan mementingkan kelompoknya sendiri.
Jika kita berkaca pada kondisi terkini di mana banyak pejabat negara, pimpinan partai politik, politisi, dan pejabat BUMN yang terkena OTT KPK mengindikasikan tata kelola pemerintah (good governance) belum terlaksana secara optimal.Â
Karena itu pemerintahan yang akan datang perlu merancang dan menerapkan sistem teknologi informasi yang andal untuk meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan yang baik, efektif, dan efesien. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H