Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Laporan "World's Most Literate Nations", Indonesia Darurat Literasi Membaca

28 Januari 2019   16:15 Diperbarui: 29 Januari 2019   10:24 20226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi membaca (shutterstock.com)

Tidak ada pengetahuan tanpa membaca. Membaca merupakan kegiatan yang sangat penting dalam menggali ilmu dan meningkatkan wawasan. Dengan membaca, setiap orang memiliki kesempatan untuk mengembangkan pemikirannya. Membaca yang dimaksudkan tentu saja dalam arti yang luas. Bukan hanya membaca yang tersurat namun juga tersirat.

Membaca berkorelasi dengan kecerdasan, karena aktivitas membaca akan merangsang otak dalam memproses setiap input. Manakala aktivitas otak bekerja secara optimal dalam mengolah, menganalisa, merumuskan, dan membuat ikhtisar setiap data serta informasi, maka akan menghasilkan sebuah kecerdasan.

Aktivitas berpikir adalah bagian terpenting dari fungsi otak. Melalui berpikir, maka potensi nalar manusia akan berkembang. Apalagi dengan berpikir hal-hal yang positif dan bermanfaat, maka nilai manusia semakin berkualitas. Oleh karena itu membaca dan berpikir akan mengantarkan seseorang menjadi cerdas.

Budaya membaca memang sudah ada sejak memasuki zaman modern. Era membaca saat ini dikenal dengan literasi baca. Literasi sendiri dapat diartikan sebagai kemampuan menulis dan membaca, pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu, serta kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup.

Dalam pandangan umum, literasi dapat maknai sebagai kegiatan mencari tahu dan menambah ilmu pengetahuan. Salah satu kegiatan yang dapat dikategorikan literasi seperti membaca, belajar, menulis, berhitung, dan lain sebagainya. Dan saat ini literasi dapat dikelompokkan sesuai dengan bidang pengetahuan dan ilmu. Misalnya literasi sastra, teknologi, dan sejarah.

Dengan demikian budaya membaca dapat dikatakan sebagai budaya literasi membaca. Pada umumnya budaya literasi baca berkembang mengikuti kebiasaan pada suatu tempat atau komunitas. Di negara-negara maju budaya membaca sudah sangat tinggi. Bahkan aktivitas membaca sudah menjadi kebutuhan setiap individu.

Sebagai contoh negara Finlandia, berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan PBB (UNESCO) yang dirangkum dalam laporannya tahun 2016, negara tersebut menduduki peringkat pertama dunia dengan tingkat literasi paling tinggi. Sedangkan Indonesia hanya peringkat 60 dari 61 negara yang disurvei.

Bahkan menurut data kementerian koordinator bidang pembangunan manusia dan kebudayaan, rata-rata orang Indonesia hanya membaca buku sebanyak tiga hingga empat kali dalam seminggu, dengan menghabiskan waktu 30-60 menit per hari. Jumlah buku yang ditamatkan pun hanya 5 hingga sembilan buku per tahun.

Dengan kenyataan tersebut sungguh sangat memilukan dan ironi. Meskipun Indonesia negara baru merdeka atau belum berusia satu abad. Tetapi Indonesia tidaklah tergolong negara yang terbelakang. Bahkan dalam banyak aspek Indonesia lebih maju dari beberapa negara lain. Pun begitu, tingkat minat baca orang Indonesia patut menjadi perhatian kita bersama.

Sehingga memang tidak berlebihan jika ada pihak yang menggaris-bawahi kalau literasi Indonesia saat ini sedang mengalami krisis, atau lebih tepat disebut darurat literasi. 

Mereka beralasan pembangunan literasi ilmu dan lebih spesifik literasi baca telah berada pada titik terendah dan mendekati kepada kehancuran. Jika kondisi ini dibiarkan saja, maka pada fase berikutnya akan terjadi pembodohan massal.

Sejujurnya fakta ini siapapun dapat melihat dengan jelas. Tidak adanya ketertarikan bangsa ini dengan dunia baca dapat dirasakan oleh siapapun yang hidup atau pernah hidup di Indonesia. Bahkan jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya, justru kakek nenek kita lebih mencintai buku, menulis, dan belajar ilmu pengetahuan daripada generasi sekarang.

Sehingga apabila diukur, maka dapat dikatakan literasi baca di Indonesia telah mengalami kemunduran. Indikator tersebut terkonfirmasi dengan hasil survei UNESCO. Data lainnya masih dari UNESCO juga menggambarkan bagaimana rendahnya keinginan membaca orang Indonesia. Indeks membaca kita sekitar 0,001%. Artinya dalam setiap 1000 orang, hanya satu yang memiliki minat membaca.

Indonesia perlu belajar pada negara Finlandia dalam memajukan budaya literasi di tanah air. Finlandia bukanlah negara besar dibagian eropa. Ia hanya sebuah negara kecil yang jumlah penduduknya kurang lebih 5,505 juta jiwa, dengan luas 338,424 km. Namun mereka mampu menjadikan dirinya sebagai negara dengan model pendidikan terbaik dunia, termasuk budaya literasi baca.

Konon lagi Indonesia negara besar dan memiliki segalanya. Kekayaan alam yang melimpah, sumber daya manusia mencapai 260 juta jiwa lebih. Seyogyanya kita lebih mampu dari Finlandia dalam segala hal. Namun nyatanya Indonesia masih kalah dari Filipina sekalipun dalam konteks budaya literasi membaca.

Berangkat dari masalah tersebut, sudah saatnya para pengambil kebijakan di negeri ini untuk mengubah keadaan. Pemerintah dan segenap pemangku kepentingan wajib menyusun strategi yang tepat untuk mendorong terciptanya sebuah budaya membaca yang melekat pada kepribadian bangsa. Jika diistilahkan dengan bahasa sekarang, kebiasaan membaca mesti menjadi otomasi gaya hidup setiap orang Indonesia.

Bagaimana caranya? Pertama, hilangkan doktrinasi bahwa membaca merupakan urusan sekolahan. Hapus cara pandang bahwa hanya siswa dan mahasiswa saja yang pantas membaca atau bahkan wajib membaca.

Sudah menjadi pemahaman umum yang seolah-olah telah menjadi kebenaran mutlak kegiatan membaca, belajar, berpikir ilmiah, itu adalah ranahnya dunia sekolah, kampus, atau institusi pendidikan. Sehingga masyarakat diluar koridor tersebut tidak memiliki kewajiban moral untuk membaca dan mengembangkan literasi membaca. Sebetulnya tidaklah demikian. Membaca dan belajar tidak ada batasnya.

Kedua, berikan penghargaan yang tinggi bagi aktivitas membaca dan mengembangkan literasi. Penghargaan yang dimaksud adalah kompensasi yang setimpal. Kompensasi itu dapat berwujud dalam ragam bentuk, baik materi maupun non materi.

Ketiga, kembangkan literasi berbiaya rendah. Tak bisa dipungkiri jika salah satu kendala besar dalam menumbuhkan minat baca dikalangan masyarakat adalah persoalan ekonomi.

Bagiamana seorang ayah atau orang tua mengajak anak-anak mereka untuk membaca 40 buku pertahun jika biaya untuk makan sehari-hari saja susah? Anda tidak cukup dengan mengatakan, "kan bisa datang ke pustaka pemerintah?" atau "disekolah atau kampus kan ada pustakanya."

Jika Anda berkata demikian, berarti Anda dan kita semuanya belum memahami persoalan mendasar bangsa Indonesia yang menjadi hambatan dalam meningkatkan minat baca. Ketertarikan seseorang terhadap dunia baca bukan persoalan hobi atau passion. Namun ada kaitannya dengan ekonomi, sosial, budaya bahkan kebijakan pemerintah.

Keempat, ciptakan harga buku murah. Harus kita akui bahwa tingkat harga buku di Indonesia tergolong paling mahal di Asia. Bahkan mungkin di dunia. 

Pertanyaannya Mengapa kok mahal? Bukankah Indonesia memiliki pabrik kertas dan hutan yang luas? Artinya bahan baku untuk mencetak buku tidak perlu diimpor dengan biaya tinggi. Tapi sekali lagi, kenapa harga buku di Indonesia mahal? Atau bukan harga buku yang mahal, namun pendapatan masyarakat yang rendah?

Kelima, ciptakan kebiasaan (habitual) dan gerakan menulis. Perlu diketahui bahwa salah satu mengapa literasi membaca di Finlandia maju. Salah satunya adalah selain diwajibkan siswa membaca juga diharuskan menulis apa yang mereka baca dan pikirkan. Dengan begitu, generasi kita kedepan akan terbiasa dengan membaca dan menulis. 

Nah jika sudah seperti itu, maka dunia literasi ilmu akan berkembang dengan sendirinya. Lalu kemudian muncullah era dimana peradaban ilmu pengetahuan menjadi budaya bangsa Indonesia. Semoga. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun